Wednesday 3 August 2016

RELIGIUSITAS ROSMIATY SHAARI DAN D. KEMALAWATI*

RELIGIUSITAS ROSMIATY SHAARI DAN D. KEMALAWATI*
Maman S Mahayana*

Jiwa adalah cermin bening; tubuh adalah debu di atasnya…,” begitulah pesan Jalaluddin Rumi ketika kita berhasrat hendak memperoleh pencerahan dari Sang Maha Pencerah. Bersihkanlah debu atas tubuh, maka cermin bening itu akan memancarkan cahaya-Nya. Sebuah pesan spiritual simbolik. Rumi secara metaforis sekadar menorehkan risalah sufistiknya, semata-mata agar kita, makhluk manusia dapat memperoleh kesadaran untuk selalu dapat mengendalikan hawa nafsu yang berkaitan dengan kepuasan dan kenikmatan segala sesuatu yang fisikal, yang badani, atau yang bersifat duniawi. Hanya dengan pengendalian hawa nafsu itulah manusia akan dapat menangkap pantulan cermin bening itu: cahaya Ilahi.
Banyak risalah sufistik Jalaluddin Rumi atau para penyair sufi yang lain yang sebenarnya dapat menjadi bahan perenungan kita. Maka, tidak perlu heran, ketika kita berjumpa dengan pesan-pesan sejenis, kita seperti tidak dapat menghindar untuk tidak menghubungkannya dengan buah pikiran Rumi. Meskipun begitu, boleh jadi Rumi sendiri sebenarnya tidak meniatkan ekspresi kesadaran apokaliptiknya sebagai puisi. Ia sekadar mewartakan gejolak jiwanya yang paling dalam sebagai bentuk pengagungannya pada Tuhan. Atau, itulah ekspresi kerinduan dan cintanya pada Sang Khalik.
Dalam banyak kasus, ketika seseorang berhadapan dengan sesuatu benda atau peristiwa atau apa pun yang membuatnya takjub, bergetar, terpesona, atau bahkan sangat menakutkan, tanpa disadarinya, akan muncul begitu saja, ekspresi puja-puji, atau permohonan agar mendapat perlindungan dan pertolongan, doa keselamatan atau jampi-jampi penolak bala. Ekspresi itulah yang dalam bahasa teologis disebut mysterium tremendum et fascinans, yaitu adanya misteri atau rahasia yang menakjubkan—menakutkan—mempesona—dan seketika menariknya sekaligus pada kesadaran transendensi. Tuhan atau Sang Penguasa jagat raya lalu menjadi objek yang diharapkan bersedia turun tangan mengatasi semuanya, melakukan pertolongan atau menjauhkan segala mara bencana.

-----------
* Makalah “Temu Penyair Delapan Negara” diselenggarakan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh, Kuta Alam, Banda Aceh, di Banda Aceh, 15—17 Juli 2016.


* Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.


            Dalam suasana seperti itu, bahasa terbaik manusia, yang indah dan mempesona, yang mengandung bujuk-rayu atau yang menyimpan daya magis, akan menjadi pilihan. Puisi dianggap paling mewakili ekspresi itu. Maka, bahasa puisi kerap memanfaatkan kekuatan diksi (gaya bahasa), menciptakan kesamaan bunyi atau rima, memainkan perulangan (repetisi), dan belakangan membangun metafora atau personifikasi dan majas lain untuk menghidupkan asosiasi pembaca atau pendengar. Dari sanalah puisi, seperti yang diyakini oleh kaum romantik, dianggap menyampaikan suara kebenaran yang lahir dari kedalaman hati, dari qalbu, dari sifat-sifat Tuhan. Hati sebagai sumber yang menggerakkan suara kebenaran dan kejujuran. Konon, manusia hidup lantaran roh bertahta dalam hati. Roh itu pula yang menggerakkan hati. Adapun nurani (Arab: nuroniy) bermakna bersifat kecahayaan. Jadi, hati nurani sesungguhnya metafora untuk menunjukkan, bahwa di sana ada cahaya, dan cahaya itu representasi Tuhan.
Oleh karena itu, pernyataan kaum romantik, bahwa Tuhan bertahta jauh dalam batin-jiwaku yang megah,” tidak lain, merupakan bentuk hiperbolisme untuk menegaskan bahwa suara hati nurani adalah suara Tuhan, dan puisi sebagai ekspresi kata hati adalah suara kejujuran yang menyampaikan kebenaran, maka di dalamnya memancar suara Tuhan. Itulah keyakinan kaum romantik yang menempatkan kata atau suara hati sebagai representasi Tuhan. Maka pernyataan kaum romantik: “Aku laksana Tuhan dalam pikiranku yang terdalam,” atau “Tuhan bertahta jauh dalam batin-jiwaku yang megah” dimaksudkan sebagai aku sang pencipta kebenaran menurut pikiranku, sebab suaraku adalah kejujuran sebagai representasi suara Tuhan.
***
Begitulah, membaca puisi-puisi Rosmiaty Shaari, Melaka, sebagaimana yang terhimpun dalam antologi Daun nan Bercinta (Kuala Lumpur: Institut Terjemahan dan Buku Malaysia (ITBM) dan Pena, 2016, xli + 90 halaman) dan puisi-puisi D Kemalawati, Bayang Ibu (Banda Aceh: Lapena, 2016, xix + 78 halaman), dalam sejumlah besar puisinya seperti memancarkan suara qalbu, suara kebenaran! Jika demikian, apakah kedua penyair itu meluahkan suara qalbu, suara kebenarannya sebagaimana yang dilakukan Jalaluddin Rumi atau para penyair sufi? Jika tidak, bagaimana pula kedua penyair dari dua tradisi yang berbeda—Melayu—Melaka dan Aceh—memperlihatkan adanya kesamaan ketika keduanya berbicara tentang sesuatu yang berkaitan dengan Tuhan? Bagaimana pula kedua penyair itu, dengan caranya masing-masing, mengungkapkan ketakjuban dan keterpesonaannya ketika sebuah peristiwa diyakini sebagai bagian dari perkara imanensi. Oleh karena itu, di dalamnya ada persoalan transendensi. Jika begitu, di mana letak persamaan dan perbedaannya?
 Membaca puisi-puisi Rosmiaty Shaari dan D Kemalawati, dan coba membandingkannya, saya seperti dihadapkan pada dua dunia yang berbeda, meski di sana-sini, dapat pula dijumpai adanya sejumlah kesamaan. Adanya kesamaan itulah yang membawa kita pada satu kesimpulan, bahwa perkara religiusitas dapat mempertemukan kedua penyair itu pada satu sikap, yaitu cara ‘memandang’ Tuhan. Atau, menempatkan Tuhan sebagai objek yang entah berada di mana, tetapi keduanya merasa perlu untuk selalu menyapa dan mengingat-Nya, di mana pun dan dalam situasi apa pun. Atau lagi, keduanya merasa perlu terus memelihara kesadarannya sebagai wujud rasa syukur atas nikmat yang diterimanya. Lalu, puisi menjadi pilihan.
Dalam kajian sastra bandingan (comparative literature) memang dimungkinkan membandingkan satu karya sastra dengan karya sastra lain, atau juga dengan karya seni lain. Dan selalu, di sana, dalam kajian sastra bandingan itu, kita akan berjumpa dengan persamaan ketika karya sastra itu mengungkapkan problem karakteristik manusia: cinta, rindu, dendam, dosa, dan seterusnya yang semuanya berlaku secara universal. Pada sisi yang lain, kita juga akan berjumpa dengan perbedaan ketika persoalan kemanusiaan itu menyentuh warna lokal yang menyangkut tradisi masyarakat dan budaya setempat. Selalu ada sesuatu yang khas, yang unik dalam setiap kebudayaan masyarakat, yang tidak selalu terdapat pada kebudayaan masyarakat lain. Di situlah, kajian sastra bandingan diperlukan sebagai salah satu upaya memahami kebudayaan masyarakat lain. Dengan begitu, karya sastra sebenarnya dapat digunakan sebagai pintu masuk memahami kebudayaan sebuah bangsa.
Dalam usaha membandingkan sejumlah puisi kedua penyair Rosmiaty Shaari dan D Kemalawati itu, tentu saja tidak semua puisi yang terhimpun dalam antologi itu perlu dikaji seluruhnya. Cukuplah beberapa puisi yang representatif memperlihatkan adanya persamaan tematik. Meskipun demikian, gambaran umum tentang kedua antologi puisi itu, perlu kiranya terlebih dahulu dipaparkan serba sedikit.
***
Antologi puisi Daun nan Bercinta (Kuala Lumpur: Institut Terjemahan dan Buku Malaysia (ITBM) dan Pena, 2016, xli + 90 halaman) karya Rosmiaty Shaari, berisi 75 puisi yang secara tematik menunjukkan rasa syukurnya kepada Allah SWT. Kata Pengantar Arbak Othman (xi—xliii) yang luas dan panjang lebar itu, jelas hendak menegaskan posisi penyair dalam perkara hubungan aku—Tuhan, dan puisi-puisinya seperti merepresentasikan hubungan vertikal, makhluk manusia dan Sang Pencipta.
Dikatakan Arbak Othman, “Semua ini menggambarkan dengan jelas konsep hubungan manusia dengan Tuhan yang melalui ruang diri, menjadi objek rohaniah yang akur dengan Perintah Ilahi: bermuhasabah diri, taat kepada ketetapan, berharap kepada yang memiliki Kuasa Agung, bersikap tawaduk dan lemah lembut kepada Pencipta Yang Maha Esa.” (hlm. xliii). Meskipun kita (: pembaca) boleh tidak bersetuju atas pernyataan itu, setidak-tidaknya, Kata Pengantar tersebut dapat digunakan sebagai bahan awal untuk melengkapi pemahaman kita atas puisi-puisi Rosmiaty Shaari secara umum.
Dalam perkara tafsir atas puisi, pengalaman dan pemahaman kita sering kali membawa kita punya pandangan dan makna lain. Oleh karena itu, tidak terlalu bermasalah apabila penafsiran dan pemaknaan kita atas sebuah puisi tidak sejalan dengan pandangan pembaca lain. Bagaimanapun juga, sebuah teks puisi tidaklah terkungkung pada makna tekstual. Selalu ia dapat dikaitkan dengan konteks sosio-budaya yang melahirkannya atau yang menjadi harapan ideologis penyairnya. Lalu, berdasarkan kebebasan menafsir, kita diberi peluang untuk coba menukik lebih dalam untuk mengungkapkan kekayaan terpendam yang tersimpan pada teks puisi yang bersangkutan. Bukankah tafsir pembaca itu juga sangat ditentukan oleh pengalaman masing-masing pembaca dalam memahami dan memaknai sebuah teks?
Sementara itu, antologi puisi D Kemalawati, Bayang Ibu (Banda Aceh: Lapena, 2016, xix + 78 halaman) berisi 61 puisi dengan sebuah pengantar yang berupa cerpen berjudul “Bayang Ibu (Di Depan Bayang Masa Lalu).” Tentu penyair punya maksud lain atas pemuatan cerpen itu. Tidak serta-merta penyair menempatkan cerpen sebagai semacam pengantar antologi puisinya, tanpa tujuan. Niscaya ada pesan tertentu yang hendak disampaikannya.
Dan benar! Cerpen itu laksana pintu masuk yang menyimpan trauma sejarah. Kemalawati tak menyinggung keagungan masa lalu kesultanan Aceh yang reputasional. Tak juga menyentuh heroisme secara luas perlawanan masyarakat Aceh pada kolonialisme Belanda, meski di sana ada puisi “Tentang Teuku Umar” dan puisi yang membandingkan ketokohan “Kartini dan Cut Nya Dien.” Secara keseluruhan Kemalawati coba mewartakan tragedi yang menimpa masyarakat di sekeliling sebagai bagian dari pengalaman individualnya. Namun, belum usai dengan tragedi itu, yang dikatakannya: “Betapa celakanya kampung ini, keluh anak-anak muda yang mengeram bara” tiba-tiba alam memperingatkan dengan cara yang lain. Tsunami mahadahsyat menyisakan mayat-mayat dan duka lara tak terperi! 
Begitulah, dunia Aceh adalah kisah masa lalu yang agung dan reputasional, yang heroik dan penuh perlawanan, yang mengeram bara dan kecurigaan, dan yang masyarakatnya dengan segala kesabarannya, mengumpulkan kembali puing-puing kehidupan setelah diterjang tsunami!
Antologi puisi D Kemalawati, Bayang Ibu, sesungguhnya menyimpan peristiwa-peristiwa besar itu. Segalanya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Aceh, dan Kemalawati menyadari tanggung jawab kepenyairannya. Maka, puisi-puisinya menampilkan tema-tema yang beragam: dunia Aceh yang penuh gejolak. Meskipun demikian, dalam konteks membandingkan puisi-puisi Rosmiaty Shaari dengan puisi-puisi D Kemalawati, saya terpaksa lebih memusatkan perhatian pada teks puisi yang secara tematis memperlihatkan adanya sejumlah kesamaan. Maka, tak terhindarkan, saya memilih beberapa puisi Kemalawati yang senafas dengan puisi-puisi Rosmiaty Shaari: tema-tema religius.
Sedikitnya ada sekitar 10-an puisi Kemalawati yang tampaknya sengaja mengangkat tema religius. Dengan demikian, usaha membandingkan puisi-puisi Rosmiaty Shaary dan puisi-puisi D Kemalawati, secara metodologis, tak terkesan dipaksakan.
Mari kita mulai!
***
 Kecenderungan yang sangat menonjol dari sejumlah besar puisi-puisi Rosmiaty Shaari adalah hasratnya untuk ‘menyapa’ Tuhan, bersyukur atas nikmat yang dilimpahkan-Nya, dan coba selalu mengingat, bahwa alam jagat raya dengan segala isinya yang mewarnai kehidupan manusia, tidak lain adalah sarana untuk memuja-Nya. Atau, segala tanda-tanda alam itu, dihayatinya sebagai hasrat untuk membersihkan diri dari segala dosa. Dalam konteks itu, hubungan manusia dan Tuhan berada secara vertikal sebagai hamba dan Sang Penguasa jagat raya. Ada keberjarakan antara aku dan Tuhan, antara subjek—aku yang disadarinya berada dalam kuasa objek-Tuhan.
Kita tidak menemukan representasi hubungan aku—Tuhan dalam puisi-puisi Rosmiaty Shaari sebagai aku yang rindu jumpa Dia, Sang Khalik. Atau ‘aku’ yang tiada berdaya atas kuasa-Nya lalu berhasrat lebur dalam pesona-Nya. Dikatakan Rumi, “Ada saat kupunya seribu hasrat. Namun, dalam satu hasratku mengenal-Mu, luruh tanpa sisa semua selainnya.” Jadi, ketika datang hasrat akan pertemuan dengan Tuhan, seketika hasrat itu seperti ‘menelan’ semua hasrat yang lain.[1]
Bagi Rosmiaty, keberadaan aku duniawi memberi penyadaran sebagai aku individu, sebagai makhluk-Nya. Dengan demikian, keberjarakan aku-individu dan Tuhan, tidak berada dalam posisi aku rindu Sang Kekasih, sebagaimana dikatakan Amir Hamzah: “Satu kekasihku/Aku manusia/Rindu rasa/Rindu rupa// (“Padamu Jua”). Atau, aku-individu yang tak berdaya dalam pesona-Nya. Jadilah sang aku tidak berada dalam: mangsa aku dalam cakarmu. Juga tidak berada dalam posisi “Tuhan, kita begitu dekat/sebagai api dengan panas/aku panas dalam apimu// (Abdul Hadi WM).
Meskipun demikian, sebagai makhluk ciptaan-Nya, manusia tidak dapat melepaskan diri dari pancaran kasih Tuhan. Sebagai manusia yang menyadari segala kelemahan dan kedaifannya, ia berharap juga dapat merengkuh sifat-sifat-Nya atau yang dikatakan Kemalawati: menjadi kekasih-Mu. Perhatikan puisi Rosmiaty Shaari dan D Kemalawati berikut ini.

ROSMIATY SHAARI
CATATAN PENGHULU HARI
setiap kali menguak pintu hari
adalah kebajikan yang kita impi
namun setiap kali kita menutup pintu hari
jejak yang ditinggal
sering menangisi
setelah kaki yang melangkah pergi
sarat lumpur daki duniawi ...
ya ... Rabb
bersihkanlah hati kami
agar kami sentiasa dapat
membersih lumpur di kaki kami
aamiiin....
12 Julai 2012

D KEMALAWATI
TUNTUN AKU YA RABB
Entah sampai hitungan ke berapa
kaki ini masih melangkah
di atas taburan bunga
atau serpihan kaca
Duhai Rabb,
aku mencium wangi-Mu
dalam sunyi jalan menuju
harap cemasku
akankah kau rangkul tubuhku
bila bertemu
Duhai Rabb
izinkan aku menjadi kekasih-Mu
tuntun langkahku hingga berhenti
dalam pangkuan-Mu
Banda Aceh, 2 April 2014

--------------

[1] Haidar Bagir, Belajar Hidup dari Rumi, Jakarta: Mizania/noura, 2015, hlm. 85.


            Tampak dalam kedua puisi itu, kedua penyair merasa diri sebagai makhluk-Nya yang tak ingin salah langkah. Mereka (masih) berkutat dalam hubungan vertikal: aku sebagai hamba-Nya. Maka, Rosmiaty selalu berharap, setiap langkahnya adalah kebenaran sebagaimana yang menjadi ketentuan-Nya. Begitulah, kehidupan keseharian manusia, sebagaimana yang menjadi harapan aku lirik, seyogianya selalu diikuti dengan refleksi diri, introspeksi, yang dikatakan Kemalawati sebagai: … melangkah/di atas taburan bunga/atau serpihan kaca/ Lalu, siapakah yang dapat menentukan kebenaran itu, selain Tuhan?  Pertanyaan itulah yang membawa aku lirik dalam puisi Rosmiaty kerap disertai dengan kesadaran melakukan introspeksi: bersihkanlah hati kami/agar kami sentiasa dapat/ membersihkan lumpur di kaki kami//
            Tetapi, bagi Kemalawati, persoalannya tidak berhenti sampai di sana. Ada tujuan yang yang lebih subtansial, yaitu: izinkan aku menjadi kekasih-Mu/tuntun langkahku hingga berhenti/ dalam pangkuan-Mu// Sebenarnya, dalam banyak puisi yang menempatkan Tuhan sebagai Sang Kekasih, atau aku—engkau sebagai pecinta dan sang kekasih, keberjarakan itu lesap dalam hasrat untuk menyatu. Atau, seperti dikatakan Rumi, … menelan hasrat yang lain. Maka, peliharalah cinta pada Sang Kekasih itu. Sebab, seperti dikatakan Rumi lagi: “Pecinta dan kekasih, tidaklah baru bertemu di akhir perjalanan. Mereka selalu bersama sepanjang perjalanan.” (Haidar Bagir, 2015: 215)
            Begitulah, spirit kedua puisi itu adalah menempatkan Tuhan sebagai sumber segala kebersihan. Maka, yang perlu dilakukan adalah setiap saat membersihkan segala lumpur yang melekat. Bagaimana mungkin ‘lumpur’ dapat menjadi bagian dari sumber segala kebersihan? Dengan begitu, izinkan aku menjadi kekasih-Mu/ adalah hasrat aku lirik untuk menjadi pecinta. Nah, tampak di sini, baik Rosmiaty, maupun Kemalawati, sesungguhnya mempunyai perasaan yang sama dalam memandang Tuhan, yaitu menempatkan diri sebagai “dari mana dan akan ke mana tujuan hidup manusia.” Lebih tegas lagi: dari Tuhan kembali ke Tuhan.
            Dalam puisi “Jihad Badani” kembali kesadaran diri aku lirik datang ketika realitas kehidupan tidaklah berlangsung baik-baik saja. Manusia kerap dihadapkan pada pilihan-pilihan yang saling bertentangan: kebaikan atau keburukan, kebenaran atau kepalsuan, kekejaman atau kasih sayang, cinta atau benci, dan seterusnya. Atas berbagai pilihan itulah manusia berada dalam medan perang yang sesungguhnya. Menang atau kalah, bergantung atas pilihannya. Itulah yang disebut jihad, yaitu perang melawan musuh yang tak terlihat; perang menundukkan hawa nafsu dan keangkaramurkaan. Perang besar yang bersifat fisikal, justru dimulai dari perang melawan hawa nafsu ini. Maka memenangkan perang ini, berarti memenangkan segala perang yang bersifat fisikal itu.

JIHAD BADANI
Allahu Rabbi ...
titis bening di subuh hening
rebah ke pangkal rahim
menancap bulan sakral
kekasih 
di dadaku
ada darah memerintah
setiap anggota menggelepar
mabuk melihat merah
jihad perang
nafsu-nafsi.

24 Ramadan 1433

            “Jihad Badani” adalah kesadaran aku lirik bahwa kehidupan keseharian dalam menentukan berbagai pilihan tidak lain adalah ‘jihad’. Kekasih sebagai simbolisasi (sifat) Tuhan, lesap dalam jiwa yang menggerakkan segala langkah perbuatan adalah pilihan yang mesti dijalankan dalam perang melawan hawa nafsu. “Jihad Badani” adalah perang melawan musuh yang tak terlihat. Perang batin yang terjadi dalam diri sendiri, yaitu perang melawan hawa nafsu. Dalam dua larik terakhir puisi itu dikatakan: jihad perang/nafsu-nafsi// yang berarti bahwa perang melawan hawa nafsu adalah peristiwa jihad. Rumi mengingatkannya begini: “Hawa nafsumu adalah induk segala berhala …”[2] Maka, hawa nafsu bagi Rumi adalah neraka atau bagian dari neraka yang hakikatnya tidak lain adalah setan. Dengan demikian, perang melawan hawa nafsu, sesungguhnya adalah perang melawan setan.
            Peristiwa perang simbolik ini juga diangkat Kemalawati dalam puisinya “Batu-Batu Kerikil dari Muzdalifaf.” Dalam puisi itu, penyair tidak menarik peristiwa perang simbolik itu sebagai peristiwa batin, melainkan potret suasana aku lirik memasuki pusaran peristiwa yang membuatnya hanyut, lesap, luruh-lebur di antara kesadaran dan ketidaksadaran. Barangkali juga perisiwa itu bagian dari suasana trance, mabuk dalam kenikmatan perang melawan setan. Perhatikan penciptaan suasana peristiwa yang digambarkan Kemalawati.

BATU-BATU KERIKIL DARI MUZDALIFAH

Batu-batu kerikil di lautan pasir Muzdalifah
seperti bintang-bintang dalam balutan awan
tak terhitung jumlahnya
Kami, lelaki berselempang ihram
perempuan-perempuan menutup seluruh badan
dalam ihram dalam pantang
datang bergelombang
mengais-ngais pasir memilih kerikil
dengan zikir
dengan zikir
Lewat tengah malam
para pejalan yang tangguh
mengayuh badan di remang bayang
jutaan yang lain menunggu di tepi jalan
menunggu giliran angkutan
semua menuju Mina
merapat ke Jamarat
Wahai kabir, wustha dan shoghir
berkumpullah kalian di Ula, Wustha dan Aqabah
terus goda manusia, terus tipu hamba Allah
Kami datang bersama kerikil di tangan
menyusuri jalan berliku, terowongan-terowongan panjang
tangga tinggi menjulang, tebing curam
Untuk melemparmu
dengan jutaan kerikil
dengan seruan takbir
Batu-batu kerikil di sela hamparan pasir Muzdalifah
seperti dipilih Ibrahim, kami pilih melempar kabir di Ula
seperti dipilih Hajar, kami pilih melempar
Wustha di antara Ula dan Aqabah
seperti yang dipilih keduanya, para kekasih Allah
Kami pilih untuk melempar ketiganya
Kabir, wustha dan shoghir di Aqabah
Batu-batu kerikil berselimut pasir dari Muzdalifah
cahaya kaliankah yang kami saksikan
membusur dari kolam menembus awan
terang melebihi bintang-bintang
Wahai Yang Maha Penerang
Kami penuhi panggilan-Mu
Labbaik Allahuma labbaik
Labbaik Allahuma labbaik.

Muzdalifah-Banda Aceh, 2012-2013


-----------------
[1] Reynold A. Nicholson, Jalaluddin Rumi: Ajaran dan Pengalaman Sufi, terj. Sutardji Calzoum Bachri, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993, hlm. 36.

            Mengingat yang dilakukan Kemalawati adalah usaha mengangkat suasana peristiwa, maka citraan penglihatan dalam puisi itu terasa begitu kuat. Kita laksana dibawa ikut masuk pada pusaran orang-orang dalam jumlah yang tak terhitung banyaknya, kemudian ikut bergerak, bergelombang menuju satu tujuan sambil mengumandangkan gemuruh takbir dan puja-puji.
            Begitulah, Rosmiaty yang dalam kesenyapannya mewartakan perang batin, perang melawan hawa nafsu, sesungguhnya melambangkan perang melawan “induk segala berhala”. Adapun Kemalawati mengangkatnya tidak dalam kesenyapan, melainkan dengan penciptaan suasana yang penuh dengan kegemuruhan dan gelombang lautan manusia yang bergerak menuju satu titik yang sama: melawan setan!
***
            Sejumlah besar puisi Rosmiaty, seperti telah disebutkan, cenderung menariknya sebagai peristiwa individual dalam kehidupan keseharian yang kerap menumbuhkan kesadaran tentang keberadaan Tuhan. Atau, setidak-tidaknya, dari peristiwa-peristiwa yang tampaknya biasa-biasa saja, selalu ada isyarat lain yang menegaskan hubungan manusia dan Tuhan. Periksa saja puisinya yang berjudul “Catatan Sehelai Daun 1” atau “Percakapan Waktu Pagi” berikut ini

CATATAN SEHELAI DAUN 1
pabila ditumbuhkan sebatang pohon
sulur pertamanya mengakar ke bumi
tunasnya memucuk ke langit
kian membesar berdaun hijau
subur
sebelum gugurnya sehelai daun
yang hijau atau yang kuning
akhirnya tetap dikuras musim
tetap akan mengering
dan seperti sepohon syajar
entah esok atau lusa
daunmu akan gugur
hijau atau kuning
tetap akan gugur – maka
kembalilah kamu
ke asalmu
sekepal tanah ...

23 November 2011

            “Catatan Sehelai Daun 1” adalah kisah sederhana tentang biografi daun. Dalam puisi ini, Rosmiaty seperti enteng saja, tanpa beban, berkisah tentang perjalanan hidup daun. Tetapi kemudian kisah tentang daun itu tidak lain adalah isyarat bagi kita, manusia. Sebuah analogi tentang perjalanan hidup manusia: kembalilah kamu/ke asalmu/sekepal tanah// Dalam konteks yang lebih luas, Rosmiaty mengingatkan, bahwa berbagai peristiwa remeh-temeh yang berada di sekeliling kita, yang setiap hari kita jumpai, di sebaliknya ada tanda-tanda isyarat keberadaan Tuhan. Peristiwa seperti itu, secara simbolik dikatakan Rumi sebagai berikut: “Kau berjalan ke sana ke mari/menunggang kudamu/dan bertanya kepada setiap orang/“Mana kudaku?”//
            Permainan Rosmiaty adalah dunia persekitaran. Ia lalu menariknya menjadi bahan renungan. Dari sana, ia mengambalikannya lagi sebagai usaha memberi penyadaran bagi kita. Lihat saja puisinya yang lain yang berjudul “Percakapan Waktu Pagi,” “Di Retak Batu,” “Khabar  kepada Kawan,” “Lapar,” atau “Fakir” –sekadar menyebut beberapa—adalah kisah sederhana, peristiwa keseharian, dan tak penting. Tetapi di balik itu, ada kisah besar tentang hubungan manusia dan Tuhan, tentang kesadaran manusia dalam menyikapi hidup ini, dan segalanya terpulang pada sensitivitas qalbu, sebagai kata hati, suara kebenaran yang di sana terpancar pendar cahaya Ilahi. Periksa saja puisinya yang berjudul “Lapar” berikut ini.

LAPAR
lapar itu benang sutera 
yang berkepompong di dalam dada sekian lama
lalu, menjadi sekuntum ovarium 
yang menitiskan madu
ke dalam dendrobium
sepasang lebah pun berlegar
hinggap ke dalam laparmu 
menyedut manis madumu
ketika laparmu meronta
menikmati lazatnya cahaya.... 

            Lapar yang dikataknnya sebagai benang sutera yang berkepompong … dan seterusnya pada akhirnya sampai juga pada hakikat lezatnya cahaya. Sebuah analogi yang cantik, meski sederhana. Namun, tokh puisi itu tidak meninggalkan kedalaman maknanya, bahwa segalanya tidak terlepas dari cahaya Ilahi.
            Begitu juga puisinya yang berjudul “Fakir” berikut ini.        

FAKIR
berilah aku sedikit cinta
dari secarik roti yang kaumakan
dan seteguk rindu
dari secangkir madu yang kautelan
di telapak tangan
ada doa kusisipkan.


            Dalam sejumlah besar puisinya, Rosmiaty Shaari menawarkan spirit religiusnya mengalir begitu saja, tanpa beban, tanpa perlu berteriak menyampaikan ayat-ayat Quran atau khotbah. Apa saja benda-benda alam atau peristiwa keseharian biasa, dapat menjadi peringatan luar biasa ketika Rosmiaty menariknya sebagai perenungan batin yang lalu disadari, bahwa segalanya tidak terlepas dari cahaya Ilahi bagi umat manusia. Kesadaran itulah yang kemudian dipancarkan kembali menjadi tanda-tanda atau isyarat alam, bahwa di sana tersembunyi cahaya Ilahi.
            Puisi-puisi D Kemalawati, meski dengan pesan yang sama, yaitu konteks hubungan manusia—Tuhan, ia menyampaikannya dengan cara yang lain. Sebagaimana puisinya “Batu-Batu Kerikil dari Muzdalifaf,” yang sudah disinggung tadi, dalam puisi yang berjudul “Aku Melingkar Terbakar” penyair lebih menekankan pada suasana peristiwa. Maka, gambaran ribuan manusia yang mengelilingi Kabah, gelombang gema takbir atau doa-doa memuja kebesaran-Nya atau entah apa lagi, mewartakan kemahabesaran-Nya yang tak berhingga. Kita –pembaca—seolah-olah dibetot pada suasana kedahsyatan peristiwa itu. Kembali, kita dapat membayangkan, betapa lautan manusia di sana mengalami trance, mabuk, hanyut, luluh, lebur dalam gelombang manusia dalam kenikmatan religius yang tak terperikan. Manusia dari berbagai bangsa dan budaya dipersatukan oleh keimanan yang sama.

AKU MELINGKAR TERBAKAR

Aku di sini
di tempat para penabuh
meriuh-rendahkan tabuhannya
rindu nyanyian padang lengang
aku dan Tuhan
Para penabuh melingkar-lingkar tubuh
berbalut hitam, batu hitam, mata hitam
air mengalir, putih, jernih
dalam haus zam-zam
sedepa maqam
aku dan Tuhan
aku dan Tuhan
Naik turun bukit
tetabuhan himpit
kanal-kanal beriak
diri tak bertali tak kendali
aku dan Tuhan
Mereka melingkar-lingkar
mendayung perahu jangkar
para penabuh yang terbakar
aku ikuti mereka
menabuh dan terbakar
aku dan Tuhan

Makkah-Banda Aceh, 2012-2013

            Cermatilah, betapa kuatnya larik-larik ini: Mereka melingkar-lingkar/mendayung perahu jangkar/para penabuh yang terbakar/aku ikuti mereka/menabuh dan terbakar/aku dan Tuhan// Begitulah, religiusitas Kemalawati cenderung tidak sebagai peristiwa individual, melainkan sebagai bagian dari kehidupan masyarakat atau orang-orang yang berada di sekitarnya. Jadi, aku lirik lesap menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari suasana peristiwa.
Periksa lagi, misalnya, puisinya yang berjudul “Di Itaewon” yang mengangkat pengalamannya memasuki rumah Tuhan di sebuah bukit yang dikepung tempat-tempat hiburan malam. Perjalanan menuju ke masjid itu memang melewati jalan mendaki, seperti dikatakannya: Ini pendakian yang tak seberapa/namun tangga berdinding batu seolah berkata/engahmu seolah pertanda belum terbiasa/menuju ketinggian jiwa/para pencari ridha
            Selengkapnya simaklah puisinya yang berjudul “Di Itaewon” berikut ini:

DI ITAEWON

Ini pendakian yang tak seberapa
namun tangga berdinding batu seolah berkata
engahmu adalah pertanda belum terbiasa
menuju ketinggian jiwa
para pencari ridha
Kubasuh muka
kuredakan debar di dada
kudaki lagi tangga dalam kamar samar cahaya
hingga ruang lengang di lantai dua
sayup-sayup kudengar seruan itu
mengalun dari puncak menara
sujudku dipenuhi airmata
Di Itaewon, kukirim doa kepada
perempuan muda sipit berkulit terang
yang terbata-bata memadankan kata
kutahu dia tak mencari pahala
ketika menawarkan jasa menuju rumah-Nya

Mesjid Itaewon, Seoul, 4 Juni 2012

            Meski dalam puisi itu, Kemalawati mengangkat pengalaman individual, ia menariknya sebagai bagian dari kehidupan sosial. Maka, di sana dikatakan: perempuan muda sipit berkulit terang … yang menawarkan jasa menunju rumah-Nya//
***
            Membaca puisi-puisi Rosmiaty Shaari dan D Kemalawati—khusus mengenai puisi-puisi religiusnya—kita seperti disuguhi berbagai cara pandang dalam menyapa Tuhan. Meskipun begitu, dalam puisi kedua penyair itu, kita tetap menemukan spirit yang sama, keimanan yang sama, dan jiwa yang sama. Jadi, benarlah seperti yang dikatakan Rumi: “Orang-orang Mukmin itu banyak, namun Iman itu hanya satu; tubuh mereka itu beraneka ragam, namun jiwa mereka hanya satu.”[3]

Msm-mklh/aceh/pp8n/14/6-2016




* Makalah “Temu Penyair Delapan Negara” diselenggarakan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh, Kuta Alam, Banda Aceh, di Banda Aceh, 15—17 Juli 2016.

* Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
[1] Haidar Bagir, Belajar Hidup dari Rumi, Jakarta: Mizania/noura, 2015, hlm. 85.
[2] Reynold A. Nicholson, Jalaluddin Rumi: Ajaran dan Pengalaman Sufi, terj. Sutardji Calzoum Bachri, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993, hlm. 36.
[3] Reynold A. Nicholson, Jalaluddin Rumi: Ajaran dan Pengalaman Sufi, terj. Sutardji Calzoum Bachri, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993, hlm. 26.

-----------------------------------
[1] Reynold A. Nicholson, Jalaluddin Rumi: Ajaran dan Pengalaman Sufi, terj. Sutardji Calzoum Bachri, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993, hlm. 26.

Tuesday 12 July 2016

BIODATA ROSMIATY SHAARI


Anak kelahiran negeri Perak ini berasal dari Teluk Intan memperoleh Sijil Tinggi Persekolahan Malaysia, pernah mengikuti Pengajian Seni Kreatif (Kesusasteraan) di Universiti Sains Malaysia tahun 1983 / 1984 di bawah bimbingan SN Dato Dr Emeritus Shahnon Ahmad, Dr Fatimah Busu, Dr Ali Ahmad (Alis Murni) dan Dr Noriah Taslim. Beliau pernah menjadi editor di Teks Publishing / Singamal Publishing (1985 – 1989 ). Editor di Marwilis Publisher ( 1990 – 1994 ), Free Lance Editor bagi Flo Enterprise, Penerbit Karyawan, Penerbit S. Abdul Majeed, Penerbitan Murni dan masih menjadi editor bebas hingga kini. Mula menulis di usia 17 tahun, setelah menjuarai sayembara kritik sastera peringkat sekolah-sekolah Teluk Intan.

KARYA YANG TELAH DITERBITKAN

Antara karya yang telah diterbitkan dan dibicarakan ialah­:

Kumpulan cerpen perseorangan 'Malam Seribu Malam' (Teks Publishing,1989)

Kumpulan puisi perseorangan  ...dari HITAMPUTIH MENJADI ZARAH (2011) diterbitkan oleh I-Man Creative, Melaka. Kumpulan ini telah mendapat penghargaan oleh Himpunan Pengarang Indonesia (AKSARA), dibicara dan dilancarkan di Pusat Dokumentasi HB Jasin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta pada Oktober 2011. Pembicara Drs Handoko F Zainsam.

Kumpulan puisi perseorangan Kembali Kepada Fitrah (ITBM, Kuala Lumpur; 2014). Kumpulan puisi ini telah diperkatakan oleh beberapa orang peneliti sastera antaranya: Dr Free Hearty (Jakarta), Djazlam Zainal (penggiat sastera),  Dr Shamsuddin Othman (UPM), Sdr Syarifuddin Ariffin (Padang, Sumatera), Sdr Chai Loon Guan (penggiat sastera) dan Dato Dr Rahman Shaari (penggiat sastera).

Kumpulan puisi 10 Perempuan Indonesia – Malaysia (ITBM/YPOI, Kuala Lumpur, 2014). Telah dilancarkan di Pesta Buku Antarabangsa Indonesia (2014), Senayan, Jakarta oleh Ketua Perwakilan Kedutaan Malaysia di Jakarta. Dilancarkan juga di Pesta Buku Antarabangsa Kuala Lumpur 2015 oleh Perwakilan Kedutaan Indonesia di Kuala Lumpur. Buku ini turut dibicarakan oleh dua orang sarjana sastera Dr Saleeh Rahamad dan Dr Sapardi Joko Damono di Jakarta.

Kumpulan puisi perseorangan Daun nan Bercinta (ITBM, Kuala Lumpur, 2016). Telah diberi pengantar oleh Prof Madya Dr Arbak Othman dan dibicarakan secara panjang lebar. Buku ini juga telah dilancarkan oleh Gabenar Aceh Dr Zaini Abdullah di Anjung Mon Mata, Banda Aceh bersama 27 kumpulan puisi penyair dari 8 negara pada 15 Julai 2016, dan seterusnya Daun nan Bercinta dibicarakan dalam kajian sastera bandingan bersama kumpulan puisi Bayang Ibu, De Kemalawati oleh pengkritik Indonesia Bapak Maman S Mahayana. Kumpulan puisi ini juga turut dibahaskan oleh pengkritik Sdr Mohammad Shahidan (DBP) dalam sesi bedah karya bertajuk Daun Nan Bercinta dalam Bacaan Semiotik pada Pulara 8, 2017.

Kumpulan puisi perseorangan Ketika Nur (UTeM, Melaka, 2020), telah diberi pengantar oleh Saudara Djazlam Zainal dan catatan oleh Prof Madya Dr Norhayati Abdul Rahman.

Antologi cerpen 'Mannequin' (Kerajaan Negeri Selangor, 1986)
Antologi puisi 'Temoh Tasik Kenangan' (Karyawan Perak, 2010)
Antologi puisi 'Kampung Warisan' (PAKSI 2010)
Antologi puisi 'KEMALA - Meditasi Dampak 70' (Insandi, 2011)
Antologi puisi Akulah Musi (Pertemuan Penyair Nusantara V, 2011)
Antologi puisi Menyirat Cinta Haqiqi (Insandi, 2012)
Antologi puisi Sinar Sidiq (Bahasa, 2012).
Kumpulan karya Titie Said In Memorium (AKSARA, Jakarta 2011)
Antologi cerpen Cerita Etnik 5 Negara (Wohai, Jakarta; 2013)
Antologi Puisi Risalah Melayu Nun Serumpun (Persatuan Sasterawan Numera Malaysia,2014)
Antologi puisi Segugus Pasrah Buatmu (PENTAS, 2014)
Antologi puisi Nyala Api Dalam Dada (ITBM, 2014)
Antologi puisi Lata Kinjang (Karyawan Pk, 2014)
Antologi puisi PUISI PANGKOR 4 (Kg Karyawan Malim, 2014)
Antologi puisi 100 Penyair Indonesia/Malaysia (Temu Sastera Ina – Malaysia. 2015)
Antologi puisi ISTIQAMAH BAHASA (IBH Khidmat, 2016)
Antologi puisi CAKAR NANAR (2016)
Antologi puisi Titis Darah Kanang   (DBP, 2016)
Antologi puisi Pasie Karam (Dewan Kesenian Aceh Barat, 2016)
Antologi puisi Malaysia-Thailand (ITBM, 2016)
Antologi puisi Pelangi Merentasi Benua (Pertemuan Penyair India - Asean, 2017)
Antologi puisi Merdeka Jiwa (Penyair, 2017)
Antologi puisi Menembus Arus Menyelami Aceh (LAPENA, Aceh, 2018)
Antologi puisi Apitaf Kota Hujan (Dinas Perpustakaan & Kearsipan Padang Panjang, 2018)
Penyelenggara antologi puisi PUISI PANGKOR 5 (Kg Karyawan Malim, 2015)
Penyelenggara antologi puisi PUISI PANGKOR 6 (Kg Karyawan Malim, 2016)
Penyelenggara antologi puisi Suara Dari Lembah Tempurung (Kg Karyawan Malim, 2017)
Penyelenggara antologi puisi PUISI PANGKOR 7 (Kg Karyawan Malim, 2017)
Antologi puisi-puisi Merdeka - DANDANI LUKA-LUKA TANAHAIR (NUMERA, 2020)



ANUGERAH  

1980 - Pemenang tempat pertama Sayembara Cerpen PENTAS – cerpen Nenek Utih
1986 - Pemenang hadiah utama Sayembara Cerpen anjuran Kerajaan Negeri Selangor – cerpen Matahari Kian Rembang
2014 - Pemenang Hadiah Utama Anugerah Puisi Dunia NUMERA -- puisi Risalah Melayu
2014 – Pemenang Hadiah Sastera Perdana Malaysia (HSPM) 2013 – cerpen Istana Cindai
2014 – Pemenang Hadiah Sastera Darul Ridzuan (HSDR) 2012/2013 – cerpen Istana Cindai
2018 - Pemenang Hadiah Sastera Darul Ridzuan (HSDR) 2016/2017 - kumpulan puisi Daun Nan Bercinta

Catatan Tambahan:


Kumpulan puisi Kembali kepada Fitrah merupakan antara empat buah kumpulan puisi terbaik bagi tahun 2014 di bawah penilaian panel khas Hadiah Sastera Malaysia 2015, dan kini menjadi teks kajian mahasiswa di Universiti Sabah Malaysia.

Tiga buah puisi beliau berjudul Pisau dan Darah, Suara ii dan Sepercik Ombak telah dimelodikan dan dinyanyikan oleh komposer Ahmad Ramli.

Monday 18 January 2016

KATA PENGANTAR

 ARBAK OTHMAN

            i


Keindahan wujud pada kadar yang tinggi dalam seni.  Keindahan dapat dianggap sebagai kualiti karya masyarakat. Sebagai komponen estetika, keindahan selalunya mengawal rasa yang dikaitkan dengan idea, dan dalam karya dipanggil ‘idea estetik’.  Idea estetik pula tidak lain adalah pernyataan imaginasi bagi mengimbasi fikiran yang dirasakan cukup untuk menimbulkan keunggulan seni karya sebagai berkuasa dan tidak bersifat menentukan secara konsepsi sahaja. Orientasi pengalaman dalamn seni karya, seperti puisi, lazimnya dikaitkan dengan  sifat dan pekerjaan minda manusia termasuk legasi idealisme pencerahan. Idealisme pencerahan ini lebih ketara orientasinya dalam puisi-puisi ketuhanan, atau keyakinan agama, seperti keyakinan terhadap kewujudan kuasa Ilahi yang paling unggul, yakni tidak ada lagi kuasa lain di atasnya. Keyakinan ini jelas tergambar dalam ujaran yang berikut daripada sajak Masuk Ke Dalam Awan:

apakah yang kaucari
berlegar di matahari
lalu kembali ke bumi
terus terpahat matamu jauh ke akar sunyi
kaurenung kewujudan ini
(paksi dari segala pertanyaan batinimu)
tentang catatan rahasia - makna kepada ada
engkau yang tiada menjadi ada
Dia yang tiada tetap ada - sentiasa ada

Ujaran baris akhir Dia yang tiada tetap ada - sentiasa ada mengandungi maksud kewujudan Tuhan yang tidak didahului oleh “tiada”.

Puisi yang berkesan dan bermutu ialah puisi yang mempunyai “rasa” di jiwa pembaca. Perasaan manusia akan selesa apabila ia membentuk sentimen sendiri sebagai standard keindahan. Rasa dan penyempurnaan keindahan dapat dinilai berdasarkan imaginasi yang membayangkan maksud dalam imej terhadap pemahaman yang membenarkan pembaca untuk membuat konsepsi dan alasan yang menimbulkan kesedaran bebas daripada ketetapan semula jadi (Kant).  Dalam ketetapan ini, Rosmiaty Shaari (seterusnya Rosmiaty) didapati berhasil mencipta semangat (ruh) estetik yang penting untuk menghidupkan minda. Kuasa minda inilah menghidupkan ruh pada kandungan.  Beliau didapati berhasil menghidupkan kuasa ini yang menjadi kebolehannya untuk mengemukakan idea estetik, iaitu persembahan imaginasi yang menyegerakan fikiran. Idea estetik ini tergambar dalam sajaknya berjudul Pasrah melalui ujaran yang berikut:  

kecuali Engkau yang membaca -
qalbu itu ladang tanaman
tempat bercucuk tanam
kembang bunga abadi
merecup wangi kasturi
ini perjanjian sejak pertama
sejak titik belum bergerak
sejak terpisah menjadi jarak
berombak dalam jalur berombak
tak berubah
tetap berserak perak ...

(kulihat awan melaju
 meninggalkan gerbang prasasti
membangun kota nurani) ...

Idea estetik yang tertitip pada maksud bahagian ujaran yang bercetak miring dalam sajak di atas dapat berfungsi menjadi teman idea rasional pada ujaran kutipan kulihat awan melaju/meninggalkan gerbang prasasti/membangun kota nurani.

Idea rasional ialah konsep yang intuisi (pernyataan imaginasi) memadai untuk imaginasi bertindak sebagai kuasa kognitif yang berkuasa cukup kuat apabila ia mencipta sifat-sifat daripada bahan yang disediakan oleh alam semula jadi (seperti ladang tanaman, bunga dan wangian kasturi). Objek alam semula jadi ini digunakan oleh penyair untuk menstrukur semula pengalaman melalui idea yang tidak lain berfungsi sebagai persembahan imaginasi. 

Penyair berhasrat memberikan ekspresi yang wajar kepada idea rasional tentang kewujudan yang tidak dapat dilihat, alam pengampunan dan belas kasihan, alam neraka, keabadian, penciptaan, kepasrahan, atau hal-hal yang telah sebati dalam pengalaman seperti kematian, dan juga cinta, keluarbiasaan dan sebagainya.  Kuasa kewujudan inilah yang dinamakan bakat (tentang imaginasi). Apabila bakat disediakan dengan persembahan imaginasi yang diperluas secara estetik, imaginasi akan bersifat kreatif, lalu menyediakan kuasa idea intelektual (seperti alasan)  bagi menyegerakan persembahan (pernyataan ekspresi). Rosmiaty didapati berhasil untuk menunjukkan idea rasional yang dimaksudkan itu dalam ujaran yang berikut dalam sajak Jihad Badani:

Allahurabbi...
titis bening di subuh hening
rebah ke pangkal rahim
menancap bulan sakral

kekasih 
di dadaku
ada darah memerintah
setiap anggota menggelepar
mabuk melihat merah
jihad perang
nafsu nafsi

Kerasionalan jelas tercapai melalui tafsiran bahagian ujaran yang bercetak miring dalam stanza kedua sajak di atas, apabila darah yang memerintah ‘mabuk’ melihat merah jihad perang nafsu nafsi.

Idea estetik yang dianggap “penyampaian imaginasi” tentang kebenaran yang tidak dipalsukan menyebabkan pembaca dapat menambah fikiran kepada konsep dengan perasaannya mempercepat kuasa kognitif dan menyambungkannya dengan bahasa yang mengandungi semangat (ruh). Kuasa mental penyair yang membentuk kebijaksanaan dapat berfungsi sebagai imaginasi dan pemahaman.  Akan tetapi apabila tujuannya estetik, imaginasi akan bebas, dengan kepandaian luar biasa membenarkan pencarian idea untuk sesuatu konsep, di samping memberi jalan kepada cara mengekspresi idea tersebut bagi membolehkan pembaca berkomunikasi dengan karya. Bakat inilah yang dipanggil semangat. Supaya ekspresi itu terkandung dalam bahasa untuk tujuan pemahaman, peranan imaginasi adalah untuk menyatukannya dalam konsep yang setiap keterangannya asli, di samping menyampaikan rumus baru, berdasarkan tafsiran, untuk membuat kesimpulan yang berlunas. Bahasa ujaran yang berikut dalam sajak Alhamdulillah jelas membawakan kesimpulan yang asli, yakni tidak palsu:

alhamdulillah
seri pagi kembang mentari
telah kauterbangkan sayap si api-api
ke puncak paling tinggi 
jangan kauturunkan lagi ke dalam mimpi
seperti iblis mengusap alpa 
mengintai dari sebiji mata
mencari sisi terbuka di gua nestapa

Peranan “iblis” yang sentiasa membuatkan manusia menjadi lupa akan tanggungjawab Ilahi bukan suatu khayalan, tetapi suatu imaginasi yang benar apabila kerjanya tidak lain adalah untuk mencari sisi terbuka di gua nestapa.

Pada pandangan Coleridge, seni tidak hidup untuk menyalin alam semula jadi tetapi memahami asasnya dan menentukan pola kesatuannya melalui intuisi.  Bagi Kant pula, petunjuk kepada intuisi kesatuan ialah pengetahuan tentang keindahan. Keindahan didefinisi oleh Coleridge sebagai “kesegalaan dalam kesatuan”. Sekaitan dengan itu, keindahan juga hidup harmonis dalam komposisi atau genre puisi. Konsep harmonis yang dikaitkan itu adalah antara alam semula jadi dan minda manusia. Kesan daripada penilaian untuk menentukan konsep keindahan dalam karya turut mewakili suatu “keseluruhan” yang tercorak dalam kesatuan yang dipersetujui secara semula jadi, iaitu sebagaimana yang terkonsepsi dalam ucapan “ ini nurani paling putih” dalam ujaran yang berikut dalam sajak Kudup Kecil 2:

ke dalam giziMu, ya Rabb
jalur yang memanjang
gerak yang terbentang
ini nurani paling putih
di atas titian takdir

Tafsiran ujaran [ini nurani paling putih] benar-benar mencadangkan “kecerahan daripada keseluruhan” mesej puisi tersebut.

Keindahan selalunya merupakan suatu unsur perdamaian dengan pandangan yang tidak membuat tuduhan tetapi menyediakan kebenaran yang sering dijinakkan oleh bahasa, atau kiasan sebagai pengimbang perdamaian yang terkesan daripada prinsip kehidupan-bebas yang berkonflik.  Rosmiaty mempunyai kebolehan untuk melafazkan konsep keindahan sebagai unsur perdamaian dalam ujaran yang berikut dalam sajak Khabar Kepada Kawan:

dan kita manusia
hanyalah segulung cinta serupa gelombang rasa
seharusnya kita jatuh
ke dalam gelombang Dia
antara pohon-pohon, antara batu-batu
langit, bumi, laut, beburung, angin

Dalam sajak ini jiwa pembaca diperlembut, meski tempat jatuhnya adalah “gelombang”. Kata seperti pohon, batu, laut dan angin menempiasi konsep “konflik” atau “ujian” dalam kehidupan yang bebas.

Puisi merupakan penggunaan bahasa ke atas keghairahan, khayalan dan imaginasi. Rosmiaty berjaya mengekalkan dan mengubahsuai imej, fikiran dan emosi mindanya dengan menolak konsep imaginasi khayalan dan keghairahan. Beliau membawa seluruh ruh manusia ke dalam aktiviti, mengikut kewajaran dan maruah secara relatif. Dia meleburkan tona dan semangat kesatuan melalui kuasa kata dan kuasa magis, sesuai dengan imaginasi di dalamnya.  Semasa mengadun dan mengharmonikan sifat-sifat semula jadi kejadian, penyair membentuk penghargaan terhadap konsep simpati bagi yang kehidupannya difitrahkan dengan nasib daun syajar, iaitu sebagaimana yang terungkap dalam sebahagian ujaran daripada sajak Catatan Sehelai Daun 1

dan seperti sepohon syajar
entah esok atau lusa
daunmu akan gugur
hijau atau kuning
tetap akan gugur
- maka
kembalilah kamu
ke asalmu
sekepal tanah ...


Berdasarkan konsep seni sebagai puisi, ciptaan karya menjadi puitik dalam gaya tersendiri yang memelihara karya oleh sifat-sifat puisi yang bertugas mencari kebenaran.  Kebenaran yang terungkap dalam karya memang tidak boleh dibuktikan. Apa yang seni cari tidak juga dapat diganti atau diperoleh, kerana pencarian seni merupakan suatu limpahan berkat atau anugerah.  Bakat ini ketara dalam kebanyakan sajak Rosmiaty.

Semua ciptaan merupakan lukisan seperti tentang “air daripada mata air”. Dalam seni, permulaan sudah mempunyai akhiran yang tersembunyi di dalamnya. Seni yang menjelajahi pengalaman perseptual selalunya berkembang menjadi kebiasaan yang lebih halus yang dinamakan “pengalaman rohaniah”. Peluasan idea dan fikiran yang dibayangkan dalam puisi selalunya menghasilkan “idea kebijaksanaan” bagi membolehkan keluarbiasaan mencipta nilai-nilai umum, seperti suatu samudera kebenaran, suatu pengetahuan yang digunakan untuk menikmati semula sifat-sifat umum hakikat Ilahi.  Dalam sajak berjudul Surat Dari Langit terungkap konsep samudera kebenaran secara imaginatif:

tak siapa sedar dia datang
dalam terang atau zulmat
dalam senyap atau gamat
bagai gelombang
bergerak dalam diam
berdetak dalam kiam

Daripada ungkapan di atas, bahasa dapat mengekalkan pengertian oleh keindahan susunannya. Dalam pengucapan maksud, bahasa berguna sebagai sistem hubungan objektif, iaitu idea yang dikuasai daripada bahasa yang bersifat operatif.  Bahasa operatif sering membuatkan idea berada di belah bahasa yang lain.  Lambang diam dan kiam dalam ujaran di atas membawa makna-makna kewujudan dan hakikat Ilahi yang dalam pada aras meditasi.

ii

Kesusasteraan dapat dianggap sebagai “ciptaan seni yang justifikasinya ialah keseronokan estetik-seni yang timbul dalam diri pembaca”. “Struktur” merupakan konsep yang meliputi kedua-dua kandungan dan bentuk yang disusun untuk tujuan estetik.  Secara intelektual, sajak-sajak Rosmiaty dapat difahami melalui “pengetahuan yang tidak diucapkan” terhadap kesan keseluruhan yang ditanggap, iaitu yang merupakan sumber kepada kesatuan objek puisi. Struktur puisi boleh juga dibezakan berdasarkan dua gaya dari segi “bahasa figuratif” dan “hiasan” yang melembutkan persepsi terhadap kandungan, terutama yang berkaitan dengan nilai-nilai agama dan pengajarannya bagi dijadikan panduan kepada pembaca atau masyarakat secara umum. Rosmiaty berhasil membuktikan paradigma pencerahan dalam rujukan kepada kombinasi beberapa bahan puisinya: temanya, rentak suku katanya dan fungsi bahasa figuratif dan kosa kata khusus.      
                   
Salah satu kandungan puisi Rosmiaty ialah konvensi mujarad yang berkisar pada nilai ketuhanan dan kuasa Tuhan. Kandungan yang mendamaikan tanggapan membuatkan pembaca dapat dengan mudah bergerak balas dalam keadaan yang sesuai dengan beberapa banyak konvensi, terutama yang berkaitan dengan tuntutan agama dan pengajaran daripada ajaran agama Islam dalam masyarakat Melayu khususnya, iaitu masyarakat yang menganggap agama sebagai rujukan tertinggi untuk semua pola tingkah laku dan nilai-nilai yang mendukungnya.  Struktur yang padan dengan makna-makna ucapan membolehkan pembaca menikmati kesan puitik melalui eksploitasi struktur kognitif dan proses yang terlibat dengan keperluan untuk mencapai kehidupan yang lebih bahagia dan tenteram, selari dengan tujuan penyesuaian masyarakat terhadap persekitaran fizikal dan sosialnya. Konvensi jenis ini didapati relevan kepada sistem sebagai “kegunaan tertinggi”.

Sesuai dengan tujuan gerak balas kesusasteraan, puisi Rosmiaty berhasil menggambarkan sistem kognitif yang disumbangkan oleh pemilihan kosa kata bagi dijadikan “contoh yang baik” melalui kategori yang mendamaikan, bukannya yang bersifat kontrastif dan berkonflik. Bagi menghasilkan sajak yang mengandungi banyak unsur pengajaran dan panduan hidup yang lebih murni dan berdisiplin, penyair menggunakan kemampuan positif untuk mengendalikan ketidaktentuan, misteri, keraguan, dalam laluan tanpa sebarang unsur yang menggangu dan menyakitkan.

Puisi metafizikal dilihat paling baik untuk mengendalikan masalah ontologi “tentang banyak dan satu waktu, ruang dan keabadian”. Puisi jenis ini menampakkan keabadian lutsinar melalui dunia yang dapat dilihat, biasanya dengan bantuan peralatan metonimik.  Misalnya, pasir merupakan unsur metonimik untuk padang pasir yang “tidak bersempadan”. Peringkat pertama peralatan seni ialah “keagungan” yang ditanggap untuk menimbulkan “minda yang dalam”.  Dalam puisi ketuhanan, pengalaman mistik merujuk kepada sifat-sifat Tuhan atau ragam kewujudan. Dalam puisi seperti ini terdapat rasa ingin tahu tentang kewujudan, sifat-sifat kewujudan yang terkadang begitu abstrak dari pandangan mata, walaupun ia jelas kelihatan oleh mata hati dan minda yang dalam.  Terdapat beberapa buah sajak jenis ini dalam kumpulan Daun Nan Bercinta, seperti Pasrah, Jihad Badani, Alhamdulillah, Ratib Daun dan Surat Dari Langit.  Penglihatan hati dan minda yang dalam membuatkan sajak-sajak tersebut mencetuskan kesedaran yang harus dibaca dari segi kehadiran beberapa sikap yang berbeza terhadap kesan puitik.  Untuk memahami ini, pengetahuan tambahan diperlukan tentang struktur dan kesan mesej puisi, supaya gangguan yang merosakkan dapat dikurangi, atau diminimumkan.  Semua pengetahuan akan sampai kepada pembaca sebagai prisma kendiri yang berubah atau mungkin juga yang menyimpang. Cara untuk meneutralisasikan kesan yang berubah/menyimpang itu ialah dengan melihat jenis penyimpangan yang tertentu yang melaluinya kesedaran individu dapat mengenal dan menanggap realiti kehidupan hari ini.  Satu daripada kesan-kesan yang terasa ialah keadaan kesedaran yang berubah, iaitu keadaan mental yang dibentuk oleh golongan muda-mudi supaya “kesedaran biasa” terlepas pada beberapa jarak. Sesetengah sajak memberikan kesedaran yang dipertingkatkan tentang hubungan kendiri ini terhadap ruang persekitaran (orientasi puisi). Kesedaran yang dipertingkatkan ini menyahut kesedaran yang berubah tanpa mengurangi pengaruh kesedaran biasa (budaya) yang terbentuk pada zaman lampau sebagai kandungan tradisi yang selalunya diberikan pencerahan tambahan, bukannya kemalapan untuk membentuk kesedaran baru yang terlepas daripada kesedaran biasa yang sedia terkongsi itu.  Kesedaran ini terkesan dalam sajak Dari Sekepal Tanah, Membaca Riwayat 2, Dari Rekahan Bulan dan Muhasabah.

iii

Berdasarkan pemerhatian yang lebih halus, terkesan beberapa buah sajak yang ditempiasi oleh nilai mistik, walaupun sajak-sajak itu tidak tergolong kepada sajak mistik. Penyair romantis seperti Rosmiaty biasanya menggunakan imaginasi dan susunan di luar kefahaman biasa manusia yang tidak mempunyai laluan kepada pengertian manusia tetapi dapat diterangkan oleh alam untuk mencapai pengertian yang benar daripada kegunaan akal manusia yang suci dan bercahaya. Imaginasi kreatif sangat rapat hubungannya dengan wawasan yang tidak dapat dilihat susunannya di balik benda-benda yang dapat dilihat. Penyair romantis seperti Rosmiaty mengundang realiti yang tidak terbatas itu untuk mencari kesatuan “keabadian”, atau integriti dengan alam semula jadi di sekelilingnya.

Orientasi yang bermaksud “kebolehan untuk menempatkan seseorang dalam persekitarannya dengan rujukan kepada masa dan tempat” digunakan oleh penyair untuk menampakkan kesedaran yang “dipertingkatkan” kesesuaiannya melalui ekspresi dalam konteks yang berbeza. Dalam banyak keadaan, metafora struktur [penenggelaman dalam abstraksi]  digunakan dalam puisi dengan bayangan mistik untuk membangkitkan perasaan yang kuat terhadap keakraban dengan “Infiniti” dan “Keabadian”. Pembezaan antara memberi tahu dan menunjukkan dapat mengubah keadaan kesedaran yang merupakan “pengalaman puncak” melalui susunan kata yang terpilih dan relevan.  Pada titik ini,  Rosmiaty sempat mencetuskan perbezaan yang jelas antara persepsi kualiti dalam teks puisi, dan sesetengah interpretasinya dalam tradisi psikoanalitik. Contoh yang berikut daripada sajak Sekuntum Bunga Redha membayangkan sentuhan kesedaran mistik yang dimaksudkan tadi itu:

kupujuk nurani biar diam
kularutkan mimpi setelah salam
ya Tuhan
perahu tiada lagi 
pendayung patah sendiri
albatros singgah hanya untuk pergi

ooo...
kata kalam
akar tumbuh akar melilit
titian terbelit 
nurani merintih sakit...

kata mahmudah
nah…
sekuntum bunga
sematkan redha Ilahi
di dadamu

Kata-kata yang membentuk diksi yang bercetak miring itu memerlukan ilmu tauhid tambahan untuk ditafsir dan digali kemungkinan mujaradnya pada aras mistik, iaitu nilai ketauhidan yang memberikan “sirah” kepada kehidupan insan.

Imajan “samudera” ialah istilah yang sering dianggap imaginasi yang menyimpulkan konsep kelahiran, cinta dan kematian. Imajan samudera sering terdapat dalam puisi mistik atau puisi ketuhanan. Cara imajan samudera diperkenalkan dalam puisi Rosmiaty ialah melalui beberapa corak visual stabil yang dibezakan, dengan kesamaan visual kepada peristiwa tertentu dirumuskan dengan menyahkan proses pembezaan yang “menggantung banyak jenis sempadan dan perbezaan; dan  pada batas yang ekstrim ia boleh memindahkan sempadan kewujudan makhluk, lalu mengeluarkan rasa samudera mistik”. Terdapat satu sahaja contoh kewujudan yang mengeluarkan rasa samudera mistik yang nipis, iaitu konsep yang terfaham daripada ujaran yang berikut dalam sajak Merawat Nurani:

zikir bertitir
memercik dari bibir
cahaya berpendar
di sela-sela suara berbisik - ghaib
bahu kiri - panas terasa
api merasuk
pedih menusuk
qalbu menjadi abu – terbang dari mataku
 
namun
jari-jemarimu
pancaran kilat
menyambar aurat!

Secara intuisi, petikan tersebut bersandar pada kutub meditatif, atau beberapa keadaan kesedaran yang telah berubah.  Kutub meditatif sering terlakar dalam puisi yang menyolok mata (yang nyata kelihatan) dengan menunjukkan perkaitan dengan keadaan kesedaran yang berubah.

Puisi meditasi berupa sejenis genre yang mempunyai kelainan gaya, mentaati rumus intuisi, dengan kesedaran tinggi terhadap kuasa Tuhan. Imaginasi senantiasa mengenang atau mengingati benda-benda yang tidak dapat dilihat dengan mata, tetapi boleh dirasa begitu kuat di hati dan mata minda. Antara abstraksi yang tertanggap dalam bentuk kefahaman termasuklah kesedaran terhadap kewujudan diri, keagungan cahaya dan abstraksi pengalaman yang luar biasa tetapi menangkap jiwa dan kesedaran halus sebagai kualiti semangat yang dalam.  Setelah dicari-cari, sajak Tanpa Sempadan yang berikut menggambarkan kesedaran tersebut setidak-tidaknya:

cinta itu buah qalbu
kadang ia tetap
kadang ia terapung
serupa gelembung

duduk di dalamnya
melihat dari sebalik dinding tipis
cinta munajat merata-rata
di langit - memendar
di pohon - menjalar
di angin - menderu
di air - mengalir
di tanah tanih - membau
di atas kata kun fayakunMu
cinta bergetar bergelar lingkaran
sinar pun tembus melepasi sempadan..

Dalam sajak tersebut terdapat imaginasi tentang cahaya ketauhidan yang membuatkan pembaca terasa begitu tersentuh di jiwa dan mata minda.

            iv

Melalui bahasa yang puitis, Rosmiaty berhasil mengolah alam fikiran yang berkesan dan mengeluarkan saujana lautan kesedaran yang meningkatkan kualiti hidup yang berasaskan doa yang membentuk sikap alam remaja. Aspek kesedaran yang terungkap dalam sebahagian sajak Dari Jantung Sirah yang berikut ini membawa unsur pengajaran bahawa untuk memenangi kehidupan, doa dan peralatan adalah aspek yang perlu ada bagi menangani masalah kehidupan yang tidak terlepas daripada hubungan manusia dengan Tuhan yang mengantarainya dengan “rahmat”:

pabila kutumbangkan pohon-pohon liar
yang tumbuh di belantara terbiar
tanganku hanyalah sebilah pisau
yang mencantas --
dari doa kilauan mata belati
yang kaurahmati

Hubungan manusia yang akrab dengan Tuhan diperlihatkan oleh penyair sebagai asas untuk mengenangi dan mengingati asal usul manusia yang sealiran dengan hukum alam, iaitu sebagaimana yang terungkap dalam puisi Catatan Sehelai Daun 1 yang berikut ini:

Dan seperti sepohon syajar
entah esok atau lusa
daunmu akan gugur
hijau atau kuning
tetap akan gugur
-maka
kembalilah kamu
ke asalmu
sekepal tanah...

Hukum alam mematuhi perintah Ilahi supaya perubahan dan pergerakan yang berlaku di muka bumi tidak tergelincir, malahan sangat akur dengan hakikat kejadian yang dilunaskan oleh peraturan Tuhan, iaitu suatu peraturan yang mengikut adab kejadian.  Demikian pulalah keadaan manusia yang hidup di muka bumi ini harus jugalah mengikut adab kejadian, iaitu sebagaimana yang terungkap maksud adab tersebut dalam ujaran yang berikut dalam puisi Catatan Sehelai Dauns 2:

pada rahmat-Mu
kalaulah dingin bayu
di geseran buluh yang selalu sayu
dalam seruling doa yang selalu menderu
hembuslah daunku
biar hijau selalu
di taman qalbu ...

Konsep adab diperluas dari peraturan alam kepada peraturan hidup manusia yang diredhai Tuhan di muka bumi ini.  Dalam ujaran yang berikut ini daripada puisi Doa Daun Syajar pengertian adab ditingkatkan pada lapisan estetika yang tinggi, iaitu kelembutan sikap diperkenalkan oleh penyair sebagai sifat yang perlu manusia tunjukkan apabila memohon sebarang permintaan (doa) daripada Tuhan:

wahai Rabb ...
jika kami ditakdirkan hidup bertongkatkan paruh
tongkatkan kami ilmu makrifat
satukan kami azan muafakat
sendikan kami tiang syafaat
kukuhkan kami pasakan iman
lindungi kami dari palingan

wahai Rabb ...
andai kami Kauperintahkan pulang
pulangkan kami di jalan nan tenang
sayapkan kami dengan nur iman
selimuti kami lembut syafaat
kasihi kami dengan rahmat


Seni karya yang indah ialah seni yang melakukan pemurnian pada sikap yang dibentuk dalam kandungan puisi. Idea yang diangkat pada ujaran yang pertama di atas didapati memugar penerimaan manusia yang redha pada ketentuan Ilahi tetapi seandainya kehidupan yang ditakdirkan bertongkatkan paruh, iaitu bahagian burung yang mematuk, sebaiknya biarlah patukan itu dilimpahi oleh ilmu makrifat, azan muafakat, tiang syafaat dan pasakan iman, bukan yang sebaliknya, iaitu palingan yang merugikan, atau yang menghancurkan. Limpahan Ilahi yang dipohon itu dianggap oleh penyair sebagai pakaian cahaya hidup yang terang benderang. Rosmiaty memandang sikap mulia yang bersifat tawaduk ini diangkat untuk dijadikan tunjang rujukan atau rukun tingkah laku sosial dan budaya yang kaya dengan nilai murni Islam, dengan penyempurnaan bahawa, jika kematian itu ditakdirkan, “taksirkanlah kami yang diperintah oleh Tuhan itu berakhir dengan sayap diterangi nur iman dan anugerah syafaat yang bersalutkan rahmat”. Permintaan seperti ini sama dengan yang disebutkan oleh Mohd Affandi Hassan sebagai wadah pengucapan kerohanian dan media ilmu, atau suatu manifestasi budaya bangsa Melayu yang berlandaskan ajaran Islam, bukannya khayalan yang membentuk estetik palsu dalam kandungan puisi Rosmiyati dalam kumpulan Daun Nan Bercinta ini.

v
               
Saya berasa bangga dengan puisi-puisi Rosmiaty yang berusaha untuk memperaga nilai-nilai kehidupan yang mendukung nilai-nilai ajaran Islam. Beliau berusaha untuk mengamalkan “pendekatan estetik intelektual” yang dikemukakan oleh Mohd. Affandi Hassan yang mahukan supaya karya sastera kita, seperti puisi, berupaya menilai kemajuan seni secara horizontal dan yang memenuhi fungsi intelek dan estetik manusia baru secara vertikal. Fungsi intelek dan estetik Melayu ini tergambar dengan cukup memikat dalam puisi berjudul Diam:

duduk memikirkan
apa sebenarnya
erti cinta dan kasih sayang
yang kian dipisahkan oleh jarak
engkau di sana dan aku di sini
meski kita tidak saling membenci
tak terbersit percik bara
apatah lagi nyala dendam
kerana kita belajar
ilmu dari hukum alam
bahawa keperitan itu mendewasakan
dan kita menjadi lebih perkasa
menguasai dan dikuasai
harfiah insani
supaya kita lebih memahami
yang pahit itu mengubati
yang sakit itu menumbuhkan sahsiah diri

Isi, nilai adab dan moral ketuhanan, serta akhlak Islami diperlihatkan oleh Rosmiaty sebagai suatu keistimewaan dari segi kepadatan dan keindahan bahasa (mengambil makna-makna yang dikemukakan oleh Mohd. Affandi Hassan dalam Zariat, 2011) yang dipersembahkan dalam struktur ujaran yang berikut daripada puisi Demikian:

demikianlah
serupa kelajuan halilintar 
Kau sambut mawar susila
perindu salik
lalu Kaulontarkan keaiban
menjadi kawah kemurkaan
yang melimpahkan kesengsaraan
gunung pun bergegar

di setiap selokan
carikan demi carikan
tanah tubuh
memuntahkan lahar
ruh menggelepar
tubuh terbakar…


Dalam sajak di atas, akhlak Islami mendefinisi kuasa adab dan susila keajaiban yang boleh memusnahkan keaiban dan kesengsaraan hidup manusia jika tidak dipraktikkan dalam bentuk amalan kehidupan. Ujaran stanza yang pertama membayangkan bahawa kehidupan masyarakat akan menjadi porak-peranda dan huru-hara (melalui tafsiran ujaran gunung pun bergegar) serta sangat menghina dan mengaibkan, malahan menghancurkan, jika adab dan akhlak tercarik, iaitu sebagaimana yang termaksud dalam ungkapan stanza kedua tanah tubuh / memuntahkan lahar / ruh menggelepar / tubuh terbakar.  Konsep kemusnahan dibawakan oleh ujaran ‘tubuh terbakar’, manakala kesan semangat dan kebaikan yang rosak dibawakan oleh ujaran ‘ruh menggelepar’. Pengucapan nilai berhasil dilafazkan oleh penyair melalui bahasa dengan lapisan makna yang banyak melalui interpretasi imajan. Penggunaan kata kerja yang sesuai memikat persepsi pembaca langsung ke jiwa mereka. Tongkahan makna-makna ini membuktikan keupayaan penyair menyampaikan pengetahuan yang bererti melalui kuasa minda yang dalam, kerana penggunaan kata yang bersifat pelambangan serasi dengan struktur ucapan yang menunjukkan perkaitan dengan makna-makna lain di luar teks. Makna-makna lain itu lazimnya berbentuk alegori, seperti penggunaan kata ‘sunyi’ dalam frasa di belakang sunyi di bawah ini dalam sajak Ihya’ Ramadhan 4:

merpati bernyanyi
syair abadi
terhenti di belakang sunyi
terkesima di bawah sayapnya sendiri


Rosmiyati tidak gemar menggunakan imaginasi dalam mengutarakan konsep kebaikan (wisdom) tetapi menggunakan pandangan yang tertakluk kepada kewajipannya mentaati perintah Allah Ta’ala dan melunaskan perintah itu dalam semua lapangan yang berteraskan akhlak atau kesucian hati dan niat dalam usahanya mendorong kebaikan yang terserap dalam perilaku dan sikap murni yang ditujukannya bagi dijadikan panduan untuk kehidupan anak bangsa yang bahagia di sisi kebenaran Ilahi. Dalam sajaknya berjudul Furqan, melalui ujaran yang berikut nanti, Rosmiaty memandang berat terhadap pengaruh nafsu yang bersifat merosakkan tidak sahaja diri sendiri tetapi juga jiwa sekaligus. Sajak ini mengingatkan tanggungjawab insan untuk melawan nafsu yang sering menyerang mereka sebagai usaha untuk menegakkan kekuatan iman dan peribadi yang seimbang antara jiwa (ruh) dan tubuh badan (jasmani). Inilah antara aspek ilmu pengetahuan yang harus difahami oleh anak-anak generasi dalam gaya mereka untuk menikmati kehidupan yang sihat dan bahagia:

kata furqan, tahan nafasmu
biar kukelar ruhmu
di atas bulan baldu
darahnya kutitiskan
menjadi samudera rindu
daripada nafsu yang celaru 
lebih kejam menyula jasadmu
di atas belantara hayatmu
membelah tujuh lautan imanmu


Konsep ilmu dalam karya sastera bukanlah imaginasi khayalan, tetapi daya imaginasi bersifat intelektual. Rosmiaty berhasil mengaitkan “ilmu” yang membuatkan manusia memahami hakikat penciptanya.  Hampir semua sajak Rosmiyati mengaitkan hakikat ini dengan manusia dalam hubungan makhluk-Tuhan yang saling memenuhi: Tuhan mengurniakan rahmat, manakala insan menjalankan perintah Tuhan, dan memohon apa sahaja daripada-Nya kerana Dia sentiasa berkuasa terhadap manusia, dan menguasai mereka untuk memberikan kesan. Atas alasan itulah, maka manusia sentiasa meraih harapan daripada-Nya.  Raihan ini terungkap antaranya dalam sajak Doa Kekasih yang berikut ini:

seratus menghormati
hanya seorang menyanggahi
seratus membenamkan ke akar bumi
hanya seorang tak mampu mengapungkannya ke langit lazuardi
berikan mawar hidayah dan inayahMu, ya Rabb
biar jalur mengimbangi neraca
biar hablur mewarnai kata-kata
(rahim adalah kesabaran yang mengisi tujuh penghormatan tertinggi
jantung adalah nyawa yang menghidupkan tujuh ruh nan suci
yang bakal mengiringi ke jannah firdausi
dikelilingi ramai bidadari)

Ujaran berikan mawar hidayah dan inayahMu, ya Rabb membuktikan hakikat manusia sebagai “peminta”, manakala Allah sebagai “pemberi”.  Rosmiaty mempunyai keupayaan menggunakan diksi yang indah susunan bahasanya (aspek struktur), mahupun pengertian tanggapan melalui bahasa yang berseni (penggunaan alegori yang mudah difahami).

Kemurnian sajak-sajak Rosmiaty didorong antaranya oleh niatnya melafazkan teladan pada kandungan. Unsur teladan menjadi salah satu daripada sifat-sifat seni karya tradisi Melayu. Tanpa teladan, sama ada berfungsi sebagai unsur pengajaran atau unsur panduan terhadap sikap hidup yang membina tamadun Melayu, karya kesusasteraan seperti puisi tidak wujud dalam masyarakat Melayu yang berkembang ke arah pembinaan wawasan budaya yang berlandaskan nilai-nilai Islam. Melalui karya kesusasteraan, masyarakat Melayu diajak untuk bersama-sama memperkasa kebijaksanaan berdasarkan hati budi dan jati diri yang mendefinisi bangsa Melayu. Unsur teladan dan panduan sikap terungkap dengan jelas dalam sajak berjudul Diam melalui ujaran yang berikut:

(diam kembali bersarang ke dalam diri)

duduk memikirkan
apa sebenarnya
erti cinta dan kasih sayang
yang kian dipisahkan oleh jarak
engkau di sana dan aku di sini
meski kita tidak saling membenci
tak terbersit percik bara
apatah lagi nyala dendam
kerana kita belajar
ilmu dari hukum alam
bahawa keperitan itu mendewasakan
dan kita menjadi lebih perkasa
menguasai dan dikuasai
harfiah insani
supaya kita lebih memahami
yang pahit itu mengubati
yang sakit itu menumbuhkan sahsiah diri

Manifestasi unsur teladan atau pengajaran pada kandungan sajak di atas dibawakan oleh maksud-maksud ungkapan yang bercetak miring itu.  Sajak ini membawa maklum bahawa anak bangsa harus sentiasa menyedari bahawa kebahagiaan tidak datang dengan senyuman, tetapi semestinyalah terlebih dahulu mengalami kesusahan, kesakitan, penderitaan dan sebagainya. Penyair menyogokkan suatu amaran yang berguna bahawa dugaan harus diterima sebagai ujian, sebagai proses mendewasakan kita, serta sebagai ubat yang membentuk sahsiah diri.  Jalan hidup tidak semudah yang dijangkakan, malahan tidak juga susah untuk dicapai, iaitu dengan syarat kita sanggup bersusahan, bersakitan dan berpahitan yang mesti dilalui bagaikan duri dan api dalam proses mencapai kesenangan dan kejayaan yang bererti pada masa akan datang.

Dalam konteks “ilmu” juga, beberapa banyak sajak Rosmiaty membekalkan konsep realiti hakiki (meminjam kata-kata Mohd. Affandi Hassan) yang dianggap mutlak.  Dalam sajak Yang Tertinggal, misalnya, kebenaran hakiki tentang Allah Ta’ala itu dinyatakan dalam kuasanya menguasai segala dunia yang membuka dan menutup hijab seseorang insan. Bagi mereka yang yakin akan kekuasaan dan keagungan Allah tidak ragu-ragu akan meminta daripa-Nya, permintaan yang bukan untuk kekayaan duniawi tetapi kekayaan ukhrawi yang menempatkan kedudukan ruh seseorang di syurgawi Allah Ta’ala.  Dalam sajak di atas, maksud realiti hakiki ini terungkap dalam ujaran yang berikut:

gerabak waktu telah pergi
meninggalkan jalur dini
mata yang terpejam
kehilangan sunyi
setelah nadi bersembunyi
setelah ruh musafir lagi
mencari rayyan firdausi
o ... kekasih -
berikan aku kunci pembuka pintu malam-malamku

Maksud sebaris ujaran yang bercetak miring itu memberitahu pembaca bahawa Allah adalah penentu segala takdir kejadian; Dialah pemegang kunci malam dan kunci siang. Dalam sajak ini kata “malam” digunakan untuk maksud “sikap tawaduk” penyair yang mengakui dirinya sebagai “hamba yang masih gelap, dan memerlukan cahaya terang Ilahi dalam usahanya mencapai dan menikmati rayyan firdausi.

Sebagai pencipta kejadian, kekuasaan Allah dibuktikan oleh penyair sebagai pencipta segala kejadian dan kewujudan, termasuklah manusia sebagai entiti yang dimuliakan. Kejadian manusia daripada tanah (bumi) dan setitik seni terungkap dalam ujaran berikut daripada sajak Dari Mimbar Terbuka:

wahai, tubuh...
di puncak tertinggi kaurendahkan batini
di mimbar yang terbuka ini
kau adalah dari setitik seni
yang tercipta dari ruh bumi

Kekuasaan Allah yang tiada bandingan, teragung dan terunggul, terungkap juga dalam beberapa buah sajak yang membawa tafsiran bahawa jika Allah memilih untuk takdir seseorang, insan tersebut tentu sekali diselimuti rahmat yang tidak terbayang keagungannya, malahan bagai sayap terkembang / perlahan naik ke langit. Keupayaan Rosmiaty mengucapkan keindahan kuasa Ilahi yang tersimbah ke insan yang terpilih, sesungguhnya kebahagiaanlah menjadi miliknya (di hadapan mihrab / kusimpul benang menjadi mati...).  Keindahan yang dimaksudkan ini dibawakan oleh ujaran yang berikut dalam sajak Pada Sujud Ini:

benang yang menyimpul ikatan
telah tertulis pada takdir
dalam makrifat yang tersembunyi
dalam degap degup nadi
yang tumbuh merecup mega
mengembang sayap terkembang
perlahan naik ke langit
dalam satu perjalanan paling luhur
dalam satu perjanjian paling kudus  

di hadapan mihrab
kusimpul benang menjadi mati...

Kata “makrifat” membayangkan konsep ilmu Tuhan, atau ilmu kerohanian yang memberikan inti kepada mesej sajak di atas dalam tangkapan jiwa yang halus dan taksub.

            vi

Sebagai kesimpulan, sajak-sajak Rosmiaty sangat menawan jiwa, tempat tumpahan akal yang sihat dan bercahaya. Walaupun fikiran dialirkan ke samudera cinta Ilahi, kuasa Tuhan yang mencipta dan mencorak insan, cahaya Ilahi yang menguras kebenaran jati oleh hakikatnya yang menjamin kehidupan yang tenang dan bahagia, harapan insan untuk memiliki sifat-sifat diri yang diredhai, kualiti peribadi yang mulia sebagaimana yang dituntut oleh nilai dan ajaran agama Islam membuatkan sajak-sajak Rosmiaty mempunyai kekuatan yang indah. Pengisahan tentang nilai hidup insan mengikut petunjuk yang diredhai Tuhan, serta sifat-sifat muhasabah diri dan ketaatan insan dari segi tanggungjawab memikul perintah dan ketetapan Ilahi, nikmat hidup yang tidak ada bayangan untuk perbandingan, serta kesedaran yang dibina untuk sentiasa menghormati kebesaran Ilahi yang sentiasa mengawal kehidupan insan yang mulia membuatkan sajak-sajaknya memusatkan mesej pada landasan ukhrawi bagi insan yang memilih jalan yang benar pada garis-garis horizontal dan bercahaya pada garis-garis vertikal. Rosmiaty memilih untuk tidak meletakkan sebarang makna pengujaan dan ujian Ilahi sebagai kaedah yang mendorong insan untuk memilih jalan lurus atau jalan yang menyimpang daripada ajaran Islam, dalam proses manusia mencari cahaya atau kegelapan dalam usaha menentukan arah dan hala tuju kehidupan sebagai alasan yang diterjemahkan oleh kuasa fikir yang dianuerahi Tuhan melalui akal yang bijak, jernih dan bermanfaat. Oleh sebab itu, kebanyakan sajak Rosmiaty tidak menguja pembaca untuk diberikan alasan bagi memilih corak dan warna hidup dalam pembentukan tamadun ilmu, misalnya. Malahan tidak juga kelihatan sebarang tegangan yang mendorong pembaca untuk berfikir bagi mencapai hakikat hidup yang bersandarkan perintah dan ajaran Islam itu sendiri.  Rosmiaty juga tidak memilih konsep dualiti yang mampu merombak keraguan dan keyakinan yang tidak berasaskan kepada iman dan keputusan untuk menentukan keyakinan akliah bagi mencari rumus yang mengandungi alasan dan logika yang munasabah serta masuk akal.  Akan tetapi pada pilihan yang lain, Rosmiaty berupaya menggunakan seni bahasa untuk mengungkapkan secara halus makna-makna yang berkaitan dengan keagungan kuasa Ilahi sebagai Pencipta alam, dan sebagai pengawal hukum alam serta fitrah yang dianugerahi-Nya kepada manusia. Nilai-nilai ini dipadukan dengan konsep ilmu yang terkandung dalam mesej sajak-sajaknya. Antaranya termasuklah hubungan manusia dengan Tuhan: manusia sebagai penerima kesan daripada ketetapan Allah dan keredhaan Ilahi yang tertanggung ke atas insan yang dimuliai Allah. Dengan akal yang dianugerahi Tuhan kepada manusia, Rosmiaty berdaya mengungkapkan secara halus perihal Tuhan sebagai sumber rujukan manusia, iaitu insan sebagai peminta keampunan dan belas kasihan daripada Allah, manakala Allah pula sebagai pemberi nikmat dan rahmat kepada insan yang mulia, yang suci jiwa dan yang kandungan akliahnya waras dalam mengolah kehidupan yang baik, ikhlas dan berterima kasih (bersyukur).  Semua ini menggambarkan dengan jelas konsep hubungan manusia dengan Tuhan yang, melalui ruang diri, menjadi objek rohaniah yang akur dengan Perintah Ilahi: bermuhasabah diri, taat kepada ketetapan, berharap kepada yang memiliki Kuasa Agung, bersikap tawaduk dan lemah lembut kepada Pencipta Yang Maha Esa.  



Fakulti Bahasa Moden Dan Komunikasi
UPM.