ANTARA KEAJAIBAN DAN KEARIFAN SENI
: in memoriam w.s. rendra
AHMAD KAMAL ABDULLAH
Sarjana Tamu,
UNIVERSITI PUTRA MALAYSIA
dato_kemala@yahoo.com
1
MAKALAH ini saya persembahkan untuk almarhum W.S. Rendra dan kepada seluruh penyair Nusantara Melayu Raya yang saya singkatkan sebagai penyair Numera. Selama lima desawarsa hubungan saya dengan puisi Numera amat erat. Saya diundang dalam banyak acara sama ada di Malaysia, Singapura, di Brunei Darussalam dan di Indonesia. Pada pertemuan itu saya sempat mengantarkan percakapan atau membaca puisi. Antaranya yang besar itu adalah Puisi Asean (1978), Istiqlal International (1995), Seminar Sastera Islam (Bandar Seri Begawan 1998), puisi Indonesia internasional (2002), Seminar Bahasa dan Sastra Mastera (Makassar 2002), Seminar Bahasa dan Sastra (Mataram 2003) dan Seminar khas Sutardji Calzoum Bachri (2007).
“Anak-anak mohon Pak Kemala ikut forum masa depan sastera selepas rehat ini..” ujar Rendra kepadaku waktu saya hadir dalam baca puisi Indonesia internasional di Kampus Universitas Hasanuddin Makasaar. Saya baru selesai diwawancarai oleh Andi Fauziah seorang siswa komunikasi UNHAS.
“Antara ahli panelnya Sapardi, Tardji, Acep, Dorothea, boleh ya?” Apa mestikah saya tolak undangan Rendra selaku direktur pii2002 ini, fikirku. Tentu sahaja tidak.
“Saya akan coba..”kataku singkat.
“Anak-anak komunikasi ini mau omongnya nanti dalam English..” dia menduga-duga saya kalau saya terkejut dengan syarat itu. “Bukan apa-apa mereka sih mau belajar memfasihkan Inggerisnya. Calon jurnalis di sisi saya tersenyum lebar menanti jawaban saya. Cuma saya sahaja wakil dari Malaysia, “Saya coba Mas..” kataku. Dia tersenyum dan menggenggam tangan saya.
Masih saya ingat waktu ada resepsi di kediaman seniman Ibrahim Hussein bagi meraikan kunjungan pertama Rendra ke Kuala Lumpur pada awal 1980-an, Profesor Ismail Hussein Ketua GAPENA mewakili Ibrahim meminta saya membuat ucapan elu-eluan. Saya beralegori, kataku “sehingga malam inipun turun hujan renyai menyamankan kita semua turut mengelu-elukan Rendra mewakili sasterawan Indonesia. Dia penyair yang mengerlapkan cinta kemanusiaan dan membela keadilan. Dia memberikan daging dan darah kepada puisi-puisinya. Dia hadir pada malam ini bukan karena puisi itu sendiri, tetapi hadir bagi mengukuhkan silturahmi antara Indonesia dan Malaysia.”Walaupun singkat ucapan saya itu
Namun sempat saya sisipkan memohon beliau prihatin terhadap lalu-lintas buku sastrawan Malaysia yang takdapat menembus pasaran di Indonesia. Berlaku semacam wujudnya akta dagang yang menyekat buku-buku dari rumpun Melayu beredar di Indonesia tetapi tidak sebaliknya. Dalam balasannya dia “berjanji” untuk mempelajari situasi itu. Beberapa tahun kemudian Rendra hadir dalam acara Pengucapan Puisi Dunia Kuala Lumpur, membaca dan menerbitkan bukunya di Dewan Bahasa dan Pustaka. Kami saling mendukung menghujah penyair Amerika Syarikat yang cuba memperlihatkan superioritinya kepada partisipan yang lain. Beliau seolah menagih layanan istimewa. Begitu juga kami bersama menjawab persoalan dangkal penyair dari Iran.
Apabila Rendra pergi (“Ia tak pernah mati”) saya mengabadikan:
ADA SEJUTA GEMURUH
: berpulangnya wahyu sulaiman rendra
Ada sejuta gemuruh di langit
Menggemuruh lagi langit hatimu
Ada sejuta rusuh di atmosfera buana
Menggerusuh lagi atmosfera buanamu
Ada sejuta gundah terpancang di liangliang pasak bumi
Menggundah lagi liangliang pasak kalbumu
Ada sejuta tusukan ke jantung lagu yang hilang
Menusuk lagi degup puisimu pertama
Ada sejuta luka bersememehan darah merah kesumba
Meluka lagi luka abadi
Puisi yang belum sempat kautulis
Engap nafas terakhir, kertas melayang
Pena bola jatuh
Dan kau…
Ada sejuta kasidah menggelidah puaka dendam kasmaran
Mengkasidah lagi nestapa bulan rawan
Ada sejuta kata dalam baitbait bangkit kemanusiaan
Bangkit lagi maruah dan hargadiri.
Ada sejuta gemuruh kasidah di taman mawar harapan
Dan kematian ini, bukan elegy dan bukan ratapan
Tapi hakiki kasih menyulam sebuah kelahiran.
Desawarsa demi desawarsa
Nafas dalam simfonia puisi
Sejuta gemuruh
Abadi dalam kasyaf firasat.
Rendra, pintu dan jendela telah terbuka
Bulan putih penyair
Dan sayap-sayap emas malaikat
Berkelebar medesis
Hikayat ayat-ayat hayat
Nah pulang kau sahabat
Ke rumah asal muasal kita.
UPM, Serdang, Selangor D.E.
6-8.8.2009
Dan ada sebuah lagi puisi saya “Selamat Malam Bandung” yang saya dedikasikan untuk Rendra dan Ken, isterinya. Semua ini seolah sudah mendalamnya rasa persahabatan antara kami. Sehari sebelum pulang ke Kuala Lumpur, Rendra sendiri melakukan interview dengan saya.
“Duh gimana sih Kemala, anda sudah masuk kealam lain?”
“Maksudnya Alam lain bagimana Bung Rendra..”
“Alam itu lho, alam gaib yang lain dari yang realistic..”
“Ohh ituu..sesuai dengan pencarian kita ke alam asal muasal kita. Saya tak meninggalkan isu sosio-ekonomi-politik, sudah saya ungkapkan..dan masih terus juga”
“Ungkapkan di mana?”
“Di Timbang Terima, Teluk Gong dan Suara Tujuh..”
“Oh ya?”
“Ya kalau Bung punya Paman Doblang, saya juga ada Wak Karto!”
“Islam itu addiin , sebagai addiin kan ia a way of life!”
“Ya kemiskinan yg hina dina..”
“Ya soal kemanusiaan, saya lama mengajar di daerah petani Tanjung Karang..” aku menatap matanya,”Dan juga lama di daerah nelayan di Teluk Gong dan Pulau Ketam..”
“Wah, hanya sekarang ini terlempar di alam ghaib..”
“alam Ketuhanan..”
“Wahhh, kadang saya tak mengerti..”
Kami tertawa bersungguh-sungguh.
Pada hemat saya sentuhan dalam puisi-puisi Rendra juga ada kait mengait dengan pengalaman religiusnya. Sebagai a way of life itu. Dia pernah bercerita kepada saya pengalaman anehnya sewaktu berada di Mekah, dalam ombak manusia itu, dia dapat berjalan dengan lancar menuju Ka’abah. Dan di hadapan Ka’abah apabila dia mengadap ke langit yang dilihatnya adalah warna silau keemasan bir dan wain yang datang kepadanya. Hingga bersusah payah dia mengesat matanya. Yang tiba adalah warna alcohol itu. Sehingga mendorongnya solat sunat taubat di hadapan Ka’abah agar Allah mengampunkan dosanya. Hanya selepas itu baru dilihatnya langit yang membiru dan dia bisa tawaf dengan tenang.
Apabila saya diminta almarhum bercakap dan membaca puisi, pada pertemuan penutup di Taman Seni Ancol pada medio April 2011 sekali lagi apa yang pernah saya ajukan di depan mahasiswa UNHAS di hadapan Sutardji, Sapardi, Ecep Zamzam Nur dan Dorothea agar perhatian masyarakat sasterawan Indonesia lebih peka kepada Negara-negara serumpun Malaysia, Brunei dan Singapura yang juga menulis karya dalam bahasa Melayu saya ajukan lagi. Yakni masalah survival sastera Melayu jangan dipandang remeh, soal lalulintas buku bukan masalah Rumpun Melayu sahaja tetapi juga masalah Indonesia keseluruhannya. Sekiranya benteng Bahasa dan Sastera Melayu di Negara serumpun goyah kesannya akan menular ke Indonesia, sambungku. Saya juga meminta pihak media Indonesia memberikan perhatian yang berat terhadap masalah ini. Pada kesempatan itu juga saya memohon agar kerjasama antara perguruan tinggi Indonesia dengan perguruan tinggi di Malaysia, Brunei Darussalam terutamanya dipereratkan lagi. Program pertukaran pelajar dan tenaga pengajar termasuk menghadirkan kursus kebahasaan dan kesusasteraan Rumpun Melayu di Universitas di Indonesia perlu diadakan agar wujud pengertian yang lebih mendalam lagi. Saya juga mengajukan saranan agar perguruan tinggi Indonesia memberikan pengiktirafan kepada tokoh-tokoh sasterawan seperti Rendra, Taufiq, Sutardji, Goenawan dan lain-lainnya melalui gelar Honoris de Causa. Memang benar sasterawan menulis bukan untuk itu semua, tetapi perguruan tinggi ada tanggungjawab bagi mengwujudkan gelar tersebut seperti yang sedang dan sudah berlaku di Malaysia. Keris Mas, Usman Awang, Ishak Haji Muhammad dan termasuk Hamka diperakukan.
Pada malam itu saya membaca puisi “Selamat Malam Bandung” untuk Ken dan Rendra. Keesokannya apabila saya dan sahabat saya Zulkifly akan berangkat ke Bandara, Rendra yang masih dalam handuk dari kamar mandi tergesa-gesa merapat ke taksi. Kami berdekapan, rupa-rupanya dakapan kami itu, adalah dekapan kali terakhir. Rendra sudah pergi tetapi “ ia tak pernah mati!”
Harapan saya itu tidaklah terlontar ke angin lalu sahaja.
Saya bertemu dengan tokoh sarjana Indonesia yang aktif mengajar sastera Melayu Malaysia kemudiannya seperti Budi Darma, Ahmad Samin Siregar,Sapardi Djoko Damono, Maman S. Mahayana, yang memimpin kursus sastera Melayu di Universitas masing-masing. Berikutnya saya mendengar bahawa Taufiq Ismail menerima Honoris Causa daripada dua Universitas yakni Universitas Negeri Yogyakarta dan Universitas Indonesia karena jasanya memperjuangkan kesusasteraan sebagai program yang terpandang di sekolah menengah di Indonesia. Beberapa bulan sebelum meninggalnya Rendra pula menerima pengakuan yang tinggi daripada alma maternya Universitas Gadjah Mada karena pengabdiannya dalam kesusasteraan di Indonesia dan nilai-nilai kemanusiaan yang dibangkitkan melalui baca puisi dan teaternya. Kesan aktiviti kesusasteraan kedua tokoh ini bukan sahaja menanam impaknya di Indonesia tetapi juga di Nusantara Melayu Raya.
II
Usman Awang dan Masuri S.N. dua nama kukuh dari Malaysia dan Singapura kembali Ke Rahmat Ilahi sebelum Rendra pergi. Mereka bertiga telah memancang cinta yang luarbiasa kepada Keajaiban dan Kearifan Seni . Numera telah melahirkan Yahya M.S, Badaruddin H.O dan Adi Rumi di Brunei Darussalam; Numera telah melahirkan Suratman Markasan dan Mohamad Latiff Mohamad di Singapura. Numera turut melahirkan Subagio, Sitor Situmorang, Ajip Rosidi, Ramadhan K.H., Taufiq Ismail, Sutardji Calzoum Bachri, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damano dan Abdul Hadi WM di Indonesia. Numera turut melahirkan A.Samad Said, Muhammad Haji Salleh, Kemala dan Baha Zain di Malaysia. Nama-nama ini sudah “arrived” sampai di pelabuhannya dengan buku-buku puisi dan pengiktirafan daripada pemerintah masing-masing. Gelombang, Salam Benua, Bunga Pahit, Awan Putih, Dalam Sajak,Jeram, Tirani, Simfoni, Benteng, o amuk kapak, Parikesit, Asmaradana, Mata Pisau, Hujan Bulan Juni, Meditasi, Al-Amin, Pulang Si Tenggang 11, ‘Ayn, Titir Zikir, Buku Catatan Tengah Malam menjadi khazanah di Numera. Sekurang-kurangnya Anugerah Sastera Negara, Anugerah Persuratan Sang Nila Utama, Anugerah Seni, Anugerah Sastera Khatulistiwa, Anugerah Mastera, Anugerah SEA Write ikut melahirkan sasterawan atau penyair selepas para penyair yang sudah jenuh diberikan pengakuan di Negara dan juga pada peringkat antarabangsa.
Hal ini tidak menafikan bahwa nama-nama besar pujangga terdahulu I-Pancana Toa, Hamzah Fansuri, Syeikh Daud al-Fatani, Raja Ali Haji, Pengeran Syahbandar Sarmayuda, Syeikh Ismail Pante Kulu, sampai kepada Amir Hamzah dan Ranggawarsita, Chairil Anwar masih selalu dihayati dan dirujuk. Hormat terhadap para sarjana HB Jassin, Sayid Muhammad Naquib al-Attas, A. Teeuw, V.I Braginsky, Ignes Kladen, Hashim Awang, Abdul Wahab Ali, Rachmat Pradopo, Umar Junus, Yahya M.S., Muhammad Haji Salleh, Sapardi Djoko Damono, Md. Salleh Yaapar, Faruk, Budhi Darma, E.U Kratz, Harry Aveling, Mana Sikana, Muhammad Bukhari Lubis, Shafie Abu Bakar, Abdul Hadi WM,Lalita Sinha, Maman S. Mahayana yang memberi apresiasi terhadap karya kreatif di Nusantara tetap tidak dilupakan. Di Malaysia Puitika Sastera Melayu, Takmilah, Pengkaedahan Melayu dan Teksdealisme selalu menjadi rujukan apabila pelajar sastera bachelor, master dan doctor falsafah membuat kajiannya. Maknanya sosio-politik budaya yang dicernakan oleh sastera tempatan semestinyalah menggunakan teori tempatan yang sesuai bukan dengan kayu ukur barat lagi.
iii
Frasa membandingkan kelestarian puisi nusantara seperti telinga kanan dan telinga kiri pada hemat saya tak boleh bertahan lama. Sensitiviti bukan hanya pada unsur lihatan sahaja tetapi menyangkut keseluruhan deria: dengaran, rasaan, sentuhan, hiduan atau ciuman. Pada peringkat yang tinggi pula ada apa yang dinamakan intuisi. Kini para penyair lahir dalam situasi kontak yang berbeda dari zaman Chairil Anwar. Begitu juga untuk berpegang terus-menerus dengan Amir Hamzah dengan semangat kemelayuan dan berpaut pada cintanya kepada kekasih dan Kekasih juga ada bedanya dengan kehadiran sebuah zaman yang dilalui oleh W.S. Rendra ,Muhammad Haji Salleh, Sutardji, Sapardi, Abdul Hadi dan Taufiq ismail. Damiri Mahmud antaranya berani menghujah apa yang dialami oleh Amir Hamzah hanya cinta antara dua kekasih, tidak lebih dari itu. A. Teeuw merasa sulit untuk memahami Goenawan Mohamad, walaupun dia mengiktiraf kepenyairan Goenawan, mungkin dia dapat merasakan keremang-remangan kepenyairan Goenawan. Ini mungkin tak jauh daripada pengalaman kita dengan “kegelapan” dan “obscurity” Noor S.I di Singapura dan Dewanto di Indonesia yang memenangkan Anugerah Khatulistiwa. Mujarad yang indah? Dan tantangan yang diberikan oleh puisi yang obscure untuk berfikir bukan untuh melatah!
Bagi penyair seperti Rendra tantangan sekarang adalah tantangan neo-realisme, neo-politisisme dengan glokalisme yakni globalisasi dengan locality yang lebih kompleks. Ini diakui oleh Fukuyama bahwa amat mudah nasionalisme terhakis dengan penjajahan bentuk baru via globalisasi. Cara dan gaya pengucapan Chairil dengan keseriusannya mengedit puisi sehingga ke kulit-kulit diksi atau bait demi bait yang silih berganti tampaknya lebih dipermudah misalnya oleh L.K. Ara, Anwar Putra Bayu, Dinullah Reyes, Arisel BA, Ahmir, De Kemalawati, elang, drirwan, Aspar Paturusi, Viddy AD, Dimas Arika Mihardja, Diah Hadaning, Rosmiaty Shaari, Isbedy, Budhi Setyawan, Rara Gendis. Mereka bukan saja giat menyiarkan dalam majalah dan ruangan puisi di akhbar tetapi juga pada halaman web masing-masing di multiply, sasterawan.net, esastera.com dan pada halaman web di facebook. Kesungguhan Chairil dalam editing teks puisi seperti yang pernah dikagumi dan menggugah HB Jassin serasa sudah tidak wujud lagi. Jika Chairil Anwar dan Amir Hamzah melahirkan sekitar 70 hingga 100 puisi dalam tiga tahun kepenyairannya, tetapi bagi Leo A.W.S dan Suhaimi Haji Muhammad di Malaysia dan kebanyakan teman penyair di Nusantara seolah menafikan hakikat ini. Ada yang telah menghasilkan ribuan puisi dan puluhan kumpulan puisi dalam tempoh kepenyairan mereka yang singkat. Pengeditan puisi kian melonggar, seolah-olah kini adalah dalam perlombaan AF1: siapa cepat akan mendapat, jadi mereka menghasilkan banyak buku puisi untuk di rekam dalam Guiness book of record. Siapa menertawakan siapa? Jalaluddin Rumi menghasilkan 25ribu masnawi, apakah dia terikat kepada belenggu pengeditan ketat seperti yang dilalui oleh Chairil Anwar, wah tidak barangkali. Hal ini sudah dirasakan kelonggarannya. Dalam satu minggu berapa buah puisi boleh dihasilkan oleh L.K. Ara, Budhi Setyawan, De Kemalawati, Nahmar Jamil, Dimas Arika Mihardja dan Rosmiaty Shaari. Sejauh mana mereka sempat mengedit puisinya sebelum mereka mengajukan puisinya di wall facebook mereka dan mengirim kepada teman-teman penyair yang lain? Inilah antara “keterbukaan” web maya. Web maya juga terbuka kepada siri ambil-mengambil secara merdeka ungkapan-ungkapan cantik milik penyair mapan oleh the newcomers. Jalan singkat mengutip idiom-idiom sebagai epigonis yang mahu cepat mencipta nama. Melalui web maya persoalan penyair daerah-penyair nasional tidak timbul lagi. Melaui web maya dalam beberapa detik saja penyair atau calon penyair boleh menghidangkan “puisi”nya untuk dibaca, untuk disenangi atau ditolak begitu sahaja.
iv
Rusli Marzuki Saria menulis dari Padang. Sekian desawarsa dilalui dan dia mempunyai pengikut-pengikut yang dididiknya sehingga dia menerima gelar Papa daripada protegenya, justeru sama seperti Umbu Landu Peranggi yang melahirkan bobot-bobot penyair dari workshops yang dianjurkannya. Gelar atau panggilan penyair daerah tak disenangi oleh Rusli Marzuki Saria. Gelar ini sebagai satu jalan menunjukkan belum lagi kepenyairan itu diterima pada peringkat nasional. Tetapi Rusli mengupayakan dirinya meraih gelar penyair nasional. HB Jassin menerimanya dia membaca puisinya di Taman Ismail Marzuki. Seiringan dengan itu nasib Dinullah Reyes, Soibil Madun, Emong Suwandi, Anwar Putra Bayu, Fikar, Isbedy, Lazuardi Anwar, Abdul Rahim Qahhar, Budhi Setyawan, Aspar Puturasi, Iwan Soekri, Dimas Arika Mihardja, Ahmad Kholilurrahman di Indonesia , Rusli K. Matari, Hilmy Rindu, Leo AWS, Nazim Subari, Poul Nanggang, Drirwan, NimoizTY di Malaysia sudah dapat dianggap sebagai penyair nasional atau hanya penyair daerah atau penyair bagi web maya sahaja? Tetapi mereka jelas dari Melayu yang serumpun Numera. Apakah mereka juga sudah tiba pada keluhan yang se taraf Rusli Marzuki Saria. Rusli senang dengan lagenda yang epic sepereti Puteri Bungsu. Hal ini tidak semudah yang diduga, kata Sutardji:
“Kalau mau berhasil juga dalam keganjilan ini, seorang penyair harus bisa menginterpretasikan/menerjemahkannya ke dalam suatu visi pribadi yang kreatif, yang merupakan ekspresi invidual yang unik dari penyair.. ( Horison, No 6, 1981)
Apa pula kata HB Jassin? Pendekatan Rusli dikatakan “..impresionistis. Lain sekali tentunya dengan apa yang dikehendaki oleh orang-orang yang ekspresionistis.” (TIM Jakarta, 22 Juni 1981). Dalam diri Rusli ada gejala rasa kelam “haritua bagai rumah di pantai/bunga-bunga melenggok dan patah rantingnya” (16); “senja pekat bagai pukat hitam/gerimis rait, petir bersabung ke malam”(18).
A.D. Donggo cuba menulis sajak dalam usia 22 tahun saya menerima hadiah bukunya Bait-bait yang terlupakan sewaktu di PDS HB Jassin, 25 Maret 2011. Kenapa dia tak segah Chairil atau Amir Hamzah walhal dia sudah di Jakarta sejak 1951 lagi bersama dengan HB Jassin, menjadi korektor majalah Mimbar Indonesia, “majalah kaum intelektual” , HB Jassin yang menimbangkan karya untuk dimuat dalam Mimbar Indonesia. Di Malaysia Leo AWS terkenal prolifik menerbitkan sendiri puisinya. Dia masih bergelut untuk pengiktirafan nasional tidak seperti Rahimidin Zahari dan Hasyuda Abadi yang puisinya dimuat dalam Antologia De Poeticas (Jakarta 2008). Mereka pernah memenangi Hadiah Sastera Perdana.
Puisi Leo AWS:
Hari di musim tengkujuh/cepat menjadi kelam/selepas isyak jemaah bergegas balik/sejurus hujan berhenti/malam bertambah sunyi/kesejukan hawa/memujukku masuk tidur/sang katak menguak nguwung/memanggil ingatan banjir/sedar-sedar subuh/hujan tetap meratap (Bulan Senja 2002:42).
Puisi Rahimidin Zahari:
Yang kutahu akulah rumput di bumi/di atasku setetes embun, sebersit cahaya/dan keluasan ruang udara/di bawahku sejuk tanah digemburkan/sang cacing, dan aku tumbuh di umbi/kemboja yang merendang itu (Rumput Bumi,2008:360).
Puisi Hasyuda Abadi:
Namun mereka ketika sampai waktunya/diangkakan bilangan kesekian/diberi senyum karena mencpai rekod kehadiran/hingga habis bersalawat mereka berkeliaran/padang ini sepi/menharap reda dan restu Ilahi (Nawaitu, 2008:356).
v
A.S. Amin, Badaruddin H.O, Abdul Hadi W.M. dan Noor S.I. boleh mewakili penyair Numera selepas Chairil Anwar, Amir Hamzah, Masuri S.N dan Usman Awang. Sebagai penyair imagist, A.S. Amin pernah dikenal bobotnya dan daya ekonominya. Dia hanya punya sebuah buku puisi Damai (1963). Apabila menulis jangkauannya mendunia. Cengkamannya ke kemanusiaan sejagat:
Aku penyair
Hidup menerpa ke muka
Dengan bulan di dada
Semua merasa
Semua terasa.
Aku penyair
Dengan lagu dan nada
Aku penyair
Menyanyikan lagu manusia
A.S. Amin (1963:104)
Badaruddin H.O dalam Episod-episod Si Awang, merakamkan:
Untuk Wariasanku
Katakanlah nanti aku menjadi agung
Oleh lagak semula,
Siapakah antara kita akan bingung?
Aku sengaja bertanya: hal ini
Tidak kerana terasa-rasa jadinya aku
Kerana alangkah sekarang dunia tidak mengerti
Dikatakan aku tidak puas dengan hidup
Apakah ini dosa atau keharusan Tuhan
Sedang aku memang tidak merasa kepuasan?
Hanya nanti aku tidakkan jadi agung
Kerana dikau akan berkata:
“Dia anak manusia turun dari gunung!”
(1998:54)
Abdulhadi WM mengungkapkan makna wujud, kewujudan dan Iradah Ilahi; Penyair ini dengan daya sufistiknya menanamkan pengaruhnya kepada para penyair selepasnya terutama di Indonesia.
DOA
Kalau ada tangan yang menghulurkan kenyang dari perut nasi
Hingga enyah lapar ini, Kaulah tangan itu
Kalau ada kenyang yang meliputi nasi hingga tergerak tangan
Ini, membukanya Kaulah kenyang itu
Kalau ada nasi yang menghidupkan kembali jiwa lapar hingga
Bangkit kekuatan tangan ini, Kaulah nasi itu.
Tapi kalau ada lapar yang bergerak dan menggeliat merebut nasi
Untuk sekedar kenyang hingga tergoncang seluruh bumi
Kaulah airmata ini.
Amin.
(2008:230)
Membaca Noor S.I kita bertingkah dengan patah lagu Melayu, amat ritmik dan musikal. Namun begitu tidaklah mudah dimaknai dengan sekali baca. Dia hanya menyampaikan isyarat-isyarat bahawa penyairnya menemukan detik-detik keajaiban kreativiti. Maknanya memohon kearifan pembaca menafsirkan. Bukankah begitu rahsia membaca puisi?
Warna Malam
Penyair berlampu tua
Untaian tiba
Dengkur lelaki mengisi larut
Tumpah para pelaut.
Berlangsung panen di utara
Ia menjadi gila
Ke manalah hendak dibawa.
Dingin menunda kampong
Angkatan di hujung tanjung
Penyair berlampu tua
Paginya bening
Mimpi lelaki melepas angkasa
Perempuan-perempuan tiada lagi di samping.
(Orang Bertiga 1980:71)
vi
Di Numera tradisi tidak pernah menjadi musuh kepada modernity. Penyair Nusantara mengambil tradisi sebagai wadah yang boleh mengharmonis dengan situasi semasa. Semenjak dahulu lagi, Persoalan sosio-ekonomi-politik bercambah dalam kerajaan Malaka-Sriwijaya-Majapahit. Orang luaran yang pada mulanya disambut ramah tamah bukan sekedar mengerling kepada rempah, emas dan gading tetapi juga bagaimana sebaiknya agar kerajaan rumpun Melayu dikepit di bawah kepak kekuasaannya. Berlabuh untuk kali pertama memunggah hasil mahsul kekayaan lokal di bawa ke kapal dan pulang ke Eropah, tetapi dengan janji akan datang lagi. Kali ini memerangkap para ningrat yang memegang tampok kekuasaan agar bertelingkah sesama sendiri, mengira berapa banyak upah yang diperoleh. Dan Sang Raja turut mabuk kepayang dengan hadiah dan anugerah. Wanita-wanita tempatan mula menjadi idaman para nakhoda dan kapitan-kapitan dan syeikh-syeikh yang membawa dan menghidupkan birahi dari jauh. Kini warna lokal turut berbelang-belang dalam wajah masyarakat setempat. Masalah semakin kusut, perang takdapat dielakkan. Kitab-kitab purba dengan wisdom para pujangga Melayu dikaji, untuk dihayati mencari kelemahan Melayu. Itulah sebabnya lahir pesan-pesan holistic dari Raja Ali Haji di da lam gurindamnya; Itulah sebabnya Pengeran Syahbandar Sarmayuda mengingatkan Sultannya agar berwaspada dengan acum pesona orang disekelilingnya yang menjadi wakil penjajah baru itu: Inggeris, Belanda, Sepanyol dan dari benua India. Kekuatan batiniah melalui dari kumandang syair Hamzah Fansuri misalnya disaingi dengan kasad ulama-hukama yang ingin menyainginya. Hingga Sultan Mahmud Syah ikut tergoda dengan halisunasi kejelitaan Tuan Puteri Gunung Ledang. Semangkuk darah Raja Ahmad diperjudikan, namun tuntutan sufisme (tasawuf) kian melonggar dan dengan mudah angkatan Portugis mengalahkan Kerajaan Melayu itu. Ini belum lagi apa yang berlaku di Sambas, Makassar, Palembang, di Brunei, di Perak, Aceh dan lain-lain.
Keajaiban kreativiti berlangsung dalam peta persuratan di Nusantara Melayu Raya. Bagaimana para penyair seNusantara menafsirkan perpecahan ini? Secara berpetak-petak dan disharmonis para pujangga baru menerima wabak kejatuhan itu. Mereka mencipta tidak lagi dalam kesatuan. Perjalanan alim-ulama yang berpusat di Pontianak dengan gesitnya melahirkan Syeikh Haji Arsyad al-Banjari, Palembang dengan Syeikh AbdulsSamad al-Falembani, Pattani dengan Syeikh Daud, Syeikh Ahmad Ismail dan Aceh dengan kelompok Syeikh Nuruddin ar-Raniri, Syeikh Syamsuddin a-Sumaterani. Mereka membina kembali jiwa yang patah, mengambang jiwa besar melalui Hikayat Perang Sabi dari tangan Syeikh Pante Kulu dan di Makassar lahir semangat jihad dari Syeikh Yusuf al-Makassari. Agama tidak dilihat sebagai patahan ranting terbuang, tetapi dasar fundamental yang memperkuat akidah. Lalu tradisi Raja Ali Haji, Hamzah Fansuri berkumandang kembali. Sayyid Naqib al-Attas memajangkan kebesaran Hamzah Fansuri. Syair-syair Melayu yang sufistik menanamkan pengaruhnya ke dada calun-calun penyair sufi Melayu. Mereka melengkapkan puisi-puisi pending yang mengenal syariat, makrifat dan hakikat.
Kesinambungan ini bukan sahaja terserlah dalam puisi Yahya M.S, Badaruddin H.O., Adi Rumi, Zairis M.S., Abdul Hadi WM, Djamal Tukimin, Johar Buang, A.Wahab Ali, Nahmar Jamil, tetapi dalam puluhan penyair di Nusantara dan ini termasuklah penyair-penyair perempuan Rosni Idham, Medi Loekito, Dewi Nova, Zaihasra,Zurinah Hassan, Zaiton Ajamain, Fatin Humama, Diah Hadaning, Siti Zainon Ismail, De Kemalawati, Rosmiaty Shaari dan lain-lain. Suara religi Rosni Idham, pasrah mengakar dan tauhidik:
Kun KataMu, Maka Kun
Getar itu gugurkan lebat dedaunan
Getar itu campakkan kokoh pepohonan
Getar itu porandakan megah bangunan
Getar itu hentikan keangkuhan
Getar itu rontokkan tulang belulang
Getar itu hancur leburkan harta benda
Getar itu…..
Getar itu……
Getar itu…..
Tuhan,
Kuyakini segenap sanubari
Kun kataMu, maka Kun.
(Nyanyian Pulau-Pulau, 2010:40)
Dalam bait yang ringkas, Medi Loekito hamparkan cintanya:
Di Puncak Sikunir
Aku tiada diri
Di kilau mentariMu
Aku sirna diri
Di sempurna fajarMu.
(Nyanyian Pulau-pulau, 2010:65)
De Kemalawati bertafakur:
Lantera
Dialah lentera yang tergulir
Dari tebing iring lahar dan kabut getah
Antara palung gelap dan basah
Urai mimpinya
Tuju rimba-rimba pekat
(lentera telah daki puncak keabadian)
(Antologia De Poeticas, 2008:270)
Mabuklah ia seorang diri
Menggenapkan bulan sabit menjadi purnama
Meluruskan barat sajadah
Hingga sempurna darajatnya
Satusatu malam ditikam
Menikam dirinya
Satusatu malam digulung
Menggulung dirinya
Maka remuklah sukmanya
Apalah artinya palung ditimbun bertahun
Takcukup bintang menerangkan gelapnya.
(Mabuk Makrifat, Meditasi Dampak 70, 294-5)
Dalam perjalanannya mencari makna wujudnya, Nor Laila Ghafar menemui:
Nyanyian Taubat Hari Arafah
Sepanjang siang resah dan malam indah
Bibir sentiasa basah dengan zikir talbiah
Kelam langit Arafah menyimpan rahasia Allah
(Rumpun Kita 2009:49)
Ramayani dengan sadar, menyatakan syukurnya:
Kubangun kalimat-kalimat syukur
Dalam sujud
Aku merasa sempurna dengan segala berkah
(Tuhan Membasahi wajah.., 2008:43)
Dengan syahdu pula Diah Hadaning mengekspresikan sukmanya, kata, setia dan yang Esa:
Amsal Laut
Mengirim ombak dengan setia
Sadar, pantai merindukannya
Mengirim angin dengan lembut
Sadar, bumi cintanya pulut
Laut dan misteri ombak
Di negeri pantun hati tak jarak
San g bunda
Mawar sepanjang musim
Laut jiwanya
Keajaiban zaman
Sang bunda
Laut kata-kata
(3 di hati 2010:32)
Zaiton Ajmain mengungkapkan pengalaman religinya:
Sejuk di luar kota Bologna ini
Mendingin di dalam
Dan hujanpun merintik
Enitis jatuh ke hati yang
Sepi
Di kelopak rindu kasih, rindu rahmat
Mengalir lesu titisan rindu
(Di Bologna yang dingin, 184)
vii
Antara Keajaiban dan Kearifan Seni itu sering para penyair tersandung-sandung dengan pengalaman kreatifnya. Keajaiban kreatif boleh melahirkan karya yang di luar dugaan penyair. Ada yang puisi yang tercipta dalam waktu yang singkat, mengalir dan sederhana seperti sebuah lagu yang indah. Ada puisi yang seolah menanti waktu yang lama baru bisa digubah. Berapa lama waktu yang diperlukan oleh Mozart atau Beethoven sebelum sonata dan symphonynya dihasilkan? Tentulah mereka melalui tempoh yang exhaustive. Ada penyair yang mudah dicop sebagai penyair yang obscure dengan puisinya yang sulit ditafsir. Tetapi walaupun sulit misteri dan teka-teki di sebalik karya itu selalu mengundang kritikawan mendekatinya.
A.S Amin yang dikatakan abstrak dan mujarad puisinya itu hanya menunggu pendekatan yang sesuai, ini dapat dihuraikan oleh Shahnon Ahmad dalam kajiannya. Saya sendiri mengalami hal yang sama dengan puisi-puisi saya dalam ‘Ayn, Pelabuhan Putih dan Titir Zikir dan lain-lain cepat dikatakan sulit oleh pembaca biasa. Tetapi dengan bantuan pembimbing (sarjana yang faham melalui pendekatan yang sesuai) hal ini tidak mencegah mahasiswa meneliti nya hingga ke peringkat doctor falsafah. Hal yang sama sedang dialami oleh Dewanto dan Zaen Kasturi dengan puisi mereka yang terbaru. Kedua-duanya membawa kelainan dan kedua-duanya memenangkan SEA Write Awards dari Thailand.
Antara tiga penyair mapan Brunei Darussalam, nyatalah puisi Adi Rumi lebih kompleks ketimbang puisi Yahya M.S dan Badaruddin H.O. Bagi saya puisi Yahya lebih kepada naratif dan masih mempertahan kan unsur musikaliti kemelayuan dan tawazun Islami. Ketiga-tiga penyair ini mempunyai latar belakang religi hingga ke peringkat sarjana pada Universiti al-Azhar di Mesir. Mungkin menarik, latar budaya dan pengalaman peribadi penyair dihubungkan dengan karya besar Brunei dengan Syair Rakis menjadi batu-tanda mengapa ada semacam kehati-hatian dan rejeksi kepada hal ihwal yang streotaip. Apalagi ditambah dengan pengalaman baru membaca karya-karya besar pengarang di Timur Tengah dan sastera klasik Eropah dalam bahasa Arab kian mendewasakan mereka.
Apakah dengan terlalu didominasi oleh isu semasa dan kecenderungan untuk massa komunkatif dengan karya maka Taufiq Ismail mengekspresikan puisinya dengan lebih bersahaja, dia kembali dengan trend Benteng dan Tirani bagi puisinya yang mutakhir. Puisinya banyak dilagukan oleh Grup Bimbo. Puisi Taufiq seperti Rishwick 17 tetap abadi dalam kenangan dan memberikan kearifan makna perjuangan. Inilah yang selalu dipertahankan oleh Rendra bahawa puisinya bukan propaganda melulu walaupun dia menukik isu semasa tetapi persoalan itu sudah digarapnya dan dia mempertahankan keindahan.
Apabila Rendra membaca puisinya barulah timbul makna kearifan seni karyanya. Baca puisi Rendra tak boleh disamakan dengan baca puisi Sutardji yang membawa makna survival kepada tradisi mantera Melayu. Transformasi seni Melayu itu seolah menjeritkan “kepatahan” takdir kepada “kepetahan” seni yang menjadi asas sebuah peradaban Nusantara Melayu Raya yang memberikan Lidah Ibunya untuk menjadi azas atau dampak penglahiran seni sastera baru. Hal ini tidak dapat dinafikan sasterawan Numera tidak merasa dirugikan jika terus mengambil unsur yang positif dari seni tradisi, memanfaatkannya dalam pengucapan baru menimbulkan Keajaiban proses kreatif itu bagi memancarkan Kearifan seni baru di Nusantara Melayu Raya.
R U J U K A N
Abu Hamid. 1994. Syekh Yusuf Makassar. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Ahmad Kamal Abdullah. 2010. Simbolisme dalam puisi Islam di Malaysia 1970-1990. Kuala Lumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka.
Ahmad Kamal Abdullah. Ed. 2011. KEMALA:Meditasi Dampak 70. Kuala Lumpur: INSANDI.
Ahmad Kamal Abdullah. 2011. Puisi Melayu Puisi Dunia. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Aspar Paturusi. 2011. Badik. Jakarta: Garis Warna Indonesia.
A.W.S., Leo. 2002. Bulan Senja. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Diah Hadaning, Dimas Arika Mihardja, D Kemalawati. 3 di hati. Banda Aceh: Lapena.
Dimas Arika Mihardja. 2010. Sajak Emas. Jakarta: Penerbit Kosa Kata Kita.
Donggo, AD. 2008. Bait-Bait yang Terlupakan. Depok: Q Publisher.
Fretes, de Yvonne. Ed. 2010. Nyanyian Pulau-pulau. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Hero, Andrias Avillinus. Ed. 2009. RENDRA: Ia Tak Pernah Mati. Jakarta: Kompas Media Nusantara.
H.O., Badaruddin. 1998. Episod-espisod Si Awang. Bandar Seri Begawan: Dewan Bahasa dan Pustaka
Negara Brunei Darussalam.
Irmler, Maria Emilia & Susanto, Denny. Ed. 2008. Antologia De Poeticas. Jakarta:
Gramaedia Pustaka Utama.
Pyan Husayn & Suhaimi Haji Muhammad. Peny. 1980. Orang Bertiga. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka.
Parnickel, Boris. Peny. 1997. Kebudayaan Nusantara: Kepelbagaian dalam Kesatuan. Kuala Lumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka.
Rice, Oliver & Abdullah Majid. Peny. 1963. Sajak2 Melayu Baru/Modern Malay Verse. Kuala Lumpur:
Oxford University Press.
Saria, Rusli Marzuki. 1995. Sembilu Darah. Jakarta: Pustaka Sastra.
Tengsoe Tjahjono. 2010. Salam Mempelai. Lamongan: Pustaka Ilalang.
Wijaya, Adi Rumi & Badaruddin H.O. 1995. Hasrat Merdeka. Bandar Seri Begawan: Dewan Bahasa dan
Pustaka Brunei Darussalam.
AHMAD KAMAL ABDULLAH
Kemala adalah nama mesra yang bermain dibibir teman-teman sasterawannya di Nusantara. Pada bulan Mei 2011 dinobatkan sebagai Sasterawan Negara Malaysia ke-11. Beliau kini sebagai Sarjana Tamu, pada Jabatan Bahasa Melayu, Fakulti Bahasa Moden dan Komunikasi, Universiti Putra Malaysia. Sebelumnya beliau adalah mantan Ketua Bahagian Kesusasteraan Bandingan, Dewan Bahasa dan Pustaka. Pernah menjadi redaktur Dewan Sastera, editor jurnal puisi Perisa. Kemala juga fellow pada IWP, University of Iowa (1993). Menerima SEA Write Awards (1986); menerima ijazah Doktor Falsafah daripada Universiti Kebangsaan Malaysia (2000). Gelar Dato’ Paduka Mahkota Selangor (2001), menerima gelar Pujangga dari UPSI (2002), menerima Anugerah Sasterawan Negeri Selangor (2005), menerima Anugerah Abdul Rahman ‘Auf (2006), beliau menerima Anugerah Sasterawan Dunia Siber Negeri Selangor (2010). Pada 2002 beliau membaca puisi pada pii2002. Beliau ikut membaca puisi di Macedonia dan di Bosnia, Tokyo, London, Moscow, Koln, Iowa dan California.
Kumpulan puisi Kemala Timbang Terima, Meditasi, Era, Kaktuskaktus, ‘Ayn, Pelabuhan Putih, Titir Zikir, MIM, Ziarah tanah Kudup, Syurga Ke Sembilan. Beliau juga menulis esei, cerpen dan drama. Beliau pernah menjadi Sekretaris GAPENA, Ketua Satu PENA dan Presiden Persatuan Kesusasteraan Bandingan Malaysia. Buku-buku kajiannya antaranya adalah Landskap Ungu (2010), Puisi Melayu Puisi Dunia (2011), 1000 Pantun Puitis (2011).
Beliau ikut menjadi juri Hadiah Sastera Perdana dan Anugerah Mastera. Semenjak 1976, Kemala ikut membentangkan kertas kerjanya di TIM, Depok, Palembang, Makassar, Mataram, Bali, Ambon, dan Pekanbaru. Pada Januari 2009 beliau meluncurkan cakra padat baca puisinya Syurga Ke Sembilan di PDS HB Jassin. Pada Januari 2010 beliau meluncurkan antologi puisi Musibah Gempa Padang di Rumah Puisi Taufiq Ismail di Aie Angek, dan pada bulan Maret 2011 diluncurkan pula bukunya Landskap Ungu dan Meditasi Dampak70 di PDS HB Jassin, Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta.
Kemala menurut Affandi
MIM kumpulan puisi Kemala (1999)
pelabuhan putih yang tetap memutih
1000 pantun puitis oleh ahmad kamal abdullah
tujuh penyair malaysia usman awang, kassim ahmad, baha zain, kemala, mokhtar yassin, sri ana, maaruf saad dgn pengantar: s. husin ali
titir zikir (1995) oleh kemala
