Wednesday 25 May 2011

dari lengong puisimu ada getar nafasmu...aku tetap mengatakan kamu penyair, penyimpan seru wanitaku, membuak darahmu mengumpul amanah, meski diammu menyimpan amarah... - Ros

Tuesday 24 May 2011

cetusan kalbu

seperti dia, terasa ingin kulepaskan suaraku ke laut luas, sebebas camar berterbangan, ingin kusatukan suaraku ke langit yang membiru, melangit senduku di alun ombak yang bisu. Mas, di hujung cahaya itu, kubakar jemariku satu per satu, perihnya... kusimpan dalam kalbu, senyapnya... kututupkan pintu. esok, kunyanyikan alunan baru. 
(terima kasih sekali lagi, mas dam atas kasih sayang dan perhatian meski kita hanya bersaudara langit.)

cahaya lilin hari ini -- Prof Dimas Arika Miharja

CAHAYA LILIN HARI INI

nyala itu mencahayakan doa
dan sayap harap; masuklah
ke ruang senyap

terasa ada yang lepas dari sela ruas jemari
menari, menarik semua titik
airmata

duka dan bahagia
kembar siam
dalam kembara: salam dam
damai di kedalaman-Nya!

25 Mei 2011
"Selamat milad untuk saudaraku Rosmiaty Shaari (Melaka, Malaysia), Yusniati Sofi (Jambi, Indonesia), dan seluruh sahabat hati, sahabat jiwa, sahabat sukma di seluruh dunia nyata dan maya

monologue

when the moon lighting,
the scarecrow will be around.
HAPPY BIRTHDAY, MY DEAR QALB...

Monday 23 May 2011

berlari ke langit, singgah di awan, mengendap bulan, o... kata bintang, esok bulan mengambang di dinding tumbang! - Ros
meski ditolak perlahan, ia datang bagai taufan, merempuh dinding ingatan, gerak pun mengalun senandung kasih, menerawang bagai pari-pari hilang pendirian, ah... di daerah permai, persandingan itu disaksikan empat penjuru mata angin... - Ros

Friday 20 May 2011

Kata Pengantar

Kata Pengantar
oleh Djazlam Zainal



SAYA kenal benar Rosmiaty Shaari lahir batin. Namun sebagai penyair, masih ada yang dipendamkan dan tidak mungkin saya selongkari sebebas mungkin. Puisi berfungsi ganda, untuk membangun yang maha besar, seperti yang didengung-dengungkan takdir, suatu yang berupa pemikiran. Apakah ia dilihat suatu usaha yang menyempurnakan, sehingga dapat kita bertahan bahawa hasil penting yang terbit lebih kemudian betul-betul merupakan sesuatu hasil yang baru dan mempunyai sifat sendiri. Itulah yang saya cuba membandingkan antara orang dan puisi.

    Bagaimanakah rupanya orang berpuisi. Saya selalu membayangkan begini, orang berpuisi hidupnya dari hari ke hari adalah puisi. Berjalan dengan puisi. Puisi akan berada di tangannya. Ia menaiki kenderaan, tetapi puisi tidak akan ditinggalkannya. Dengan rasa berfikir dia berkarya. Hal sedemikian pernah dikatakan oleh John Steinbeck terhadap Adrian Henri. Beliau menafikan Yestushenko sebagai seorang penyair walau pun cara deklamasinya cukup baik. Yestushenko pandai beretorik - berlakon. Cara deklamasinya hanya postor lakonan. Di manakah hadir dirinya sebagai penyair. Demikian juga, saya melihat seseorang penyair itu melalui dia berkarya, dan bukan hanya dikenali di pentas-pentas bacaan puisi.  Kumpulan ... dari hitamputih menjadi zarah, saya melihatnya dari kacamata Steinbeck..

    Misalnya dalam puisi, ' ceritera lapangan ' ( hal. 1 )  penyair cuba memberi makna kepada tiga situasi, seekor gagak hitam, seekor tikus dan seketul roti. Setiapnya diberi makna tersendiri dan konklusi. Ini bermakna penyair sedar akan tugas lugas monuklon yang diutarakan.

     Puisi adalah bekas kosong yang dicurah di dalam air filsafat.

     Saya teringat tulisan A. Teeuw mengenai Faham dan Salah Faham Membaca Puisi ( 1992:41 ) yang menyatakan seringkali orang mengupas puisi hampir secara fanatik mengumpul data-data statistik mengenai puisi yang mereka kupas itu. Statistik tentang jumlah vokal, jumlah suku kata, gejala rima, asonansi, aliterasi, metafora, metonimi dan sejumlah hal yang lain, yang dianggap merupakan esensi analisis sebuah puisi. Lantas pemaknaan dari semua itu tidak banyak memberi manfaatnya, malah memungkiri tugas esensial pengupas itu sendiri.

     Puisi adalah mutiara dalam lokannya.

     Misalnya dalam puisi, ' gua hira' ' ( hal, 4 ) dinyatakan;

     kau yang muncul dari sejarah itu
     telah menjelma pada riwayat pada wahyu

     Judul ' gua hira' ' sudah memaknakan dalam tubuh puisi. gua hira' seperti yang saya katakan, mutiara dalam lokan. Apa itu mutiara dan apa pula lokan? Sifat yang saling membantu. Saling berkerjasama antara lingkaran baja kuasa dan makna kepentingannya. gua hira' sebagai baja kuasa yang mencengkerang untuk sebuah kalamullah.

     Juga dirambat terus dengan ' kalau ada sejalur sinar ' ( hal. 5 ), ia tetesan dari gua hira'. Situasi yang sama dalam sketsa (i), (ii) dan (iii)  dalam sketsa (i) dituliskan;

     kau lontarkan kenaifan itu
     ke dalam miraj yang nampak kemilau

dalam sketsa (ii) pula;

     biarkan tangan itu merayap sukma
     kerana di hujung jejari itu sudah mulai memancar

sketsa (iii) ditulis;

     bulan pucat
          sebentar lagi berubah jingga

     Ketiga-tiga sketsa ini dirangkum secara literal, iaitu judulnya. Judul adalah elinia pertama dan frasa yang sangat dipandang. Judul adalah keseluruhan maksud dan isinya. Itu secara teknikalnya.

     Berkata Sutardji Calzoum Bachri, kata-kata bukan alat pengantar pengertian. Kata-kata bebas dari penjajahan pengertian, dari beban idea. ' puisi harus menjadi wujud sendiri, arah tujuannya tidak ditentukan oleh sang penyair. apalagi oleh seorang kritikus, ideolog atau pun seorang perumus teori. '

     Membaca puisi berarti bergulat terus-menerus untuk merebut makna puisi yang disajikan oleh sang penyair. Puisi yang baik merupakan bangunan bahasa yang menyeluruh dan otonom, hasil cipta seorang manusia dengan segala pengalaman dan suka dukanya. Oleh kerana itu, puisi memerlukan dan berhak untuk dicurahi daya upaya yang total pula dari pihak pembaca yang bertanggungjawab sebagai pemberi makna pada puisi tersebut.

    Dalam ' serumpun serai wangi ' ( hal. 30 ) makna diberi pengertian dengan warna sejarah.

     batas Melayu itu - terlalu niskala
     bak serumpun serai, wanginya tersebar
     dari kepulauan Melayu ke Malagasi
     mengujur ke kepulauan Paskah di Lautan Pasifik
     merentasi Taiwan selatan dan Jepun
     kepulauan Okinawa, di situ ada Ainu
     dari etnik warisan asal tanah bumi - itu Melayunya

     Kembali kepada sejarah dan pencarian bangsanya, adalah fenomina umum kepada kebanyakan penyair. Zaihasra dalam puisi panjangnya Balada Tun Fatimah ( Penerbit Jingga, 1987 ) dan Zurinah Hassan, Pesan Dari Gunung Ledang ( DBP, 2004 ) adalah bukti perkembalian penyair kepada induknya. Dalam ' serumpun serai wangi ', penyair menyusur galur bangsanya. Menjejak jalur dan batas yang dikatakan Melayu itu.

Dalam poise, ( hal. 72 ) penyair menuliskan begini;

    sejak kemboja tumbuh di halaman
    siapakah pengutip harumannya
    yang sesekali menebarkannya
    ke anjung rumah moyang
    dan sesekali pula memercikkannya
    ke makam bunda
    katanya, wangi kemboja itu
    terbit dari perdu hati
    yang bergerak perlahan
    dari ruang sunyi
    masuk ke dalam diri..

    Saya melihat kedapatan unsur fabula ( plot ) dan syuzhet ( urutan cerita )  Baris pertama, sejak kemboja tumbuh di halaman, dan harumnya menebar di halaman anjung rumah moyang. Fabula dan syuzhet ini dapat dipisahkan sekiranya memang kita mahu melihatnya dengan pendekatan Formalistik. Kerana penyair selain mengakrapi puisi, beliau juga prosaik, seorang cerpenis yang telah teraku tenar. Melihat kedua-dua juzuk genre ini yang diakrapi akan lebih mengenal beliau akan fokus yang sorotnya.

     Setiap puisi, cipta sastra atau karya seni, merupakan aktualisasi atau realisasi tertentu dari sebuah sistem konvensi atau kode sastra dan budaya. Ia merupakan pelaksanaan pola harapan pada pembaca yang ditimbulkan dan ditentukan oleh sistem kode dan konvensi itu.

     Tidak pernah ada kebebasan mutlak atau kemungkinan untuk penyimpangan total. Sebab perombakan total akan berarti bahawa bagi pembaca tidak ada kemungkinan lagi untuk memahami karya seni itu. Jadi, karya seni selalu berada dalam ketegangan antara sistem dan pembaharuan antara konvensi dan revolusi, antara yang lama dan yang baru.

     Pengucapan konvensional bukan bermakna tiada yang baru. Yang baru terungkap dalam pemikiran penyairnya. Sebab, kadang kala terlihat penulisan konvensional terus diugah sebagai pemikiran konvensional juga. Beberapa karya Sapardi Djoko Damono menunjukkan bahawa bentuk konvesional ( lama ) terisi dengan pemikiran baru.

     Nah!
     Saya serahkan kepada pembaca untuk saling bermanja-manja dengan jeda dan kata..


Djazlam Zainal

Wednesday 18 May 2011

Ketahuilah, bahawa pertolongan itu datang sesudah kesabaran; kelapangan datang sesudah kesulitan; dan kemudahan datang sesudah kesusahan. (Sabda Rasulullah saw)

Tuesday 17 May 2011

matahari kian rembang

PADA mulanya aku tidak mengerti kenapa nenek mesti menangis.  Nenek tersedu-sedu. Nenek memeluk tubuhku dan aku terdengar suaranya serak, tenggelam timbul dalam tangisannya.
      Pipiku dicium, galak. Terasa air mata nenek yang hangat, membasahi pipiku. Kulit pipi nenek yang kendur, pun terasa melekap di pipiku. Kemudian terasa pula rambutku yang pendek lurus, diusap perlahan-lahan. Kemudian lagi terasa pula tangan nenek menjalar ke tengah belakang. Tangan nenek mengurut-urut belakangku. Lama nenek begitu. Tekakku terasa mual, tercium bau sireh dan tembakau sogek dari mulut nenek. Aku jadi kelemasan. Namun, untuk tidak menyinggung perasaannya, aku biarkan saja. Aku tahankan nafasku semau-maunya.
      Selama ini belum pernah aku melihat nenek sebegini sedih. Kecuali sewaktu atuk meninggal dunia dulu. Selepas itu, seingat-ingat aku, nenek tak pernah menangis lagi.
      Abang Idin, sejak tadi kulihat tercegat berdekatan kami. Wajahnya juga hiba. Aku tidak tahu kenapa Abang Idin ada di rumah kami. Mungkin nenek yang memanggilnya, minta tolong belikan sesuatu. Atau mungkin nenek minta bacakan surat. Aku lihat ada semacam surat di tangan Abang Idin. Tapi surat dari siapa? Nenek jarang benar terima surat. Cuma sesekali nenek terima surat dari emak.
      Emak!
      Semacam rasa kebencian mula menjalar ke dalam benakku. Apakah emak menyuruh aku pulang? Tidak! Aku tidak mahu pulang. Aku lebih suka tinggal dengan nenek. Aku benci emak! Aku benci ayah! Aku benci semua orang di Taman Kekabu. Tidak! Bukan semua orang.
      Aku suka pada Yi.
      Aku suka pada Tito.
      Anis pun aku suka.
      Dan Lam! Iya, aku paling suka pada Lam. Lam paling baik antara semua.
      “Pipah, kamu benci aku?”
      “Taklah. Aku suka kamu”
      “Habis, ngapa kamu pergi?”
      “Sebab emak dan ayah tak sayang aku.”
      “Tapi kamu jahat. Kamu suka lawan emak ayah kamu. Kamu suka gaduh dengan adik-beradik kamu.”
      “Sebab mereka benci aku. Aku lawanlah!”
      “Jadi, kamu mahu pergi juga?”
      “Hemm…”
      “Kalau kamu pergi, kamu mahu ingatkan aku?”
      “Tentu.”
      “Macam mana aku tahu kamu ingatkan aku?”
      “Aku mimpikan kamu. Macam mana?”
      Aku masih ingat melihat airmata Lam tergenang di kelopak matanya. Dan aku juga masih ingat yang aku telah mengusap air matanya yang mengalir di pipi. Masih terasa hangatnya air mata Lam seperti hangatnya air mata nenek.
      Akhirnya, aku pergi meninggalkan Lam, meninggalkan Tito, meninggalkan Yi, meninggalkan Anis dan segala kebencianku di Taman Kekabu. Aku pergi mengikut nenek ke Pulau Pinang. Aku senang tinggal bersama nenek walaupun kerinduanku pada Lam, Yi, Tito  dan Anis menggamit-gamit aku pulang. Namun, kerinduanku cepat pudar setiap kali wajah emak atau ayah menjelma. Aku jadi benci. Terlalu benci pada mereka. Dan aku sendiri tak mengerti kenapa aku sampai membenci mereka. Ah! Aku tak tahu. Aku tidak mahu pulang sampai bila-bila pun. Kalau nenek suruh aku pulang, aku tak akan pulang. Kalau nenek paksa juga, aku akan lari. Aku akan pergi jauh-jauh. Aku tak mahu pulang kepada emak dan ayah lagi. Aku benci, dan sumpah aku tak mahu jumpa mereka lagi!
      “Pipah….”
      Aku dengar suara nenek seperti serak  dan nadanya begitu sebak. Aku ingin menyahut panggilan nenek. Malah aku juga ingin bertanya, apakah yang menyedihkan hati nenek. Namun, suaraku sudah hilang entah ke mana bila kebencianku untuk pulang ke tempat emak begitu menghimpit perasaan. Akhirnya, aku hanya berdiam diri menanti nenek meneruskan untuk mengkhabarkan sesuatu yang sudah aku tahu.
      “Pipah…., kamu masih benci emak kamu, Pipah?”
      Terasa seperti tergigitkan pasir, kengiluan menyusup-nyusup ke ulu hatiku bila nenek mengajukan pertanyaan itu. Aku ingin lari dari nenek tapi pelukan nenek begitu kuat, memautku. Terasa kebencianku semakin memuncak. Kenapa nenek mesti  tanya seperti itu? Bukankah nenek sendiri telah tahu aku terlalu benci pada emak? Bukankah nenek sendiri tahu emak dan ayah selalu memukul aku? Bukankah nenek tahu aku selalu melawan emak dan ayah dan selalu bertumbuk dengan adik-beradikku? Dan bukankah nenek juga tahu, kerana kebencian emak dan ayah maka aku ingin dihantar saja ke Sekolah Henry Gurney di Melaka. Nenek tahu sekolah apa itu? Kata Lam, itulah sekolah budak-budak jahat! Sekolah tempat budak-budak dihukum sebat! Kalau emak dan ayah sudah sanggup menghantar aku ke sekolah seperti itu, apakah tidak salah kalau aku katakan yang mereka sudah membenci aku? Tidak benarkah kalau aku katakan yang mereka sudah tidak sanggup membela aku? Dan sekarang  aku mahu bersama nenek.
      Aku ingin merayu nenek agar aku jangan di hantar pulang. Aku tidak mahu dihantar ke Sekolah Henry Gurney. Aku juga tidak ingin melihat wajah emak dan ayah. Dan paling aku tidak sanggup melihat Ciknyah, Cikco dan adik-adikku mendapat kemanjaan oleh emak dan ayah sedangkan aku hidup terasing! Namun, kali ini aku sudah tidak berdaya untuk merayu nenek seperti aku merayu nenek membawa aku bersamanya lapan bulan yang lalu.
      Kini segala-gala yang kurasakan adalah ketakutan. Ketakutan untuk dihantar pulang ke pangkuan emak dan ayah. Aku ingin menangis tapi airmataku tidak mahu keluar. Aku ingin bersuara tapi suaraku tertampan di kerongkong. Akhirnya, sekali lagi aku hanya mampu untuk menelan air liurku dengan rasa yang amat perit.
      “Pipah, cakap Pipah. Kamu sayang emak tak?”
      Tangan nenek semakin lembut mengusap rambutku. Airmatanya semakin banyak berhamburan jatuh menimpa pipiku. Aku semakin tak mengerti kenapa nenek mahu kepastianku yang selama ini nenek telah pasti. Oh! Bencinya aku!
      “Nek, Ipah tak mau pulang. Ipah tak mau pulang, nek.”
      Sejurus itu dadaku menjadi begitu sebak. Aku ingin lari. Lalu aku lari.
      Dammmmm….!
      Aku toleh ke belakang. Nenek tersungkur ke tepi dinding. Tangan kiri nenek terkial-kial mengampu lututnya. Wajahnya pucat. Nek! Aku telah menolak nenek.
      Nek, maafkan Ipah. Ipah tak bermaksud mahu membenci nenek. Ipah sayang nenek.
      Dengan perasaan mendongkol, aku datang ke dekat nenek lalu terus memeluknya, erat.
      “Nek, Ipah sayang nenek. Tapi Ipah tak mahu pulang. Emak tak sayang Ipah. Ayah tak sayang Ipah. Semua orang tak sayang Ipah. Ipah tak mahu pulang, nek. Ipah tak mahu pulang.”
      Aku sudah tak dapat menahan perasaanku lagi. Dalam ribaan nenek, aku sembamkan mukaku ke celah dadanya dan aku menangis. Paling besar harapanku agar nenek tidak menyerahkan aku kepada emak dan ayah semula. Aku tidak mahu!
      Nenek semakin kuat tangisannya dan semakin erat pelukannya. Dari celah ketiak nenek, aku lihat Abang Idin yang sejak tadi berdiam diri, tertunduk ke lantai.
      “Pipah, dosa besar Pipah kalau kita benci orang. Pulak kalau emak sendiri. Tak diampun dosa kita kalau kita benci dia.”
      Setiap kali itulah yang nenek selalu ingatkan aku. Setiap kali itulah juga yang Ustaz Haidir selalu ingatkan aku. Aku sudah tahu benar semuanya. Tapi apa yang harus aku lakukan kalau kebencianku pada emak dan keluargaku adalah kebencian yang luar biasa. Kebencian yang terlalu amat!
      “Nek, Ipah tak mahu pulang.”
      “Tapi kamu mesti pulang juga, Pipah. Kamu mesti jumpa emak kamu. Kamu tak boleh benci emak kamu lagi.”
      “Ipah nak lari!”
      “Jangan. Kamu mesti pulang, Pipah!”
      “Untuk apa, nek. Untuk emak marah Ipah. Tampar Ipah. Pukul Ipah. Ikat Ipah kat pokok kerengga. Benam Ipah dalam kolam sampai lemas! Dan ayah pun sama, benci Ipah? Lepas tu kata Ipah ni jahat. Degil! Ipah dah tak sanggup. Sakit, nekkk….” Tak tertahan rasa sebak pilu lalu aku tersengguk-sengguk dalam pelukan nenek.
      “Untuk ngajikan emak, Pipah.”
      Aku tiba-tiba terdengar kicau kelicap madu berkeciau di luar tingkap. Angin dari arah pantai Sungai Gelugur pula terasa menyapu pipiku. Dinginnya terasa menyerap bersama  rembasan airmataku. Aku juga terdengar gurisan ranting-ranting jambu batu bergeseran di atas atap zink. Kengiluan menyusup jauh ke dalam hatiku. Berbaur pula dengan keresahan nafas dan sedu sedan nenek, semakin tersiat-siat rasa seluruh anggota sarafku.
      Aku tiba-tiba jadi terpegun. Airmataku juga tiba-tiba berhenti mengalir. Perasaan apakah yang tiba-tiba menguasai diriku? Sayu apakah yang kualami ini?
      Perjalanan dari Pulau Pinang ke Teluk Intan kurasakan terlalu lama benar. Bas ekspres yang kunaiki terasa amat lambat perjalanannya. Entah kenapa aku terlalu ingin cepat pulang ke Teluk Intan. Namun, aku tidak tahu perasaan untuk pulang yang bagaimanakah ini. Segala-galanya menjadi serba aneh!
      Kematian emak sebenarnya terlalu asing bagiku. Sejak nenek memberitahu tentang kematian emak semalam, aku tidak tahu apakah aku ini sebenarnya sedang bersedih. Tapi sejak semalam, aku tidak mengalirkan airmata walau setitik pun. Aku cuba bercakap-cakap dengan nenek. Tapi terasa begitu payah untuk mengeluarkan kata-kata. Seolah-olah suaraku tertampan di kerongkong oleh sesuatu yang amat memeritkan tekakku. Dadaku terasa semakin mengembang dan mengembang seakan mahu meletup! Dan lagi, seluruh anggotaku menjadi semakin lesu dan lesu. Akhirnya, aku hanya berdaya untuk memejamkan kedua belah mataku.
      Nenek sudah lama terlena. Sejak semalam nenek tidak tidur. Nenek asyik mengaji Quran. Barangkali nenek sudah mengantuk benar.
      Angin yang sentiasa menampar muka serta malam yang terlalu gelap, terasa seperti mahu menghukum aku. Aku ingin tidur bersama nenek, sekurang-kurangnya aku tidak perlu menunggu ketibaan satu perjalanan yang kurasakan teramat jauh ini. Perjalanan yang terlalu membosankan. Namun, fikiranku masih juga berpusar dan berpusar.


 *   *   *

      Jarum bunga jambu air yang berwarna merah jambu gugur menimpa kepalaku, menimpa mukaku, menimpa kedua tapak tanganku yang terngadah. Aku pandang jarum-jarum bunga itu. Ianya indah dan wangi. Tapi keindahan dan kewangiannya tiba-tiba menjadi kesakitan yang amat sangat. Aku ramas bunga-bunga itu sekuat hatiku. Bunga-bunga itu terpecah-pecah dan sebahagiannya telah lumat. Aku ingin menangis, lalu aku menangis. Aku ingin menjerit tapi aku gagal. Aku pungut lagi jarum-jarum bunga jambu yang terserak di atas batu hitam tempat aku duduk. Aku kumpulkan ke dalam kendung baju gaunku. Setelah banyak, aku hamburkan kesemua jarum-jarum bunga itu ke udara sekuat-kuat hatiku. Bunga-bunga itu perlahan-lahan gugur ke rumput. Kepuasan tidak juga kudapati. Yang tetap kualami adalah kesakitan, keperitan dan kengiluan juga!
      Burung-burung kelicap madu berkeciau di celah dahan jambu. Melompat-lompat. Mematuk-matuk. Aku pungut sebiji batu sebesar ibu jari. Sambil mengesat airmata yang masih juga mengalir, aku balingkan batu itu ke arah salah seekor burung itu. Berkecibau burung-burung itu terbang entah ke mana. Balinganku tidak mengena. Aku jadi marah. Aku rasa seolah-olah burung-burung itu mengejek-ejek aku.
      “Tuhan! Kalau Kau sayang aku, Kau matikan emak aku. Kau matikan ayah aku. Kau matikan semua orang yang bencikan aku. Mereka tak sayang aku. Mereka selalu pukul aku. Tuhan! Lihatlah seluruh badanku ini. Aku sakit! Kau matikan emak aku! Kau matikan ayah aku!”
      Jarum-jarum bunga jambu yang berwarna merah semakin banyak yang gugur. Angin semakin kuat berhembus. Aku pungut lagi jarum-jarum jambu yang kembali berserak di atas batu ini. Aku kumpul lagi dalam kendungan baju gaunku. Kemudian aku hamburkan lagi seperti tadi. Aku hanya menangis melihat jarum-jarum jambu yang kuhambur itu gugur ke rumput. Kesakitan, keperitan dan kengiluan tetap menggigit kulit kaki, kulit betis, kulit paha dan kulit tanganku rata-rata. Kedua pipiku masih terasa bagaikan terkopak!
      “Pipah, kamu di sini? Puas aku cari kamu tadi.”
      Aku hanya berdiam diri. Aku malu pada Lam. Lalu aku hapuskan cepat-cepat airmataku. Aku tidak mahu Lam mengatakan, aku seorang penangis. Aku mahu Lam kata, aku seorang yang kuat. Aku mahu Lam kata, aku seorang yang sabar. Dan mungkin juga kerana sikapku yang begnilah, maka  ayah dan emak kata, aku seorang anak yang degil dan keras hati.
      “Kamu kena pukul lagi, Pipah?”
      Aku angguk. Namun, suaraku tidak terkeluar. Dadaku mula menjadi sebak. Dan air mataku, aku cuba menahannya dari tumpah ke pipi.
      “Kamu buat jahat lagi?”
      “Aku terpecah sebiji pinggan.”
      “Takkan pecah sebiji pinggan pun kena pukul teruk gini?”
      “Aku gaduh dengan Ciknyahlah.”
      “Kamu selalu cari emak kamu marah!”
      Aku ingin menjerit. Aku ingin menangis. Aku ingin memberitahu Lam, aku tidak bergaduh dengan Ciknyah. Tapi aku  dipukul kerana mengikut Lam mencari ikan! Namun, aku tahankan perasaanku. Aku tahankan suaraku jangan sampai terkeluar dan airmataku tumpah.
      Aku suka pada Lam. Lam kawan aku. Lam selalu bersamaku setap kali aku kena pukul. Aku tidak mahu Lam berkecil hati. Aku tidak mahu Lam menjauhkan diri dari aku. Aku juga tidak mahu Lam berasa kecewa. Kerana itu aku bohong dengannya. Biarlah Lam kata aku jahat. Biarlah Lam kata aku selalu cari sebab emak aku marah. Pun biar Lam kata aku suka bertumbuk dengan adik beradikku! Asalkan aku dapat bermain dengannya. Asalkan aku dapat mengikutnya pergi memungut biji getah di Estate Seberang. Asalkan aku puas mengharung parit mencari anak ikan pelaga bersamanya. Dan paling puas kalau aku dapat mengikut Lam pergi mandi di Sungai Jelawat yang dingin airnya! Aku seronok kalau dapat bermain bersama Lam, Yi, Tito dan Anis. Itu sajalah kebahagian dan keseronokan yang aku ada, yang tidak pernah aku dapati bila berada di lingkungan adik beradikku.
      Dan tadi, aku telah mengikut Lam, Yi, Tito dan Anis pergi menangkap anak ikan pelaga di parit Padang Tembak. Ciknyah dan Cikco nampak aku pergi. Aku tahu tentu mereka memberitahu emak atau ayah. Dalam hati aku sudah tahu, bila aku pulang nanti aku akan dipukul teruk oleh emak atau ayah. Tapi aku pergi juga. Aku seronok bersama kawan-kawanku. Aku seronok menangkap anak-anak ikan pelaga yang berwarna biru, hijau dan hitam! Mengocak air, menampan tanah, menahan jerat. Oh…, alangkah seronoknya!
      Bila aku pulang dari meranduk parit, mencari anak ikan pelaga, emak sudah menanti aku dengan rotan sega yang berbelah tujuh! Emak membesit aku sungguh-sungguh. Aku kesakitan. Aku cuba bertahan. Emak pukul aku, aku tarik rotan emak. Emak tampar aku, aku paut tangan emak. Aku hanya mahu mempertahankan diriku dari dipukul teruk. Perbuatanku menjadikan emak semakin marah. Emak sangka aku melawannya. Emak capai tali pinggang ayah yang tersangkut di tingkap. Muka emak merah. Nafas emak kencang. Emak libas paha kanan. Sakitnya tak terkata. Emak libas paha kiri. Aku menggelupur. Airmataku berhamburan bila aku rasa nak terkoyak isi pahaku. Emak libas paha aku lagi. Kali ini aku tarik tali pinggang itu sekuat hatiku. Tali pinggang terlepas, aku tersungkur. Rupanya emak naik hantu. Emak cekak rambutku lalu menampar pipiku kiri kanan. Rasa bagaikan terkopak. Gelap pandanganku. Aku ingin merayu emak tapi suaraku tak terkeluar. Emak semakin berhantu. Emak capai tali pinggang ayah di tepi almari pula. Emak pukul aku sehabis gila. Aku lemah, membiarkan emak pelupuh tubuhku semaunya. Lama-lama aku tak tahu apa yang terjadi selepas itu.
      Lam duduk di sisiku tanpa bersuara. Dia memerhati kaki tanganku yang bercalar balar merah biru. Aku malu pada Lam ketika itu.
      “Lam, aku mahu pergi.”
      “Pergi mana?”
      “Pergi jauh dari emak, ayah dan adik-beradikku.”
      “Ke mana?”
      “Aku tak tahu.”
      Rupanya seminggu selepas aku mencurahkan hasrat hatiku ingin pergi jauh dari keluargaku, nenek telah sudi membawa aku pergi ke Pulau Pinang bersamanya.


 *     *     *
     
       Lebih kurang jam 11.00 pagi, akhirnya aku sampai juga ke Taman Kekabu. Aku jejak juga rumah emak dan ayah, bersama nenek. Aku pulang juga ke pangkuan keluarga setelah lapan bulan terpisah!
      Nenek memimpin tangaku, erat.
      Aku melihat ramai tetamu yang datang. Lelaki dan perempuan. Kecil dan besar.
      Di bawah bawah pokok ketapang di hadapan rumah, kulihat ada beberapa orang lelaki sedang bekerja. Aku pasti mereka itu sedang mencuci keranda. Mereka semua memandang ke arahku. Aku cepat mengubah pandangan.
      Di sudut yang lain, beberpa orang tua juga memandang ke arahku. Aku jadi serba tak kena. Kenapa mereka memandang aku? Aku toleh pula ke tempat lain. Rupanya semua tetamu memandang kepadaku. Dan aku rasa setiap pandangan itu adalah pandangan aneh ke atasku!
      Nenek masih juga memimpin tanganku, erat. Airmata nenek sudah mula mengalir bila seorang demi seorang datang memelukku. Sedu-sedan nenek juga sudah mula terdengar. Aku jadi kelemasan diperlakukan begitu. Namun, aku biarkan juga.
      Waktu aku dipimpin naik ke rumah, selendang putih yang menutup kepalaku, terjatuh. Nenek pungut lalu menutup kembali kepalaku. Dan ketika itu nenek juga turut mendakapku erat sambil menangis tersedu-sedu. Aku semakin bingung apabila seorang demi seorang datang memelukku. Bagaimanakah aku sebenarnya.
      Dalam dakapan nenek, aku pandang semua orang. Dari sudut ke sudut. Aku nampak Ciknyah sedih memerhati aku. Mata Ciknyah merah dan bengkak. Tentu Ciknyah sudah banyak menangis. Aku juga nampak Cikco memerhati aku. Mata Cikco juga merah dan bengkak. Tentu Cikco juga sudah banyak menangis. Entah kenapa aku pandang Cikco begitu lama. Bila pandanganku bertemu, Cikco tunduk ke lantai. Masih bencikah Cikco kepada aku? Tapi wajah Cikco juga kulihat terlalu hiba. Aku mencari-cari lagi. Aku terlihat adik-adikku yang sedang duduk berdekatan Cikco semuanya menangis.
       Nenek mendapatkan Ciknyah lalu memeluknya. Aku dengar nenek dan Ciknyah menangis tersedu. Dan aku lihat beberapa tetamu pun turut menangis.
       Kata nenek, emak telah mati. Betulkah? Aku toleh ke anjung sebelan kanan. Di situ aku lihat beberapa orang sedang memangku emak. Emak baring, tenang. Rupanya emak sudah selesai dimandikan.  Kini, emak sedang diselimutkan. Rasa aneh kembali menyusup-nyusup ke dalam dadaku bila aku melihat tubuh emak diperlakukan begitu.
       Seorang perempuan tua yang aku tidak kenal menarik tangan kananku. Aku diajar menabur kapur barus ke atas kain selimut emak. Kemudian aku diajar pula merenjis air mawar ke muka emak. Aku tidak tahu bagaimana aku boleh menurut segala perintah. Lama aku menatap wajah emak. Wajah emak seperti dalam tidur. Dan tanpa sedar, aku telah mengucup dahi emak yang masih terbuka!
      Aku lihat orang tua yang tadinya mengajar aku, telah mula menutup tubuh emak dengan kain putih sehelai demi sehelai. Ciknyah semakin kuat tangisannya. Adik-adik juga semakin kuat tangisannya. Cikco tunduk ke lantai dan aku lihat mulutnya kumat-kamit menyebut sesuatu. Di pipinya sudah mula mengalir airmata.
      Tiba-tiba seorang meraih bahuku. Ayah mencium dahiku dengan tenang. Di mata ayah ada air yang tergenang. Kemudian ayah memelukku, erat. Seluruh tubuhku terasa aneh. Inilah kali pertama ayah memelukku. Semakin aneh bila tangan ayah membelai rambutku dan bibir ayah mengucup ubun-ubun kepalaku. Ada air yang menyerap ke celah rambutku hingga ke ubun-ubun. Hangat, dan aku pasti itulah airmata ayah.
       Setelah kerja menyelimut emak selesai, aku rasa dunia macam kosong. Aku terus mencari-cari lagi. Lam memerhati aku dari pintu. Aku datang ke dekat Lam. Rupanya Lam juga turut menangis.
       “Kamu nangis, Lam?”
       “Kerana doa kamu dulu, Tuhan dah tunaikan…”
       Aku genggam tanganku sekuat mungkin. Aku ingin menjerit. Aku ingin menangis. Tapi aku gagal juga. Lam raih tangan kananku. Aku biarkan. Terasa dunia ini entah macam mana. Aku bingung!
       Bila emak sudah dimasukkan ke dalam keranda, ramai tetamu turun ke tanah. Lam juga turun ke tanah. Kata Lam, dia mahu turut ke kubur.         
       Perlahan-lahan jenazah emak diusung ke tanah. Jenazah emak dipayungkan dengan cermat. Aku dengar suara seseorang membaca ayat-ayat suci yang aku sendiri tak faham maksudnya.    
       Aku berdiri di pintu. Sudah tidak ada sesiapa yang memperdulikan aku lagi. Masing-masing menumpukan perhatian pada jenazah emak yang diturunkan perlahan-lahan. Lam sudah hilang ke dalam perut sebuah kereta biru. Cikco, Ciknyah dan adik-adikku pun turut menghantar jenazah emak ke kubur.
       Tadi, ayah jemput aku turut sama menghantar jenazah emak. Tapi aku tidak mahu. Aku tidak tahu kenapa aku menolak untuk menghantar jenazah emak.
       Bila matahari hampir tegak, kereta yang membawa jenazah emak mula bergerak. Amat perlahan. Aku hanya memerhati dengan penuh rasa getir. Semakin jauh kereta jenazah menyusur, semakin mengembang rasa dadaku. Akhirnya, kereta yang membawa jenazah emak hilang juga dari pandanganku.
       Aku pandang ke dalam rumah. Segala-galanya menjadi begitu sepi dan terasing. Para tetamu sudah ramai yang pulang. Aku pandang ke tempat pembaringan emak. Asap kemenyan masih berpusar-pusar keluar tingkap. Bau kemenyan, kapur barus dan daun pandan, cukup mengharukan. Aku pandang pula keluar. Aku lihat batang pisang alas mandian emak kaku di tepi tangga. Aku dongak pula ke langit. Awan terpecah-pecah seperti pecahnya harapanku.
       Aku ingin mencari emak. Tapi ke mana, emak telah tiada. Emak telah mati!
       Akhirnya, aku tak berdaya menahan perasaan lagi. Aku berlari dan berlari. Berhenti. Berlari semula. Berhenti. Berlari lagi dan akhirnya aku tersepuk ke perdu pokok jambu air. Aku peluk perdu pokok itu sambil menangis semau-maunya. Terasa pokok itulah emak. Aku dongak ke atas. Jarum-jarum bunga jambu berguguran menimpa mukaku.
       Tiba-tiba aku rasa ingin menjerit:
       “Tuhan, Kau hidupkan semula emak aku. Aku sayangkan emak!”




Dari antologi cerpen Malam Seribu Malam.

Friday 13 May 2011

sedingin embun malam
sesejuk mata air alam
sejernih air mata ibu
senikmat rahmatMu....

- Ros

Wednesday 11 May 2011

singgah

SINGGAH
oleh L.K. Ara


     - untuk R.S


aku sudah singgah
taman mu teduh dan ramah
kupetik ranting syair
kucelupkan ke air
kuletak di dekat jendela
akan kubaca
setiap melihat alam semesta

kalau tak singgah
tak kutahu tamanmu
tak kutahu ranting syairmu
berbunga dan bercahaya
tak kan pernah menghiasi jendela

karena itu
pesanmu untuk singgah
adalah isyarat awal
untuk kita berkenalan
lebih dalam menyelam
ke taman taman penciptaan
ke taman taman bunga
mengenal ragam bau dan warna
seperti berkenalan lebih dalam
pada padang luas kehidupan

pesanmu untuk singgah
kepada pengembara yang mencari dan lelah
menemukan tempat teduh
penuh barokah

Banda Aceh, 11/5/2011

Tuesday 10 May 2011

Mereka (orang-orang yang sabar) itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Rabb mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk. (Al-Baqarah :157)
Sesiapa yang dikehendaki Allah menjadi baik, nescaya Allah akan memberinya cubaan - (al-Hadith)

Monday 9 May 2011

...dari getar sesibur

kita mengeluh dek sedikit bahang yang diberi,
sedang nikmat bertahun, bersyukurkah kita?
ya rabb, kalau ini dugaan buat umatMu, aku
bersyukur atas nikmat kasihsayangMu, amin.

--Ros

Saturday 7 May 2011

mengenang

huruf-huruf yang tak henti berlagu
kuhimpunkan menjadi satu
di puncaknya kulilinkan gambar
sebuah gubuk dan kenangan
yang menyimpan seri
seorang datuk  dan  nenek
yang tak henti senyum
menunggu anak cucu
entah bila kunjung....

-- Ros

...dari getar sesibur

...bangunlah dari rasa yang lumpuh, kerana ia akan mengajar sukma kita supaya lebih teguh! - Ros

Thursday 5 May 2011

....kata Sisipus kepada Pateh Karma

 Sudah berbulan-bulan, dia begitu asyik melayani mindanya yang semakin mabuk. Sesekali dia menjadi seorang kekasih yang sangat penyayang. Sesekali dia menjadi seorang jurubicara yang menjatuhkan hukuman mandatori - bunuh secara perlahan. Namun, sesekali juga dia menjadi seorang seniman penyair yang begitu lembut tutur bicara. Namun, semakin lama, dia semakin seronok melayari layar tanpa suara yang memencar di hadapan matanya.

Dia memerhati ke kiri dan ke kanan. Rakan-rakan sibuk bekerja. Hujan lebat di luar seawal subuh tadi, mempengaruhi kedinginan penghawa dingin di biliknya. Dia mencapai baju sejuk yang tersidai kemas di penyandar kerusinya, menyarungnya dengan harapan kesejukan dapat diredakan sedikit dari dingin tubuhnya. Alhamdulillah...

Dia membetulkan kedudukan papan kekunci, cuba mencari keselesaan ketika menaip. Kini, wajah itu sudah muncul di layar. Wajah itulah yang diperhatikannya selama berbulan-bulan. Sering dia bertanya dirinya, adakah dia telah jatuh cinta? Oh tidak, mana mungkin! Isteriku jauh lebih cantik dan lebih berhemah dari perempuan bebal ini. Perempuan yang tidak ada harga diri, yang tidak sudah-sudah dengan keluh kesahnya, memancing kasih sayangnya. Anehnya manusia. Berwajah dan berperawakan alim, tetapi nuraninya begitu hina dan tidak bermaruah!

Sudah lama dia mengenali perempuan ini, bertahun-tahun dahulu. Ketika itu, dia begitu memujanya dengan jujur. Namun, sesuatu telah mengusik nuraninya, lalu beranggapan dia tidak sepadan dengannya. Lalu, tanpa pamitan, dia meninggalkan perempuan itu terkapai-kapai sendiri, barangkali.

Kini setelah hampir 10 tahun, tiba-tiba dia muncul semula di layar tanpa suara ini. Muncul dengan segenggam debu yang berderai. Ya, Tuhan, manusia apa ini yang tidak mensyukuri nikmat kasih sayang Engkau, hingga dia sanggup membelakangkan suaminya. Ya, Allah.... bala apa yang bakal menghunjam diriku ke lubang neraka ini? Astaghfirullah....Dia mengeleng-ngeleng kecil. Hujan lebat di luar pejabat menjadikan suasana seakan malam dengan lampu yang semakin mencerah. Musim hujan datang lagi.

Berkali-kali dia beristighfar. Berkali-kali dia menarik nafas panjang. Lalu tanpa memberi ruang kepada perempuan itu, dia lantas memancung perempuan itu dari senarai rakan taulannya. Putuslah riwayat itu dari satu perasaan yang sememang telah lama lenyap. Dan jangkaannya, beban fikirnya akan turut lenyap dan  terlepas dari belenggu pesalah yang menanggung dosa. Rupanya tidak, tanpa disedarinya, dia kembali menjadi pemuja wanita separuh sinting itu. Entah mengapa, nalurinya begitu berminat sangat hendak mengikuti perkembangan perempuan itu.

Nur Imani! Ya, mulus sekali nama itu. Nama yang tidak pernah berubah sejak dulu. Masih mekar dalam ingatannya.

Selama hampir empat bulan nama itu dicantas dari senarai rakan taulannya, selama itulah dia menjadi pelaku sinting juga, melayani dan memprovokasi karenah wanita itu. Meski dia tidak dapat berinteraksi secara lansung, namun dia faham amat bahawa bahasa boleh berbicara. Malah, keyakinannya semakin kuat bila puisi-puisi yang diterbitkan oleh wanita sinting itu menerusi layar tanpa suara itu dituju khusus untuknya! Itu jangkaannya.

Jari telunjuknya pantas menekan kekunci demi kekunci, menjelajah segenap ayat-ayat yang ditulis oleh perempuan  itu. Sikapnya yang periang, gemar mengusik rakan-rakan sepejabat, kini sudah mula berubah. Dia begitu tekun melayari dunia maya tanpa batas tanpa menghiraukan lagi gelak ketawa, usik -mengusik atau sindir-menyindir. Masing-masing sibuk dengan tugas.

"Hhhmmmm...., 'ya...kekasih'. Ya,  perkataan ini akan kutaburkan dalam ayat-ayatku," dia berbisik sendiri.

Lalu ayat demi ayatnya bermulalah atau berakhirlah dengan penggunaan perkataan itu.

"Hahaha..." Dia ketawa sendirian, merangka-rangka lagi apa cara hendak diprovok perempuan ini. Lalu, dia beralih ke lembaran youtube memilih lagu demi lagu yang boleh mempengaruhi minda separuh sinting wanita itu. Nah... seperti biasa dia akan paparkan lagu-lagu melankolik yang pasti dapat menjeruk nurani perempuan itu sampai jadi lentok!

"Hahahaha......" Dia ketawa lagi. Meski tidak bergema, bimbang di sedari oleh rakan-rakan setugas, dia hanya mampu melepaskan kepuasan hatinya ke dalam diri. Namun, wajahnya tetap mengukir kepuasan batini.

Jari-jemarinya lincah meniti butang-butang kekunci. Lalu ke penjuru bawah sebelah kanan, dia menolak curser ke rakan dalam talian. Spontan, senarai rakan sedang dalam talian berbaris seramai 62 orang. Dengan petunjuk arah curser, dia meneliti seorang demi seorang rakan dalam taliannya. Hatinya sedikit hampa, rakan yang dicari belum masuk ke talian.

'Biasa, pagi-pagi dah muncul. Ni dah pukul 10 pagi. Dah banyak hari tak muncul. Ke mana pula mamat ni?' Dia merungut sendiri, namun jari-jemarinya yang serabut bulu roma kasar, masih kemas mencengkam tetikus, menolak ke atas dan ke bawah, yang di cari tak di temuinya. Perempuan itu juga sudah tiga hari tidak menulis apa-apa. Dia mengeluh, memikir-mikir, mencari ilham apa yang patut dipuisikan untuk membidas perempuan itu.

'Nak buat gimik lagi la tu... Hah... tak lutnya ke aku...' Dia mencebik sendiri.

Lalu dia mencapai pen di hadapannya, menulis baris demi baris ayat-ayat puisi. 'Hah..., baru kau tau,' dia puas hati. Sebuah puisi telah digubahnya dengan rasa hebatnya, dan perempuan sinting itu bakal dihunjam dengan puisi yang menyentuh peribadinya yang busuk dan rakus itu.

"Jangan kau ingat kau je hebat menyusun kata-kata! Jangan kau ingat kau je yang pandai bermain keris, menjulang ke kiri dan ke kanan. Nah, ambil kau, akan kutikam kau ke rusuk kirimu. Masuklah kalau berani kau menepis tikamanku! Hahahaha....'" Puas hatinya, melihat hasil puisi yang bakal dihantar ke perempuan itu melalui jendela barunya, jendela penyamarannya!

"Oooiwttt... gila ke apa?"

Dia tersipu, malu lalu menghadiahkan senyuman sintingnya pula kepada Wardah, yang masuk ke biliknya, tiba-tiba.

"Kut ya pun bagi la salam dulu, ketuk pintu ke. Ni tidak, main terjah je....hehheh."

"Dah ketuk, dah bagi salam pun, tapi kalau dah angau semacam, bini lalu pun tak sedar. Hah, buat lagi. Ni baru saya, kalau bos yang masuk tadi? Ha...pekena roti canai la. Tak habis-habis dengan fb...," kutuk Wardah, menjeling sinis lalu beredar keluar dari bilik lelaki itu.

"Pekena roti canai tak pe. Asal jangan aku kena canai, sudah. Hushh... mamat ni dah mai.."

Suka hatinya melihat Sisiphus muncul di talian sembang. Entah mengapa, serasi benar dia bertemankan Sisiphus, mengusik atau mengutuk perempuan itu. Nalurinya semakin kemaruk, sambil membetulkan duduknya dan tegak badannya. Tangan kanannya kejap memegang tetikus yang mula terasa hangat dek haba panas genggamannya,

Sisiphus: Assalamualaikum..

Pateh Karma: Waalaikumsalam. Kenapa lambat online hari ni?

Sisipus: Ada hal. Aku cuti hari ni.

Pateh Karma: Hhmm... dah tengok halaman dia? Senyap. Dia pi mana, ha? Dah tiga hari tak komen. Biasa bukan main lagi. Ni, hilang tiba-tiba. Tak lain la tu, nak buat gimik lagi. Dia ingat aku terhegeh-hegeh sangat kat dia, apa? Hhmm.... hang pun dah beberapa hari hilang. Hang pi mana?

Sisipus: Hang ni pun satu, tak habis-habis dengan provokasi hang. Aku dah cakap, dia tak sambut pun provokasi hang. Kot ada sikit-sikit biasa la. Sian aku tengok dia kena provok dengan hang. Hang saja yang lebih-lebih. Hang dah gila talak, apa? Hahaha...

(Off line)

Pateh Karma menghentak tetikusnya, kuat. Dia mendengus, geram. Tetikusnya berkelip-kelip lalu padam.

"Hishhh!" Dia mengetuk tetikusnya beberapa kali. Alhamdulillah, ia berfungsi lagi. Segera jejarinya menggerakkan curser ke senarai sembang.

Pateh Karma: Hah...suka la engkau! Asam betul!

Sisiphus: Hahaha... asam pun asamlah. Tapi aku nak ingatkan hang, selama ni aku dengar je cerita hang. Aku ikut ragam hang. Tapi aku tak nampak pun dia apa-apa. Mungkin dia saja nak kawan dengan hang, kut?

Pateh Karma: Memang la engkau tak nampak sangat sebab engkau tak mengalaminya. Tengok puisi-puisinya, tak habis keluh kesah, tak habis dengan cinta kasih. Tak sudah-sudah nak sindir aku!

Sisiphus: Saudara Pateh, hahaha... barangkali benar kata orang. Keperitan akan berubah menjadi kesengsaraan, lalu menunaskan keasyikkan, dan akhirnya membuahkan kecintaan. Hahaha... lu sudah jatuh longkang, Pateh...

Pateh Karma: What?? Oh...no no no, not me!

(Off line...)

Sisiphus: Sorry, I've to go... In hurry!

(Off line...)

Pateh Karma mendengus. Dia mengurut-urut rambutnya ke belakang sambil menyandarkan diri. Matanya masih terpaku memandang wanita itu di kaca layar tanpa suara itu. Cukup menghairankan panggilan aura perempuan ini. Apalah peliknya sampai aku jadi tak ketahuan begini, bisiknya. Semakin aku menolak, semakin aku mendekatinya. Aduh... Lalu dia mematikan komputer peribadinya, menetapkan hati untuk menumpukan kepada tugas-tugas yang masih belum diselesaikannya.

Satu demi satu fail-fail meja di semak, memo demi memo yang perlu di kemaskini, surat demi surat yang perlu diambil tindakan, segera dikemaskannya satu per satu. Dia sedar, sejak akhir-akhir ini banyak kerja-kerjanya tergendala, malah dia sendiri merasakan prestasi kerjanya semakin merosot. Dia hilang tumpuan kerja hanya kerana perempuan itu. Dia semakin runsing, wajah perempuan itu muncul di mana-mana saja dia berada. Di dinding, di langit, di bunga, di nasi, di sayur, di cawan, di tidur..... ah...jadahhhh! Sukmanya bertempik, marah.

"Jangan-jangan aku kena siut dek perempuan itu?" Pernah dinyatakan hal ini kepada Sisiphus semasa chatting minggu lalu.

Sisiphus: Jangan sebarang tuduh.

Pateh Karma: Tu... puisi-puisi dia tu. Ayat-ayat dia tu... aku faham sangat la. Semuanya berbicaralah.

Sisiphus: Buka pintu sukmamu seluas-luasnya, Pateh. Puisi itu terlalu subjektif. Kau boleh masuk dari pintu mana pun, malah kau boleh rungkai sesebuah puisi itu menjadi manisan halwa atau pun pahitnya hempedu, waimma kelat lemaknya buah zaitun. Kau tak boleh melihat sesebuah puisi itu dari sudut yang sempit. Inilah jadinya. Konyol kau.

Pateh Karma: Wow, back-up nampak!

Sisiphus: Bukan back-up. Tapi open-up.  Ya, buka minda kau supaya melihat pengajaran di sebalik sesebuah puisi itu. Jangan lihat pada kulitnya. Benar, puisi adalah cetusan rasa yang gelabah, cetusan rasa yang tidak terungkapkan, cetusan rasa yang berontak, cetusan rasa yang paling mulus, cetusan rasa yang terapung-apung, cetusan rasa yang dendam dan banyak lagi tapi kerapnya puisi itu lahir dari simpulan batini yang senyap dan terpenjara! Penyair tak berupaya berbicara secara terbuka!

Pateh Karma: Soalnya dia sendiri mengakui.

Sisiphus: Mungkin pengakuannya berasas sumber lama. Sebab itu jangan lihat pada kulit puisi itu. Jangan terlalu mencari kesilapan, sebaliknya kau patut mencari pengajaran daripada kesilapan itu. Nur Imani, bagi aku adalah seorang penyair yang telah mendapat hidayah itu, kerana dia memiliki mata hati yang tajam. Ya, aku lihat ada persamaan pemikiran dengan engkau tapi dia lebih bijak memanfaatkan pemikirannya untuk dimanfaatkan pula oleh khalayak pembaca puisinya. Dia tidak lokek untuk memberi ilmu, pengetahuan dan pengajaran untuk di terokai oleh minda kita semua. Bukan macam hang. Come on, Pateh. Make-up your mind!

Itulah kali terakhir dia chating dengan Pateh Karma sehinggalah dia muncul sebentar tadi.

Benarkah fikiranku yang sempit?

Memusingkan kerusinya ke hala tingkap, di luar dia melihat bunga-bunga gerimis masih gugur merenyai. Langit memayungi mendung, petanda hujan tak akan reda pada tempoh waktu yang singkat. Dia bangun, berjalan ke tingkap cermin, memandang ke bawah bangunan pejabatnya. Kenderaan nampak kecil seperti semut besar yang berarusan tidak henti-henti. Persekitaran ibu kota nampak basah dan kelam. Sesekali, burung layang-layang berkeciau di hadapan mata, dan kemudian hilang entah ke mana.

Ah... dia muncul lagi di layar langit itu. Tersenyum seperti bidadari sedang memerhatinya. Wajahnya yang sayu, mulus dan terharu itu seperti menyimpan kesedihan yang parah. Seperti memandangnya penuh dengan kesintingan, waimma sesekali melihatnya dengan kesayuan.  Mengapa ada debar di dadanya bila dia melihat wajah itu di layar langit kali ini. Mengapa dia merasa kasih, rindu malah ada sesal terbit dari perdu hatinya saat ini. Kata-kata Sisiphus tadi, betul-betul membuka mindanya. Semacam rasa sesal mulai membenih dalam sukmanya, dan tiba-tiba dia terasa ada air masin melewati halkumnya. Terasa ketat untuk ditelan.

Dadanya kian menggeletar, mengombak seperti awan mendung yang mengepul sarat hujan. Jadah apakah yang meruntun kalbunya, hingga dia begitu merasai kekesalan terhadap wanita itu. Ya....Allah, seperti seorang pesalah yang sedang menanti hukuman, dadanya kian bergelora. Dia tidak tahu bagaimana harus membetulkan semua keadaan ini, merungkai segala kesilapan.

Air masin yang mengalir di halkum semakin perit terasa.

Mindanya benar-benar terbuka, rupanya dia yang jauh tersasar. Dia yang telah melakukan banyak kesilapan dan fikirannya tiba-tiba kembali ke beberapa bulan yang silam. Alangkah peliknya apabila dia merasakan satu kenikmatan kerana berjaya memprovokasi wanita itu - membandingkannya  dengan perilaku yang tidak setimpal, ya....Allah, apa yang telah aku lakukan! Nur Imani....

Semakin sayu wajah bidadari itu di layar langit, semakin lebat pula hujan yang turun. Seolah-olah itu petanda resahnya hati seorang wanita yang telah dikhianatinya sepuluh tahun dulu. Air masin yang mengalir di halkum sudah mula bergencar di mata lalu tumpah ke hujung alis. Segera dia menyeka dengan belakang telunjuknya.

Astaghfirullah....

Kekesalan yang tak dapat dibendungkannya lagi. Menarik nafas yang panjang, dia kembali ke meja tulisnya. Sejuk penghawa dingin yang dipengaruhi sejuk hujan di luar, semakin menyengat tubuhnya. Berpeluk tubuh, menahan sejuk, bersandar pada kerusi, dia membuat ketetapan untuk tidak memikirkan wanita itu lagi.

Astaghfirullah... astaghfirullah...astaghfirulllah....

Lalu dia pun memulakan kerja-kerja yang belum lagi di selesaikannya. Menyusun segala macam tugas, perangkaan demi perangkaan, maklumat demi maklumat, apa saja tugasannya yang belum siap. Sehari suntuk, akhirnya dia berjaya membereskannya. Alhamdulillah... berkat sambil bekerja sambil berzikir, dia berupaya melupakan sementara  wanita itu dan menyiapkan semua tugasannya dengan sempurna.

*     *     *    *     *

Dinihari Jumaat itu, hujan turun lagi renyai-renyai. Suasana sejuk dan pilu menyelubungi perasaannya. Anaknya sudah lama dibuai mimpi di kamar sebelah. Sesekali dia menoleh isterinya yang sedang nyenyak tidur. Lampu suram di kamarnya hanya mampu menggerakkan jari-jemarinya dalam bayang-bayang. Satu demi satu puisi hiba dinukilkannya entah untuk siapa. Entah kenapa, matanya payah sangat hendak lelap. Dada pula semakin debar dan sukma meraung kosong. Kasihan isteriku, bisiknya.

Sesekali dia terdengar decit sepasang cicak di penjuru siling kamarnya, berebut kepak kelekatu. Dia membungkam dengan rasa jengkel. Dan sesekali juga dia terdengar siul cengkerik di luar tingkap kamarnya. Lalu jari-jemarinya menukil  ayat-ayat cintakasih dirihari dari sukmanya yang meraung. Ya....Allah. Semacam beban sendat di kepala membuat sukmanya gundah gulana. Nak diraung, kepada siapa? Nak dijerit, tak bermakna! Oh...seksanya sukma.

Lalu dia menutup lap-topnya, beristigfar, menarik selimut dan menutup lampu...

*     *     *     *

Pagi di pejabat terlalu sunyi. Suasana pilu menyelubungi ruang dirinya. Melihat dua tiga meja kosong rakan-rakan yang mengambil cuti, riang suara Wardah yang entah di mana, dengan hujan yang masih renyai-renyai, seolah pagi Jumaat itu telah memasuki satu lingkungan yang amat niskala. Mengapa, ya mengapa ruang sukmanya begitu sunyi, pilu dan terharu. Atau ketiadaan puisi Nur Imani di layar tanpa suara, yang memungkinkan dia menjadi seorang perindu di birai waktu. Masyaallah...., apa dia sebenarnya?

Sambil menyandari kerusi empuk berwarna biru, dia menarik nafas keluh yang amat dalam. Terasa kedinginan ruang kamar pagi ini juga menyucuk-nyucuk tubuhnya. Sesekali sejuk tubuhnya menyengat ke ulu hati. Amat perlahan, lagu Pelangi Petang, sesekali menerobos ke pendengarannya. Amat pilu dan syahdu. Entah siapa yang memainkan lewat telefon bimbit, kerana dia amat pasti, tidak ada radio atau amplifier di ruang pejabat itu. Suara mersik arwah Sudirman mengusik sanubarinya. Dia memejamkan mata, menghayati lagu itu, sendunya mengalir ke dalam diri. Kenapa dia berasa amat bersalah dan kini kehilangan punca bagaimana mahu membetulkan kesilapannya.

Menatap layar monitor yang kosong, wajah itu muncul lagi. Kali ini, wajah itu lebih mulus dan kudus. Dia mengeluh lagi. Hampir sejam dia bungkam melayani mindanya, barulah dia  membuka komputer peribadinya. Pergi ke profilnya, ada catatan Sisiphus di situ.

Sisiphus: MAKLUMAN - ISTERI SAYA TELAH KEMBALI KE RAHMAH ALLAH SUBUH TADI DI PPUM - Tel: 019-5623852

Sejam yang lalu.

Rasa simpati bergayut dalam sukmanya. Barangkali inilah penyebab mengapa dia berasa begitu kosong, sunyi dan terasing sejak malam tadi. Dia segera menutup komputer peribadinya, mendail nombor telefon Sisiphus beberapa kali, namun dia tetap gagal menghubunginya. Dia tawakal untuk terus ke rumah jenazah di Pusat Perubatan Universiti Malaya bagi memberi penghormatan kali terakhir untuk isteri kepada sahabat fbnya, meski sebelumnya dia belum pernah bersua muka. Setelah mendapat kebenaran daripada ketua jabatan, dia mencapai telefon bimbit dan kunci kereta di atas mejanya. Bergegas segera menuruni lif, dia melangkah dengan dada yang masih berdebar.

Di luar, hujan renyai yang agak tajam titisannya sempat membasahi baju kemeja putih yang di pakai. Hampir basah lencun tubuhnya. Diredahnya juga untuk sampai ke kereta yang terletak agak jauh dari bangunan tempat kerjanya. Langit semakin mendung, dan fikirnya, langit rupanya turut bersimpati akan kembalinya kekasih manusia ke pangkuan cintakasih Allah. Tentu langit, awan-gemawan, pohon, camar, segala serangga, haiwan dan bunga-bungaan turut bersimpati, seperti dirinya juga. Lalu dia pun, membisikkan ayat demi ayat mersik di bibirnya sambil berniat untuk disedekahkan kepada arwah yang telah pergi itu.

Mujur jarak antara pejabatnya di Jalan Tuanku Abdul Rahman ke Pusat Perubatan Universiti Malaya tidak begitu jauh. Malah, arus kenderaan pergi balik di sepanjang perjalanan agak lancar pagi itu. Dalam masa tidak sampai setengah jam, dia sudah sampai di pekarangan PPUM. Namun, masih berlegar-legar mencari kekosongan pakrir yang paling hampir dengan rumah jenazah. Amat sukar untuk mendapatkannya. Setiap ruang pakrir ada saja kenderaannya.

Setelah hampir setengah jam menunggu, akhirnya dia mendapat pakrir apabila sebuah van beredar dari pekarangan hospital itu. Alhamdulillah... Dia segera keluar, mengunci pintu, lalu meredah hujan renyai yang mulai melebat, berlari-lari sambil menampan kepalanya dengan tangan. Mujurlah dia biasa sangat dengan persekitaran di PPUM itu, suatu ketika anak bongsunya hampir seminggu dirawat di hospital ini kerana serangan demam panas. Justeru, dia tidaklah menghadapi kesukaran untuk sampai ke rumah jenazah itu.

Sebaik sampai di pekarangan rumah jenazah, ada ramai pengunjung sedang menunggu. Agak aneh, tentu ada tokoh yang turut meninggal dunia, barangkali, menyebabkan pekarangan rumah jenazah itu agak sesak. Hujan turun juga seperti tadi, menggugurkan kuntum-kuntum sena dan flamboyant. Antara kuning dan merah, ia bersepahan di pekarangan, bertindih antara daun kering dan ranting patah. Sesekali, angin bertiup menerbitkan bunyi geseran julai ranting sena di genting rumah jenazah.

Berkali-kali dia mendail nombor telefon Sisiphus, namun panggilannya tetap tidak dijawab. 'Barangkali, Sisiphus tidak perasan kerana terlalu sebak atau apa? Dan sukmaku, mengapa terlalu berdebar.'  Di antara ramai orang, dia mulai mengenali beberapa pengunjung yang hadir. Ya, dia kenal mereka, hanya tidak pernah bertegur sapa. Penulis, penyair malah ada budayawan yang dia kenal. Barangkali manusia ramai ini adalah rakan-rakan Sisiphus.  Lalu....

"Assalamualaikum."

Seperti ada petir yang menggelegak mindanya, menerobos ke ruang sukma, tubuhnya tiba-tiba terasa panas sejuk. Bahana apa yang muncul di hadapan mata? Dia bungkam, tak terkata apa-apa bila yang berada di hadapannya adalah orang yang memang dijauhinya. Meski bukan seorang musuh, lelaki ini juga bukanlah seorang sahabat yang dialu-alukannya, entah mengapa. Ada yang terkilan di hatinya bila berhadapan dengan lelaki ini. Masih segak dan kacak rupanya dia, getus hatinya, sambil menyalami dengan berat hati.

"Waalaikumsalam..." Hambar suaranya.

"Sisiphus....."

Getar suara yang menyebut Sisiphus itu telah menggetarkan seluruh tubuhnya. Sekali lagi dia seperti disambar petir. Tiba-tiba saja pandangannya berpinar dan mindanya berserabut. Dia benar-benar mengigil, ketakutan. Ya... Allah, padah apa yang diterimanya ini hingga begini sekali Engkau duga aku. Tangannya menggigil, pandanganya kasat, tubuhnya longlai. Tak mampu dia menahan dirinya, lalu terjelepuk longlai di sisi Sisiphus.

"Nur Imani...." Jurai airmatanya berhamburan diiringi sesah nafas yang membuah sedu sedan.

"Ya... dia sudah pergi meninggalkan kita."

Dia sudah seperti anak kecil  dalam dakap Syukri @ Sisipus.

"Sungguh kejam kau, Syukri. Kau biarkan aku dirasuk perasaanku sendiri." Dipengaruhi rasa sesal,  kesilapan Syukri,  nubarinya mula ditikam suara yang terluka.

Duduk di tepi longkang berdua Syukri, diperhatikan oleh ramai handai taulan, sepasang sahabat yang tak gemar bertegur sapa itu  kini telah duduk bersama, mengawal rasa sedih, kesal dan kosong, malah itulah nilai kebersamaan yang tak pernah mereka lalui. Namun, alangkah malangnya apabila kebersamaan itu hadir setelah  kekosongan nilai kasih sayang dibawa pergi pula oleh Nur Imani.

"Aku tak pernah membiar kau, Pateh. Aku menjadi Sisiphus kerana hendak mendekati kau, kerana kalau Syukri yang wujud, kau pasti jauh dari aku. Aku juga menyesal, justeru sebelum kau juga turut menyesal, aku mahu membetulkan keadaan. Tapi kau juga seperti aku, hati kita sama-sama batu, sedang dia terlalu lembut seperti kapas putih, melayang-layang tak upaya jejak, dihenyak tak upaya menolak." Air mata yang tak henti mengalir dipipi Syukri, diseka dengan hujung tangan baju Melayu warna biru laut. Basah setompok lengan bajunya.

" Patutlah aku serba tak kena sejak tengahhari semalam. Ya...rabbani..." Pateh Karma mengeleng-geleng, tunduk wajahnya memerhati air longkang yang mengalir deras.

" Tengah hari semalam dia bergelut dengan sakratulmautnya. Bertahun dia mengidap brain tumor. Dia tak pernah menceritakan kepada saya, melainkan yang saya tahu dia sering mengadu migrain. Hinggalah dia pengsan dua bulan lepas, tahap tumornya sudah kronik. Rupanya dia sudah mengidap lama tapi menyembunyikan penderitaannya sendiri. Tak siapa pun tahu, walaupun anak-anak. Saya tahu, dia banyak menderita dari kecil hinggalah dewasa tapi karenah saya itulah yang tak dapat saya maafkan. Banyak kesilapan yang telah saya lakukan. Sepanjang dua bulan sebelum dia pergi, saya berusaha untuk mengembirakan dia. Saya tahu dia juga banyak menderita dengan provokasi awak tapi seperti biasa, dia tetap menelan penderitaannya dengan senyap. Dia tak akan berkata-kata, walau jiwanya memberontak. Justeru, saya menjadi Sisiphus untuk menamatkan perang saraf antara awak dan dia semata untuk membuka minda awak supaya tidak menyakiti dia."

"O...no...no... Aku tak bermaksud demikian. Aku... ya..Allah.  Aku minta maaf, Syukri."

"Ya, aku tahu segalanya. Dia pernah mohon kemaafanku juga, kerana katanya pernah wujud  namamu di sukmanya. Tapi aku, meski kumaafi, aku tetap rasa dikhianati lalu aku juga turut memprovokasinya, melayani bintang-bintang gemilang yang tanpa kusedari, kekasihku ini sedang menunggu mati... Saya amat menyesal, Pateh."

Pateh Karma bungkam.

"Kita terlalu tamak dengan perasaan kita sehingga kita terlupa, nilai kasih sayang yang begitu mulus, lahir dari hati yang tulus, kita pinggirkan dia oleh kesilapan yang terlalu kecil. Ya, saya tahu dia senyap setelah dia tahu dirinya telah dipinggirkan. Sejak itu, saya sering melihat dia mengadu sesuatu, mencari sesuatu. Quran adalah tempat dia melenyapkan resahnya, di samping dia tetap mencari sesuatu, dan ini saya temui dalam banyak puisi-puisinya - cinta kasih Illahi. Pun saya masih ego, tetap meminggirkannya. Malah, saya tak pernah menyokong karya-karyanya, apalagi untuk mengangkatnya. Sedang saya tahu, dia amat memerlukan dokongan saya. Ya...Allah."

Pateh Karma senyap mendengar, meski sesekali dia teresak-esak.

"Dua bulan, apa yang dapat saya korbankan untuk dia, berbanding pengorbanan yang dia diberi kepada saya. Ah... terlalu peribadi untuk menceritakan.... Sebab itu saya cuba memujuk awak supaya tidak terus memprovokasi dia. Tapi awak juga batu seperti saya, memberatkan lagi beban dia, mengeruhkan situasi dia. Saya benar-benar menyesal, meski dia sempat memaafkan kita."

Pateh Karma senyap lagi, beristighfar dalam diam. Dia merenung titis-titis air hujan yang renyai perlahan. Ada resah yang meruntun pilunya. Musim basah telah tiba rupanya. Musim derita seorang Nur Imani yang pernah didustai perasaanya oleh dendam yang diciptanya dari desakan sejarah silam.

Dia bangun, memegang bahu Syukri, menepuknya perlahan beberapa kali. Entah perasaan yang bagaimana muncul dalam dirinya waktu itu. Antara menyabarkan Syukri atau memujuk dirinya supaya sabar menerima kehilangan hakiki, sedunya semakin bergumpal dalam diri tatkala dia dibenarkan oleh Syukri untuk menatap kali terakhir wajah Nur Imani.

Dengan debar di dada, Syukri mengiringi dia ke kamar jenazah, di iringi juga oleh tiga penyair yang baru tiba dari Kota Jakarta. Lemah longlai kakinya, dan airmata semakin menerjah alur matanya, mengalir keluar tatkala petugas kamar itu membuka kain putih yang menyelimuti wajah cintakasih itu.

Menggigil seluruh tubuhnya, malah hampir lumpuh sukmanya tatkala dia melihat wajah mulus Nur Imani. Bidadari yang sedang tidur dalam khusyuk itu, begitu tenang dan tenteram. Saat itu, tak ada ungkapan lain yang upaya diluahkannya melainkan bertasbih, bertahmid, bertakbir dan membisikkan hauqalah.

Dia sudah tidak berdaya. Itulah kali pertama nuraninya begitu lumpuh pada satu peperangan yang sebenarnya mencatatkan kekalahan di pihaknya.

*     *     *     *     *

Selesai solat jenazah yang diimamkan sendiri oleh Syukri, jenazah diiringi ke tanah perkuburan berdekatan. Hadiah paling istimewa buat jenazah ialah apabila kepulangannya diiringi sejumlah ramai para sahabat, malah sahabat jauh dari dalam dan  luar negara tidak melepaskan peluang. Mereka hadir dengan doa dan ayat cintakasih serta alun zikir yang tidak henti berbisik. Amat syahdu, diiringi percik halus derai hujan yang memaut pilu alam sekeliling, unggas, pepohon yang runduk, bunga kemboja yang menebar wangi, guguran kuning kuntuman sena turut menghiasi tanah tanih yang basah dan deru angin yang rawan, terapung-apung antara kuburan yang memutih. Masyaallah, bergeming nadi insan yang pasrah mengelilingi cintakasih pusara Nur Imani.

Seusai bacaan talkin, tika para sahabat mulai beredar, seseorang memegang bahu kanan Syukri dan bahu kiri Pateh Karma. Seorang penyair dari Jakarta, Kasyaf Indrawan, memandang mereka dengan pandangan sinting. Ditemani rakan-rakannya.

"Seharusnya penyair ini disemadikan di perkampungan kami, di Jakarta kerana roh puisinya berlegar di negara kami," ujar Kasyaf Indrawan melepaskan nafas lelahnya.

"Kamu orang-orang tidak tahu menghargai sebutir mutiara yang kami kutip dari lumpur di daerah kamu. Lalu kami bersihkan dan kami lihat kemilaunya di jari kami. Bahkan sangat kemilau. Ya, meski kini hilang cahayanya, ia tetap akan menghiasi jari kami sampai kapan pun."

Tidak ada kata yang mampu untuk diluahkan lagi dari mulut yang mulai gumam. Sepasang sahabat yang mula menyatu itu terdiam, merenung tanah tanih yang basah, mendasari ke daerah paling diam, mencari makna yang amat tersembunyi.

Allahu Akbar...

ibunda ratu

"....sejak dulu wajah wanita bagai matahari. Dia bersinar tetapi menjelang senja, ia menghilang. Wanita dipuja tetapi serentak juga dihina dicaci. Di samping dia tumbuh dan membina kewujudannya, ia kerap tenggelam di celah-celah bayang lelaki. Dia kerap dilindungi, tetapi juga diperas tenaga dan rohnya..." -- Prof Dr. Siti Zainon Ismail.

Monday 2 May 2011

Istana Cindai

                                                       Tun Teja

GETAR yang bergalau dalam dada tetap meruntun sukma untuk melangkah, menghadap dan merafak sembah - kalau ada yang bersemayam di tahta itu. Istana itu nampak marak dan ceria, namun ada getar  yang bergelombang dari segenap sudut, bermula dari tangga istana langsung ke serambi. Dan sesekali getar itu hinggap ke rongga dengar, bergeming sayup ke sukma.
Kasut kanvas kusam putih itu disimpannya di tempat letak yang di sediakan.
Memberi salam entah kepada siapa, dalam sukmanya tetap sedia memaafkan, kalau ada getar lain yang menyumpah seranah dia kerana memasuki istana ini tanpa izin.  Wajah-wajah mannequin yang  bergaya ala sultan yang memerintah, permaisuri yang bersemayam di sisi,  datuk bendahara, temenggung, laksamana gagah perkasa, para pengawal, dayang-dayang, dan para sida sekalian, tidak menampakkan kegembiraan, melainkan kaku, beku dan angkuh. Apakah ini lambang kehebatan kesultanan  Melayu  zaman dahulu?  Yang diwar-warkan punya kesungguhan mempartahankan  susur galur  Melayu hari ini?
Ah, pedulikan! Rahsia kesultanan Melayu itu tidak penting baginya saat ini, getus hati Zau.
Dia berpaling ke satu  sudut. Di situ ada sebuah kamar berhias  cantik. Dia melangkah untuk meninjau apakah keistimewaan kamar itu. Sebuah peraduan ukiran lama bermotif flora dan fauna yang diperbuat daripada kayu jati masih utuh binaanya, terhampar rapi beralas kain cadar baldu berwarna kuning di raja, berbantal  tenunan sutera cina berbunga melati warna kuning juga. Kelambunya diperbuat daripada kain sutera cina yang agak nipis berwarna putih, bercekak kiri kanannya dengan tali tenunan benang emas. Aduhai, sehalus seni jemari bonda Miah menjalin benang emas menekat tepak, rupanya halus lagi untaian tali benang emas  pencekak kelambu di raja ini. Siapakah gerangan yang menenunnya!
Angin semilir berhembus dari  tingkap yang terbuka membelai-belai kain cadar dan kelambu di raja itu. Beralun-alun  bagai dituip  angin monsun yang menampan dada laut. Dan alun-alun itu yang menerbitkan resah gelisah dan getar, kembali bergelombang dalam kamar  di raja itu.  Ranah apakah yang mula menguasai minda, saat angin yang bertiup melalui jendela istana itu menyentuh sukmanya. Ada lara yang mula menggumam sanubari, tatkala tangan Zau cuba membetulkan kain cindai sutera cina warna delima yang melitupi dandanan di kepala mannequin yang tersingkap ditiup angin.
“Jangan, jangan sesekali tuan sentuh milik beta!”
Zau terkejut mendengar bentakan itu. Suara yang entah dari mana datangnya tiba-tiba menggugat ketenteramannya. Pandangannya berkeliling, mencari arah dari mana datangnya suara itu. Tidak ada sesiapa yang bertamu di kamar itu maupun di anjung istana atau di balairong seri. Melainkan dia, di temani  beberapa mannequin yang dipakaikan pakaian di raja.
Ataukah ada roh yang tersembunyi di istana lama ini yang degil untuk pulang ke tanah asal ataukah  dia yang gemar berhalusinasi, dan kini ilusinya mula memerangkap diri? desis nubarinya. Lalu Zau, mencuba sekali lagi membetulkan kedudukan cindai di raja  yang tersingkap ditiup angin itu untuk menguji  kesahihan suara yang didengarnya tadi.
“Telah beta katakan, jangan sentuh barang milik beta! Tidakkah tuan faham!”  Suara amarah  itu semakin meninggi dan membentak.  Malah, getar yang Zau rasa bergelombang dari seluruh ruang kamar itu sudah mula  menyilaukan pandangan matanya.
“Siapakah  kamu yang bersuara?”
“Siapa  tuan  yang berani menyoal beta?”
Zau gelisah, namun kedegilan sukmanya yang berantakan itu tetap tidak berganjak.
“Siapa kamu? Keluarlah!” Lagak suara seorang pahlawan yang berani, Zau cuba mencabar untuk menzahirkan suara itu di depannya, meskipun getar di sukmanya semakin bercempera. Angin monsun yang membawa benih-benih hujan mula berhembus kuat,  sesekali cuba menyingkap jilbabnya.
“Beta, Tun Fatimah. Permaisuri  Sultan Mahmud Shah! Permaisuri yang menyimpan dendam kesumat yang tak pernah padam oleh kekejaman yang mengalirkan darah yang membasahi bumi Melaka ini! Selamat datang tuan ke istana beta…”
Zau terkejut, malah amat terkejut. Dia cuba merapati ke tubuh mannequin yang berwajah lara, kaku, beku dan angkuh itu!
“Engkaukah yang bersuara bernada hiba, wahai mannequin?” Zau memegang jari-jemari mannequin yang dihiasi cantik bak puteri zaman dahulu kala. Di sisinya, sekeping penanda yang berbunyi – persalinan Tun Fatimah, permaisuri Sultan Mahmud Shah.
Zau terkejut lagi. Setitis air jatuh ke tangannya. Terasa hangat dan kehangatan itu menyerbu minda, menyela-nyela seluruh tubuhnya. Dia memandang wajah lara mannequin itu, membelek-beleknya dengan rasa takjub. Oh, alangkah pelik kejadian. Zau merasakan tubuhnya mula nanar kembali. Dia cuba mengungkap sukmanya yang mula membuak rasa ingin tahu. Benarkah atau ini hanya ilusi yang bermain di  ruang mata menyebabkan mata fikirnya bertambah nyali. Berpencar cahaya dari empat penjuru kamar di raja itu menyelar pandangan rohani Zau yang semakin silau.
Zau tersasar  ke dinding, cuba menghalang cahaya berpencar yang  mengabui pandangannya.
“Bangun, tuan. Sekian lama beta menunggu tuan, baru kini tuan menjelma. Tolong beta, tuan. “  Suara yang tadinya bernada angkuh, berubah hiba.
“Tolong?!”
“Ya, tolong lenyapkan dendam beta. Selagi nama beta tidak hancur ditelan zaman, selagi Melaka tidak diubah sejarahnya, selagi itulah dendam beta berkesumat, membawa padah, malah darah akan kembali menyimbah bumi Melaka ini.”
Dipapah  dengan  jemari yang terasa amat lembutnya, Zau bersusah payah bangun kembali. Tatkala itu sukmanya berbaur antara mahu percaya dengan tidak,  dia merasakan seolah-olah sedang berhadapan dengan pintu maut yang terkuak  yang bersedia melontar dirinya ke lembah  kelam. Dia bangkit, cuba melenyapkan rasa nanar yang semakin bergalau menghenyak  hingga tubuhnya semakin memberat.
Semakin getar sukmanya, semakin kuat sesah nafasnya menahan debar yang semakin membuak. Sekeliling dirinya bukan lagi istana lama, melainkan  sebuah istana yang benar-benar  wujud. Tun Fatimah sudah berdiri di hadapannya, seperti cuba mententeramkan perasaannya.
Lantaran rasa terkejut yang ketara, Tun Fatimah yang sangat elok paras rupa dan lembut halus budi  itu, terkumat-kamit bibir delimanya seperti mengungkapkan sesuatu lalu dengan perlahan dia menghembuskan nafasnya yang berbau setanggi itu ke muka Zau.
Merah menyala muka Zau menahan bau setanggi yang sesekali berbaur wangi bunga mawar itu. Alangkah takjubnya, bila getar di sukma yang tadinya bergalau seperti disepuh puteri tujuh, lenyap tiba-tiba. Dupa di tangan Tun Fatimah mengepulkan asap warna-warni  memerangkap seribu kenang yang mewarnai  sejarah silam istana itu. Kini, rasa debar dan takut itu  lenyap  perlahan-lahan seperti diangkat ke langit tujuh.
“Bertenang, tuan.  Tuan datang ke istana beta atas perjanjian. Perjanjian yang telah lama kita meterai sejak azali, dan sejak itulah beta dan sahabat-sahabat beta tidak kembali ke tanah asal, menunggu tuan untuk menamatkan perjanjian ini.”
Tun Fatimah meletakkan dupa di tangannya ke sisi peraduannya. Asap warna-warni berkepul naik ke langit.
“Mengarut! Aku tidak pernah berjanji apa-apa dengan kalian, ya siapa itu sahabat-sahabat yang tuanku maksudkan? Siapakah mereka? Apa mahunya mereka terhadap aku? Maaf, aku mahu pulang!” 
Zau segera beredar, hendak meninggalkan Tun Fatimah. Namun, langkahnya terhenti tatkala dia terdengar  bunyi  bergemerincing di pintu. Dua orang pengawal tidak berbaju menyilangkan lembing yang dipegang.  Sukma Zau terpelosok kembali ke kamar Tun Fatimah.
“Bukankah tuan  yang telah berjanji dengan kami untuk membebaskan penderitaan kami akibat dendam yang tak terlerai? Darah yang pernah menyimbah bumi Melaka perlu tuan semah segera agar beta dapat bersemadi tenang di alam baqa. Selagi sanubari tidak menguntum bunga selagi itulah langit tidak akan berubah jingga, selagi itulah malam berselindung di sebalik siang!” Tun Fatimah teresak-esak, menahan sebak.
“Aku nanar! Aku nanar!” Zau seakan hilang kawalan minda. Sukmanya sengsara.
“Jangan takut, tuan. Selagi kata boleh berbahasa, ciptakan beta hikayat di raja. Gurindam elok dari sukma tuan yang elok rupa. Ciptakan beta syair nan bahagia yang dapat membunuh segala nista, lantaran nafsu nafsi dari cinta berahi  di hujung senja.  Tuan tentu maklum apa yang telah terjadi di bumi Melaka. Tuan tentu maklumi, siapa pendusta siapa penderhaka, siapa menyanjung siapa di sanjung,lantaran itu darah merah menyimbah bumi Melaka – itulah darah suami dan ayahanda Tun Mutahir yang tercinta!”
Semakin berhiba-hibalah sukma Tun Fatimah, seolah mendodoikan lagu penyesalan dari sebuah percintaan yang dikhianati. Diseka airmatanya, yang mengalir di pipi hingga berkemilau cahaya peribadi dari seorang wanita yang pemalu kini menjadi seorang wirawati yang berani. Dari sukma bernafas lembut menjadi  sukma berjiwa tegas, keras dan dendam!
Aku Tun Fatimah puteri Bendahara Seri Maharaja
aku bangkit dari pusara langit
ungu air bukit cina kuseru namamu kota Melaka
kembalikan kerisku ke sarung
kembalikan mahkotaku ke singgahsana
kembalikan dendamku ke lubuk kencana
kembalikan diamku  ke sakar maduku
aku rindu ke dalam dakapMU…
Tun Fatimah meratib-ratib bergurindam tak henti-henti. Semakin lama airmatanya semakin lebat mengalir, semakin sesah bunyi angin mencakar-cakar dinding kamar itu. Menggelepar sukma Zau seakan merintih pula, mengharap Tun Fatimah segera menghentikan ratib ratapnya.
“Kalau itu mahu tuanku, aku akan laksanakan. Akan aku hikayatkan penderitaan tuanku, akan aku gurindamkan cinta setia tuanku kepada Tun Ali, kasih tuanku kepada ayahanda tercinta, dan dendam tuanku…”
“Tidak! Beta tidak mahu ada dendam dalam hikayat itu. Beta mahu dendam itu ditamatkan!”  Bergema suara Tun Fatimah menembus deria dengar Zau yang seperti ditusuk buluh runcing. Zau tersentak.
“Mustahil! Bukankah itu sejarahnya, tuanku.  Menamatkan sebuah hikayat tanpa dendam itu bukan hikayat Tun Fatimah!”
Suara Zau seperti menerajang dan bergeming ke langit leluhur, menyebabkan Tun Fatimah menyilau mata batinnya.
“Beta sangka tuan berjiwa hamba, rupanya tuan juga seperti mereka. Tak lekang jiwa tuan pada sengkata, tak hilang jiwa tuan hendak menderhaka. Cukuplah bumi Melaka disimbah darah, tamatkan sejarah itu supaya lenyap dendam beta, supaya bumi Melaka aman sentiasa!”
Zau semakin nanar, meregang-regang akal fikirnya cuba menelah riwayat yang tidak berkesudahan ini. Mana mungkin sebuah dendam yang telah disejarahkan  diputarbelitkan penceritaannya. Escapist! Memudah cara dengan menoktahkan sebuah tanda soal!
Zau menggaru-garu kepalanya, memikir apa sebenar kehendak permaisuri diraja ini.
“Lenyapkan dendam beta, itu saja!”
“Dendam beta juga!”
“Hamba juga!”
Zau tersentak.  Makin terpelosok dirinya ke lantai kamar. Makin mengecil dirinya menerawang dalam minda yang bertaburan, bergetar antara gelombang batin yang membuatnya semakin lemas.  Siapakah gerangan yang tiba-tiba muncul di hadapannya, laksana lasykar yang cuba menentang musuh dan  musuh itu adalah dia!
“Beta Tun Teja, permaisuri Sultan Mansur Syah yang dikhianati sakar madunya oleh Hang Tuah!”
“Dan hamba, Mahsuri, isteri Wan Mat Deris yang direjam dengan tombak sendiri kerana dituduh bermukah dengan Deramang oleh  mentua sendiri!”
Zau makin nanar. Bergalau suara mereka merempuh sukmanya lalu menghenyaknya ke lantai. Dia terpinga-pinga, rohkah atau apa mereka ini yang tiba-tiba memerangkap sukmanya daripada lolos dalam sedar. Jarinya meraba-raba ibu jarinya, dengan harapan untuk sedar  dan kembali ke dunia nyata. Makin dipicitnya ibu jarinya makin terkunci sukmanya, terperangkap dalam kamar di raja ini. Nanarnya makin menggila memaut deria pandangdengar yang  menerawang antara ruang – keluarkan aku dari perangkap getir ini!
“Seperti Tun Fatimah, kami juga mahu menamatkan dendam ini. Dan kembali damai ke tanah asal!” Suara Tun Teja mula berhiba dan airmata mula bergencar. Bau daun sireh  pelupa yang dimamah berbaur bau setanggi bunga mawar terbit dari nafas-nafas lara yang sengsara sekian lama.
“Ya, cukup sumpahku tujuh keturunan, bumi Langkawi menjadi padang jarak padang tekukur, cucu cicitku menderita menanggung lara akibat  kekejaman bapa dan ibu mentua yang berdosa. Tak sanggup aku terawang-awang antara lelangit bumi menyaksikan kekejaman ini. Putih darahku sudah cukup melagang segala dendam kesumatku. Tolonglah kembalikan aku ke tanah asal, tolonglah, tuan.” Mahsuri seperti hilang pertimbangan, seakan mahu menerpa ke arah Zau.
“Gila! Kerja gila!” Zau tersasar ke belakang.
Seperti orang gila juga, melantun bahasa kasar Zau, tiba-tiba. Menggeleng-geleng, sedang sukmanya meronta-ronta, bagaimana cara untuk membetulkan hukum. Takdir yang tercatat sejak azali, bagaimana hendak dipesong! Sukma Zau menjerit, bergelut ke langit tujuh, bersatu dengan angin ,menyumpah-nyumpah kewujudan watak-watak yang penuh dendam kesumat ini.
“Lakukan!”
Mereka mula mendesak. Nada suara meminta dari wajah-wajah jelita berbaur lara itu sudah mula meninggi. Sudah mula bergeming hingga mengilukan sukma Zau menjadikan dia berasa  tidak menentu saat itu.
“Jika tidak?”
Zau mencabar wajah-wajah jelita berbaur lara itu.
“Jangan menipu diri sendiri, tuan!”
Kali ini wajah-wajah jelita berbaur lara itu semakin berani mencabar Zau yang semakin kebingungan.
“Tipu?”
Zau terasak oleh kata yang tiba-tiba mengaibkanya. Wajahnya memerah, berkaca  ekor matanya menyembunyikan sesuatu yang tersembunyi. Getar suaranya sudah semakin bergalau, meruntun nubarinya untuk bertindak lebih aggresif. Ini tidak boleh jadi, getus hati Zau. Peluh dingin semakin rencam membasahi mukanya, berkemilau di panah cahaya yang datang entah dari mana.
“Tuan adalah sebahagian dari kami! Sukma tuan penuh dengan dendam kesumat yang tak pernah sudah! Tuan adalah kami! Dendam tuan terbit dari dendam kesumat kami! Derita tuan terbit dari derita kami. Sampai bila tuan hendak berdendam sedang nadi mahmudah tuan sudah lama mengajak nafas mazmumah tuan untuk berdamai!”
Asakan demi asakan dari nada suara lara itu semakin bergalau, membiaskan warna-warna keliru yang kian membangkitkan rasa amarah Zau yang tak terbendung. Sesah nafasya semakin menyesak sukma. Mengapa tidak dari tadi mengiakan sahaja permintaaan mereka , agar tidak terusik sedikitpun apa yang tergumam di sukma? Untuk menobatkan kewibawaan, sudah terlambat. Apa yang tersembunyi sudah semakin diketahui, malah sudah semakin menyatu dengan kehendak mereka.
Zau memejam mata. Getar di dada semakin bercempera, menyelar-nyelar sukmanya yang bercelaru. Airmatanya, entah mengapa mudah benar mengalir, membasahi pipinya, mengalir lagi menitis ke lantai. Tatkala itu, sayup-sayup dia mendengar deru mobil yang singgah di telinganya, dia cuba menggagahkan mindanya untuk kembali ke dunia nyata, tanpa ada duga-menduga, desak-mendesak dan dendam-mendendam.
Bohong! Akulah pendendam maha dahsyat yang sering menyelongkar dendam nubari dari kalbu yang silam. Dusta kalau aku tidak berdendam, kalau bukan aku yang merangkai bait demi bait, menjalin kata demi kata, menggubah duka kepada lara, siang kujadikan malam, malam kubenamkan ke dasar akar sukmaku – bukankah  aku si penyair yang bernama  Siti Zauyah! Yang lahir dari ranah kejadian. Yang diamanahkan oleh sejarah lara supaya membela tahta yang tercela! Hatta, dendam kesumat itu bertunas seawal mula membenihnya tulang sulbi sejak di rahim bunda,  dendamku telah dipupuk menjadi subur oleh ratab ratib hikayat dari lipur lara ayahanda tercinta!
Kalbu Zau meronta, mengila-gila jadinya.
“Hah…,mengaku pun tuan! Malah, ada lagi dendam tuan yang tidak terbela.  Bagaimana zaman kanak-kanak tuan, saban hari melagang hidup atas airmata, remaja tuan dituduh nista, diperangkap, difitnah, dihina, dan dewasa tuan – tak sudah-sudah lara menimpa. Pengecutnya tuan berselindung di sebalik keluh kesah  kami yang tak terbela! Sedangkan tuan lebih lara dari kami sepanjang usia menjangkau ke riwayat kami, tuan berselindung di sebalik dendam kami!”
Suara Tun Teja menerobos, menikam sukmanya. Pedihnya tak terhingga. Sebaknya membuak airmata tak henti-henti mengalir membasahi pipi dan bibirnya. Menggumam Zau seketika menahan sebak yang tak terhingga.
“Cukup! Cukup! Aku tidak pernah berdendam dengan sesiapa! Akar di sukmaku bertunjangkan nur dari Zat yang menyatu. Tidak terlintas di sukmaku untuk menentang takdir  waimma memesongkan catatan sejarah yang cukup mulus dalam ingatan. Tidak! Aku tidak berdendam seperti tuanku semua.”
Terlalu kerdil dirinya saat itu, mendepani nubari-nubari yang pernah menjadi tempat persinggahan dia untuk berselindung lara. Bukan niat untuk dia berdendam melainkan menumpang untuk menyusun bait-bait dari kata-kata mulus buat pengubat duka yang melanda. Hanya itu! Salahkah?
Tun Fatimah yang lembut halus budi itu mendekati Zau yang terpelosok di lantai. Dia menyeka airmata yang membuak di pipi Zau dengan cindai sutera cina yang menyelimpang tubuhnya. Bau setanggi berbaur wangi bunga mawar kuat lekatnya pada cindai sutera itu, menyerbu ke rongga baunya. 
Berbekalkan sedikit kekuatan dari semangat Tun Fatimah, Tun Teja dan Mahsuri, Zau cuba untuk bangkit, cuba mengheret tubuhnya mahu keluar dari kamar di raja itu. Dia sudah tidak sanggup mendepani  kehendak mereka yang sukar hendak ditunaikan itu. Amat mustahil memesongkan sejarah yang sudah lama terpelihara dengan elok!
Bunyi gemerincing tombak berlaga, mematahkan semangat Zau sekali lagi.  Wajah pengawal yang mengawal nampak bengis dan ganas!
“Bebaskan aku!”
“Bebaskan dendam kesumat kami!” Serentak mereka membentak, menyilaukan pandangan berupa ancaman yang bersungguh!
“Bebaskan aku!”
“Bebaskan dendam kami dulu! “
Wajah-wajah jelita berbaur lara itu semakin mendesak!
“Tapi, bagaimana? Memesongkan sejarah? Berbohong pada anak bangsa bahawa moyang mereka  adalah puteri-puteri yang hidup ceria. Yang tak pernah bersengketa? Yang tak pernah hidup lara dan tak pernah sekelumitpun berdendam dengan sesiapa? Begitu? Dayus! Melampau!” Zau menjerit lagi. Amarahnya memuncak. Dia tidak akan bertolak ansur  dengan wajah-wajah jelita berbaur lara ini lagi.
“Dayus tuan kata? Bukankah tuan yang lebih dayus daripada kami. Berselindung di sebalik dendam kesumat kami! Dendam tuan lebih hina dari dendam kami!”  tempik Mahsuri, mula memberontak.
“Aku tak dendam! Tidak!” Zau juga memberontak.
Mahsuri yang kehilangan sabar, merebut tombak di tangan pengawal  lalu menghunjam tepat ke jantung Zau, sama seperti dadanya yang pernah ditombak dahulu! Membuak darah ungu, lalu menyimbah pintu kalbu - Zau yang  separuh longlai menjerit ke langit leluhur, menadah tangan kanannya memohon kudrat Illahi dengan tangan kiri menahan darah ungu yang membuak laju.
Tun Fatimah dan Tun Teja, terpinga. Begitu cepat peristiwa berlaku. Bumi Melaka disimbah darah ungu kali ini, dendam kesumat beraja lagi. Tun Teja mencabut tombak yang terlekat di jantung Zau.
Zau mengerang menahan sakit.
Tun Fatimah segera membebat luka di jantung Zau dengan cindai sutera cina warna delima miliknya. Menyatulah warna merah ungu mewarnai bumi Melaka , memunculkan buih-buih merah ungu berlegar mengapung ke langit firus, berterbangan serata langit memayungi bumi Melaka.
Suara Zau bergema menahan sakit dan getarannya menggelombangi seluruh tonggak istana. Menerobos ke dalam cahaya yang berpencar di sekeliling kamar di raja itu, seketika senyap. Tatkala itu Zau terdengar suara muazzin, berkumandang azan yang sayup-sayup singgah ke rongga dengarnya.
“Aku bersumpah atas nama Tun Fatimah, Tun Teja dan Mahsuri, bahawa selagi darahku berwarna  ungu, selagi itulah  dendam kalian berakartunjangkan di laut sakar maduku…..!”
Suara Zau semakin lemah, berbaur esakan tangis Tun Fatimah dan Tun Teja yang benar-benar mengesali kejadian?
Dan Mahsuri yang terkejut oleh perbuatannya, terpelosok ke rusuk Zau, menyesal sehabis sesal oleh perbuatannya sendiri. Meratap-ratib dek kekesalan yang tidak berkesudahan. Bergema esak tangisnya, menggelombangi kamar di raja itu.
Zau yang hampir menyatu dalam dendam wajah-wajah jelita berbaur lara itu, semakin tenggelam batinnya dalam rasa sebal penuh sesal. Akan terawang-awangkah rohku antara lelangit bumi, memikul beban dendam wajah-wajah jelita berbaur lara ini? Zau lelah, nafasnya  mula berombak mengikut sesah denyut jantung yang terluka. Zau merasakan setiap isi bumi mula menyumpah-nyumpah dirinya. Matanya mula gencar, titis bening mengalir dari alur matanya lalu menyatu dalam darah merah ungu, memencarkan warna-warna keliru lalu membiaskan kamar di raja ini - menjadikannya berwarna ungu!
Alunan azan dari suara muazzin yang lemak merdu semakin menggetar kalbu Zau. Amat berat tubuhnya ketika itu. Amat fana dunia ini, seolah-olah rohnya diapungkan bersama ribuan gelembung-gelembung buih, naik ke langit biru. Saat itu semakin nyali sukmanya. Dia pasrah!
“Puan, Puan Siti Zauyah! Bangun puan……”
Zau melihat beberapa orang mengelilinginya, terpinga-pinga.
“Kenapa saya?”
“Puan pengsan di hempap tiga mannequin itu. Apa yang telah terjadi, puan? Wajah puan  pucat betul, macam orang kehilangan banyak darah!”
 Kurator muzium istana, terpinga- pinga melihat keadaan Zau sedemikian rupa. Dia segera meleraikan ikatan cindai di dada Zau.
Zau tersentak. Dia cuba mengelak tapi ikatan cindai itu sudah pun lerai. Alangkah peliknya! Zau menekan dadanya yang ditombak Mahsuri. Pedihnya terasa namun tidaklah sampai menderita. Zau semakin keliru dan bercelaru, menyelami bahasa kalbunya, kalau-kalau apa yang berlaku adalah halusinasinya sahaja. Tapi, bagaimana cindai itu membebat dadanya?  
Meski tubuhnya terasa longlai, dia gagah untuk bangun, malah cuba menjangkau jiwa hambanya untuk kembali  ke makam fana dalam kamar di raja itu. Puas dia memejam mata tapi hampa.
“Kita ke klinik?!” Ada suara yang mencadangkan. Namun, Zau tetap berdiam, seperti mengelamun memikirkan, ya memikirkan tentang mannequin-mannequin  itu!
Tatkala dia cuba menyelimpangkan cindai sutera warna delima ke bahu  mannequin Tun Fatimah, Zau terlihat ada setitik darah merah mewarnai cindai itu. Lantas Zau meraba dadanya - di bajunya ada secalit darah berwarna merah!
Saat Zau dipapah pergi, dia sempat menoleh mannequin-mannequin itu. Tersedu sukmanya apabila dia merasa ada air bening bergencar di mata…
remuk sukma Tun Fatimah
tatkala terbau mamah sireh Tun Teja
menyatu darah putih Mahsuri
kuzikirkan nyalaan merah
ungu terbit darahku
kumanterakan ke pintu kalbu –
dendam nyalaan dendam
dendam kesumat bunda ratu
dendam usailah dendam
balik menjadi debu, pulang menjadi abu
balik ke asal mula segala mula
                                    asal dari zat yang Maha Mencipta….