Wednesday 3 August 2016

RELIGIUSITAS ROSMIATY SHAARI DAN D. KEMALAWATI*

RELIGIUSITAS ROSMIATY SHAARI DAN D. KEMALAWATI*
Maman S Mahayana*

Jiwa adalah cermin bening; tubuh adalah debu di atasnya…,” begitulah pesan Jalaluddin Rumi ketika kita berhasrat hendak memperoleh pencerahan dari Sang Maha Pencerah. Bersihkanlah debu atas tubuh, maka cermin bening itu akan memancarkan cahaya-Nya. Sebuah pesan spiritual simbolik. Rumi secara metaforis sekadar menorehkan risalah sufistiknya, semata-mata agar kita, makhluk manusia dapat memperoleh kesadaran untuk selalu dapat mengendalikan hawa nafsu yang berkaitan dengan kepuasan dan kenikmatan segala sesuatu yang fisikal, yang badani, atau yang bersifat duniawi. Hanya dengan pengendalian hawa nafsu itulah manusia akan dapat menangkap pantulan cermin bening itu: cahaya Ilahi.
Banyak risalah sufistik Jalaluddin Rumi atau para penyair sufi yang lain yang sebenarnya dapat menjadi bahan perenungan kita. Maka, tidak perlu heran, ketika kita berjumpa dengan pesan-pesan sejenis, kita seperti tidak dapat menghindar untuk tidak menghubungkannya dengan buah pikiran Rumi. Meskipun begitu, boleh jadi Rumi sendiri sebenarnya tidak meniatkan ekspresi kesadaran apokaliptiknya sebagai puisi. Ia sekadar mewartakan gejolak jiwanya yang paling dalam sebagai bentuk pengagungannya pada Tuhan. Atau, itulah ekspresi kerinduan dan cintanya pada Sang Khalik.
Dalam banyak kasus, ketika seseorang berhadapan dengan sesuatu benda atau peristiwa atau apa pun yang membuatnya takjub, bergetar, terpesona, atau bahkan sangat menakutkan, tanpa disadarinya, akan muncul begitu saja, ekspresi puja-puji, atau permohonan agar mendapat perlindungan dan pertolongan, doa keselamatan atau jampi-jampi penolak bala. Ekspresi itulah yang dalam bahasa teologis disebut mysterium tremendum et fascinans, yaitu adanya misteri atau rahasia yang menakjubkan—menakutkan—mempesona—dan seketika menariknya sekaligus pada kesadaran transendensi. Tuhan atau Sang Penguasa jagat raya lalu menjadi objek yang diharapkan bersedia turun tangan mengatasi semuanya, melakukan pertolongan atau menjauhkan segala mara bencana.

-----------
* Makalah “Temu Penyair Delapan Negara” diselenggarakan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh, Kuta Alam, Banda Aceh, di Banda Aceh, 15—17 Juli 2016.


* Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.


            Dalam suasana seperti itu, bahasa terbaik manusia, yang indah dan mempesona, yang mengandung bujuk-rayu atau yang menyimpan daya magis, akan menjadi pilihan. Puisi dianggap paling mewakili ekspresi itu. Maka, bahasa puisi kerap memanfaatkan kekuatan diksi (gaya bahasa), menciptakan kesamaan bunyi atau rima, memainkan perulangan (repetisi), dan belakangan membangun metafora atau personifikasi dan majas lain untuk menghidupkan asosiasi pembaca atau pendengar. Dari sanalah puisi, seperti yang diyakini oleh kaum romantik, dianggap menyampaikan suara kebenaran yang lahir dari kedalaman hati, dari qalbu, dari sifat-sifat Tuhan. Hati sebagai sumber yang menggerakkan suara kebenaran dan kejujuran. Konon, manusia hidup lantaran roh bertahta dalam hati. Roh itu pula yang menggerakkan hati. Adapun nurani (Arab: nuroniy) bermakna bersifat kecahayaan. Jadi, hati nurani sesungguhnya metafora untuk menunjukkan, bahwa di sana ada cahaya, dan cahaya itu representasi Tuhan.
Oleh karena itu, pernyataan kaum romantik, bahwa Tuhan bertahta jauh dalam batin-jiwaku yang megah,” tidak lain, merupakan bentuk hiperbolisme untuk menegaskan bahwa suara hati nurani adalah suara Tuhan, dan puisi sebagai ekspresi kata hati adalah suara kejujuran yang menyampaikan kebenaran, maka di dalamnya memancar suara Tuhan. Itulah keyakinan kaum romantik yang menempatkan kata atau suara hati sebagai representasi Tuhan. Maka pernyataan kaum romantik: “Aku laksana Tuhan dalam pikiranku yang terdalam,” atau “Tuhan bertahta jauh dalam batin-jiwaku yang megah” dimaksudkan sebagai aku sang pencipta kebenaran menurut pikiranku, sebab suaraku adalah kejujuran sebagai representasi suara Tuhan.
***
Begitulah, membaca puisi-puisi Rosmiaty Shaari, Melaka, sebagaimana yang terhimpun dalam antologi Daun nan Bercinta (Kuala Lumpur: Institut Terjemahan dan Buku Malaysia (ITBM) dan Pena, 2016, xli + 90 halaman) dan puisi-puisi D Kemalawati, Bayang Ibu (Banda Aceh: Lapena, 2016, xix + 78 halaman), dalam sejumlah besar puisinya seperti memancarkan suara qalbu, suara kebenaran! Jika demikian, apakah kedua penyair itu meluahkan suara qalbu, suara kebenarannya sebagaimana yang dilakukan Jalaluddin Rumi atau para penyair sufi? Jika tidak, bagaimana pula kedua penyair dari dua tradisi yang berbeda—Melayu—Melaka dan Aceh—memperlihatkan adanya kesamaan ketika keduanya berbicara tentang sesuatu yang berkaitan dengan Tuhan? Bagaimana pula kedua penyair itu, dengan caranya masing-masing, mengungkapkan ketakjuban dan keterpesonaannya ketika sebuah peristiwa diyakini sebagai bagian dari perkara imanensi. Oleh karena itu, di dalamnya ada persoalan transendensi. Jika begitu, di mana letak persamaan dan perbedaannya?
 Membaca puisi-puisi Rosmiaty Shaari dan D Kemalawati, dan coba membandingkannya, saya seperti dihadapkan pada dua dunia yang berbeda, meski di sana-sini, dapat pula dijumpai adanya sejumlah kesamaan. Adanya kesamaan itulah yang membawa kita pada satu kesimpulan, bahwa perkara religiusitas dapat mempertemukan kedua penyair itu pada satu sikap, yaitu cara ‘memandang’ Tuhan. Atau, menempatkan Tuhan sebagai objek yang entah berada di mana, tetapi keduanya merasa perlu untuk selalu menyapa dan mengingat-Nya, di mana pun dan dalam situasi apa pun. Atau lagi, keduanya merasa perlu terus memelihara kesadarannya sebagai wujud rasa syukur atas nikmat yang diterimanya. Lalu, puisi menjadi pilihan.
Dalam kajian sastra bandingan (comparative literature) memang dimungkinkan membandingkan satu karya sastra dengan karya sastra lain, atau juga dengan karya seni lain. Dan selalu, di sana, dalam kajian sastra bandingan itu, kita akan berjumpa dengan persamaan ketika karya sastra itu mengungkapkan problem karakteristik manusia: cinta, rindu, dendam, dosa, dan seterusnya yang semuanya berlaku secara universal. Pada sisi yang lain, kita juga akan berjumpa dengan perbedaan ketika persoalan kemanusiaan itu menyentuh warna lokal yang menyangkut tradisi masyarakat dan budaya setempat. Selalu ada sesuatu yang khas, yang unik dalam setiap kebudayaan masyarakat, yang tidak selalu terdapat pada kebudayaan masyarakat lain. Di situlah, kajian sastra bandingan diperlukan sebagai salah satu upaya memahami kebudayaan masyarakat lain. Dengan begitu, karya sastra sebenarnya dapat digunakan sebagai pintu masuk memahami kebudayaan sebuah bangsa.
Dalam usaha membandingkan sejumlah puisi kedua penyair Rosmiaty Shaari dan D Kemalawati itu, tentu saja tidak semua puisi yang terhimpun dalam antologi itu perlu dikaji seluruhnya. Cukuplah beberapa puisi yang representatif memperlihatkan adanya persamaan tematik. Meskipun demikian, gambaran umum tentang kedua antologi puisi itu, perlu kiranya terlebih dahulu dipaparkan serba sedikit.
***
Antologi puisi Daun nan Bercinta (Kuala Lumpur: Institut Terjemahan dan Buku Malaysia (ITBM) dan Pena, 2016, xli + 90 halaman) karya Rosmiaty Shaari, berisi 75 puisi yang secara tematik menunjukkan rasa syukurnya kepada Allah SWT. Kata Pengantar Arbak Othman (xi—xliii) yang luas dan panjang lebar itu, jelas hendak menegaskan posisi penyair dalam perkara hubungan aku—Tuhan, dan puisi-puisinya seperti merepresentasikan hubungan vertikal, makhluk manusia dan Sang Pencipta.
Dikatakan Arbak Othman, “Semua ini menggambarkan dengan jelas konsep hubungan manusia dengan Tuhan yang melalui ruang diri, menjadi objek rohaniah yang akur dengan Perintah Ilahi: bermuhasabah diri, taat kepada ketetapan, berharap kepada yang memiliki Kuasa Agung, bersikap tawaduk dan lemah lembut kepada Pencipta Yang Maha Esa.” (hlm. xliii). Meskipun kita (: pembaca) boleh tidak bersetuju atas pernyataan itu, setidak-tidaknya, Kata Pengantar tersebut dapat digunakan sebagai bahan awal untuk melengkapi pemahaman kita atas puisi-puisi Rosmiaty Shaari secara umum.
Dalam perkara tafsir atas puisi, pengalaman dan pemahaman kita sering kali membawa kita punya pandangan dan makna lain. Oleh karena itu, tidak terlalu bermasalah apabila penafsiran dan pemaknaan kita atas sebuah puisi tidak sejalan dengan pandangan pembaca lain. Bagaimanapun juga, sebuah teks puisi tidaklah terkungkung pada makna tekstual. Selalu ia dapat dikaitkan dengan konteks sosio-budaya yang melahirkannya atau yang menjadi harapan ideologis penyairnya. Lalu, berdasarkan kebebasan menafsir, kita diberi peluang untuk coba menukik lebih dalam untuk mengungkapkan kekayaan terpendam yang tersimpan pada teks puisi yang bersangkutan. Bukankah tafsir pembaca itu juga sangat ditentukan oleh pengalaman masing-masing pembaca dalam memahami dan memaknai sebuah teks?
Sementara itu, antologi puisi D Kemalawati, Bayang Ibu (Banda Aceh: Lapena, 2016, xix + 78 halaman) berisi 61 puisi dengan sebuah pengantar yang berupa cerpen berjudul “Bayang Ibu (Di Depan Bayang Masa Lalu).” Tentu penyair punya maksud lain atas pemuatan cerpen itu. Tidak serta-merta penyair menempatkan cerpen sebagai semacam pengantar antologi puisinya, tanpa tujuan. Niscaya ada pesan tertentu yang hendak disampaikannya.
Dan benar! Cerpen itu laksana pintu masuk yang menyimpan trauma sejarah. Kemalawati tak menyinggung keagungan masa lalu kesultanan Aceh yang reputasional. Tak juga menyentuh heroisme secara luas perlawanan masyarakat Aceh pada kolonialisme Belanda, meski di sana ada puisi “Tentang Teuku Umar” dan puisi yang membandingkan ketokohan “Kartini dan Cut Nya Dien.” Secara keseluruhan Kemalawati coba mewartakan tragedi yang menimpa masyarakat di sekeliling sebagai bagian dari pengalaman individualnya. Namun, belum usai dengan tragedi itu, yang dikatakannya: “Betapa celakanya kampung ini, keluh anak-anak muda yang mengeram bara” tiba-tiba alam memperingatkan dengan cara yang lain. Tsunami mahadahsyat menyisakan mayat-mayat dan duka lara tak terperi! 
Begitulah, dunia Aceh adalah kisah masa lalu yang agung dan reputasional, yang heroik dan penuh perlawanan, yang mengeram bara dan kecurigaan, dan yang masyarakatnya dengan segala kesabarannya, mengumpulkan kembali puing-puing kehidupan setelah diterjang tsunami!
Antologi puisi D Kemalawati, Bayang Ibu, sesungguhnya menyimpan peristiwa-peristiwa besar itu. Segalanya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Aceh, dan Kemalawati menyadari tanggung jawab kepenyairannya. Maka, puisi-puisinya menampilkan tema-tema yang beragam: dunia Aceh yang penuh gejolak. Meskipun demikian, dalam konteks membandingkan puisi-puisi Rosmiaty Shaari dengan puisi-puisi D Kemalawati, saya terpaksa lebih memusatkan perhatian pada teks puisi yang secara tematis memperlihatkan adanya sejumlah kesamaan. Maka, tak terhindarkan, saya memilih beberapa puisi Kemalawati yang senafas dengan puisi-puisi Rosmiaty Shaari: tema-tema religius.
Sedikitnya ada sekitar 10-an puisi Kemalawati yang tampaknya sengaja mengangkat tema religius. Dengan demikian, usaha membandingkan puisi-puisi Rosmiaty Shaary dan puisi-puisi D Kemalawati, secara metodologis, tak terkesan dipaksakan.
Mari kita mulai!
***
 Kecenderungan yang sangat menonjol dari sejumlah besar puisi-puisi Rosmiaty Shaari adalah hasratnya untuk ‘menyapa’ Tuhan, bersyukur atas nikmat yang dilimpahkan-Nya, dan coba selalu mengingat, bahwa alam jagat raya dengan segala isinya yang mewarnai kehidupan manusia, tidak lain adalah sarana untuk memuja-Nya. Atau, segala tanda-tanda alam itu, dihayatinya sebagai hasrat untuk membersihkan diri dari segala dosa. Dalam konteks itu, hubungan manusia dan Tuhan berada secara vertikal sebagai hamba dan Sang Penguasa jagat raya. Ada keberjarakan antara aku dan Tuhan, antara subjek—aku yang disadarinya berada dalam kuasa objek-Tuhan.
Kita tidak menemukan representasi hubungan aku—Tuhan dalam puisi-puisi Rosmiaty Shaari sebagai aku yang rindu jumpa Dia, Sang Khalik. Atau ‘aku’ yang tiada berdaya atas kuasa-Nya lalu berhasrat lebur dalam pesona-Nya. Dikatakan Rumi, “Ada saat kupunya seribu hasrat. Namun, dalam satu hasratku mengenal-Mu, luruh tanpa sisa semua selainnya.” Jadi, ketika datang hasrat akan pertemuan dengan Tuhan, seketika hasrat itu seperti ‘menelan’ semua hasrat yang lain.[1]
Bagi Rosmiaty, keberadaan aku duniawi memberi penyadaran sebagai aku individu, sebagai makhluk-Nya. Dengan demikian, keberjarakan aku-individu dan Tuhan, tidak berada dalam posisi aku rindu Sang Kekasih, sebagaimana dikatakan Amir Hamzah: “Satu kekasihku/Aku manusia/Rindu rasa/Rindu rupa// (“Padamu Jua”). Atau, aku-individu yang tak berdaya dalam pesona-Nya. Jadilah sang aku tidak berada dalam: mangsa aku dalam cakarmu. Juga tidak berada dalam posisi “Tuhan, kita begitu dekat/sebagai api dengan panas/aku panas dalam apimu// (Abdul Hadi WM).
Meskipun demikian, sebagai makhluk ciptaan-Nya, manusia tidak dapat melepaskan diri dari pancaran kasih Tuhan. Sebagai manusia yang menyadari segala kelemahan dan kedaifannya, ia berharap juga dapat merengkuh sifat-sifat-Nya atau yang dikatakan Kemalawati: menjadi kekasih-Mu. Perhatikan puisi Rosmiaty Shaari dan D Kemalawati berikut ini.

ROSMIATY SHAARI
CATATAN PENGHULU HARI
setiap kali menguak pintu hari
adalah kebajikan yang kita impi
namun setiap kali kita menutup pintu hari
jejak yang ditinggal
sering menangisi
setelah kaki yang melangkah pergi
sarat lumpur daki duniawi ...
ya ... Rabb
bersihkanlah hati kami
agar kami sentiasa dapat
membersih lumpur di kaki kami
aamiiin....
12 Julai 2012

D KEMALAWATI
TUNTUN AKU YA RABB
Entah sampai hitungan ke berapa
kaki ini masih melangkah
di atas taburan bunga
atau serpihan kaca
Duhai Rabb,
aku mencium wangi-Mu
dalam sunyi jalan menuju
harap cemasku
akankah kau rangkul tubuhku
bila bertemu
Duhai Rabb
izinkan aku menjadi kekasih-Mu
tuntun langkahku hingga berhenti
dalam pangkuan-Mu
Banda Aceh, 2 April 2014

--------------

[1] Haidar Bagir, Belajar Hidup dari Rumi, Jakarta: Mizania/noura, 2015, hlm. 85.


            Tampak dalam kedua puisi itu, kedua penyair merasa diri sebagai makhluk-Nya yang tak ingin salah langkah. Mereka (masih) berkutat dalam hubungan vertikal: aku sebagai hamba-Nya. Maka, Rosmiaty selalu berharap, setiap langkahnya adalah kebenaran sebagaimana yang menjadi ketentuan-Nya. Begitulah, kehidupan keseharian manusia, sebagaimana yang menjadi harapan aku lirik, seyogianya selalu diikuti dengan refleksi diri, introspeksi, yang dikatakan Kemalawati sebagai: … melangkah/di atas taburan bunga/atau serpihan kaca/ Lalu, siapakah yang dapat menentukan kebenaran itu, selain Tuhan?  Pertanyaan itulah yang membawa aku lirik dalam puisi Rosmiaty kerap disertai dengan kesadaran melakukan introspeksi: bersihkanlah hati kami/agar kami sentiasa dapat/ membersihkan lumpur di kaki kami//
            Tetapi, bagi Kemalawati, persoalannya tidak berhenti sampai di sana. Ada tujuan yang yang lebih subtansial, yaitu: izinkan aku menjadi kekasih-Mu/tuntun langkahku hingga berhenti/ dalam pangkuan-Mu// Sebenarnya, dalam banyak puisi yang menempatkan Tuhan sebagai Sang Kekasih, atau aku—engkau sebagai pecinta dan sang kekasih, keberjarakan itu lesap dalam hasrat untuk menyatu. Atau, seperti dikatakan Rumi, … menelan hasrat yang lain. Maka, peliharalah cinta pada Sang Kekasih itu. Sebab, seperti dikatakan Rumi lagi: “Pecinta dan kekasih, tidaklah baru bertemu di akhir perjalanan. Mereka selalu bersama sepanjang perjalanan.” (Haidar Bagir, 2015: 215)
            Begitulah, spirit kedua puisi itu adalah menempatkan Tuhan sebagai sumber segala kebersihan. Maka, yang perlu dilakukan adalah setiap saat membersihkan segala lumpur yang melekat. Bagaimana mungkin ‘lumpur’ dapat menjadi bagian dari sumber segala kebersihan? Dengan begitu, izinkan aku menjadi kekasih-Mu/ adalah hasrat aku lirik untuk menjadi pecinta. Nah, tampak di sini, baik Rosmiaty, maupun Kemalawati, sesungguhnya mempunyai perasaan yang sama dalam memandang Tuhan, yaitu menempatkan diri sebagai “dari mana dan akan ke mana tujuan hidup manusia.” Lebih tegas lagi: dari Tuhan kembali ke Tuhan.
            Dalam puisi “Jihad Badani” kembali kesadaran diri aku lirik datang ketika realitas kehidupan tidaklah berlangsung baik-baik saja. Manusia kerap dihadapkan pada pilihan-pilihan yang saling bertentangan: kebaikan atau keburukan, kebenaran atau kepalsuan, kekejaman atau kasih sayang, cinta atau benci, dan seterusnya. Atas berbagai pilihan itulah manusia berada dalam medan perang yang sesungguhnya. Menang atau kalah, bergantung atas pilihannya. Itulah yang disebut jihad, yaitu perang melawan musuh yang tak terlihat; perang menundukkan hawa nafsu dan keangkaramurkaan. Perang besar yang bersifat fisikal, justru dimulai dari perang melawan hawa nafsu ini. Maka memenangkan perang ini, berarti memenangkan segala perang yang bersifat fisikal itu.

JIHAD BADANI
Allahu Rabbi ...
titis bening di subuh hening
rebah ke pangkal rahim
menancap bulan sakral
kekasih 
di dadaku
ada darah memerintah
setiap anggota menggelepar
mabuk melihat merah
jihad perang
nafsu-nafsi.

24 Ramadan 1433

            “Jihad Badani” adalah kesadaran aku lirik bahwa kehidupan keseharian dalam menentukan berbagai pilihan tidak lain adalah ‘jihad’. Kekasih sebagai simbolisasi (sifat) Tuhan, lesap dalam jiwa yang menggerakkan segala langkah perbuatan adalah pilihan yang mesti dijalankan dalam perang melawan hawa nafsu. “Jihad Badani” adalah perang melawan musuh yang tak terlihat. Perang batin yang terjadi dalam diri sendiri, yaitu perang melawan hawa nafsu. Dalam dua larik terakhir puisi itu dikatakan: jihad perang/nafsu-nafsi// yang berarti bahwa perang melawan hawa nafsu adalah peristiwa jihad. Rumi mengingatkannya begini: “Hawa nafsumu adalah induk segala berhala …”[2] Maka, hawa nafsu bagi Rumi adalah neraka atau bagian dari neraka yang hakikatnya tidak lain adalah setan. Dengan demikian, perang melawan hawa nafsu, sesungguhnya adalah perang melawan setan.
            Peristiwa perang simbolik ini juga diangkat Kemalawati dalam puisinya “Batu-Batu Kerikil dari Muzdalifaf.” Dalam puisi itu, penyair tidak menarik peristiwa perang simbolik itu sebagai peristiwa batin, melainkan potret suasana aku lirik memasuki pusaran peristiwa yang membuatnya hanyut, lesap, luruh-lebur di antara kesadaran dan ketidaksadaran. Barangkali juga perisiwa itu bagian dari suasana trance, mabuk dalam kenikmatan perang melawan setan. Perhatikan penciptaan suasana peristiwa yang digambarkan Kemalawati.

BATU-BATU KERIKIL DARI MUZDALIFAH

Batu-batu kerikil di lautan pasir Muzdalifah
seperti bintang-bintang dalam balutan awan
tak terhitung jumlahnya
Kami, lelaki berselempang ihram
perempuan-perempuan menutup seluruh badan
dalam ihram dalam pantang
datang bergelombang
mengais-ngais pasir memilih kerikil
dengan zikir
dengan zikir
Lewat tengah malam
para pejalan yang tangguh
mengayuh badan di remang bayang
jutaan yang lain menunggu di tepi jalan
menunggu giliran angkutan
semua menuju Mina
merapat ke Jamarat
Wahai kabir, wustha dan shoghir
berkumpullah kalian di Ula, Wustha dan Aqabah
terus goda manusia, terus tipu hamba Allah
Kami datang bersama kerikil di tangan
menyusuri jalan berliku, terowongan-terowongan panjang
tangga tinggi menjulang, tebing curam
Untuk melemparmu
dengan jutaan kerikil
dengan seruan takbir
Batu-batu kerikil di sela hamparan pasir Muzdalifah
seperti dipilih Ibrahim, kami pilih melempar kabir di Ula
seperti dipilih Hajar, kami pilih melempar
Wustha di antara Ula dan Aqabah
seperti yang dipilih keduanya, para kekasih Allah
Kami pilih untuk melempar ketiganya
Kabir, wustha dan shoghir di Aqabah
Batu-batu kerikil berselimut pasir dari Muzdalifah
cahaya kaliankah yang kami saksikan
membusur dari kolam menembus awan
terang melebihi bintang-bintang
Wahai Yang Maha Penerang
Kami penuhi panggilan-Mu
Labbaik Allahuma labbaik
Labbaik Allahuma labbaik.

Muzdalifah-Banda Aceh, 2012-2013


-----------------
[1] Reynold A. Nicholson, Jalaluddin Rumi: Ajaran dan Pengalaman Sufi, terj. Sutardji Calzoum Bachri, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993, hlm. 36.

            Mengingat yang dilakukan Kemalawati adalah usaha mengangkat suasana peristiwa, maka citraan penglihatan dalam puisi itu terasa begitu kuat. Kita laksana dibawa ikut masuk pada pusaran orang-orang dalam jumlah yang tak terhitung banyaknya, kemudian ikut bergerak, bergelombang menuju satu tujuan sambil mengumandangkan gemuruh takbir dan puja-puji.
            Begitulah, Rosmiaty yang dalam kesenyapannya mewartakan perang batin, perang melawan hawa nafsu, sesungguhnya melambangkan perang melawan “induk segala berhala”. Adapun Kemalawati mengangkatnya tidak dalam kesenyapan, melainkan dengan penciptaan suasana yang penuh dengan kegemuruhan dan gelombang lautan manusia yang bergerak menuju satu titik yang sama: melawan setan!
***
            Sejumlah besar puisi Rosmiaty, seperti telah disebutkan, cenderung menariknya sebagai peristiwa individual dalam kehidupan keseharian yang kerap menumbuhkan kesadaran tentang keberadaan Tuhan. Atau, setidak-tidaknya, dari peristiwa-peristiwa yang tampaknya biasa-biasa saja, selalu ada isyarat lain yang menegaskan hubungan manusia dan Tuhan. Periksa saja puisinya yang berjudul “Catatan Sehelai Daun 1” atau “Percakapan Waktu Pagi” berikut ini

CATATAN SEHELAI DAUN 1
pabila ditumbuhkan sebatang pohon
sulur pertamanya mengakar ke bumi
tunasnya memucuk ke langit
kian membesar berdaun hijau
subur
sebelum gugurnya sehelai daun
yang hijau atau yang kuning
akhirnya tetap dikuras musim
tetap akan mengering
dan seperti sepohon syajar
entah esok atau lusa
daunmu akan gugur
hijau atau kuning
tetap akan gugur – maka
kembalilah kamu
ke asalmu
sekepal tanah ...

23 November 2011

            “Catatan Sehelai Daun 1” adalah kisah sederhana tentang biografi daun. Dalam puisi ini, Rosmiaty seperti enteng saja, tanpa beban, berkisah tentang perjalanan hidup daun. Tetapi kemudian kisah tentang daun itu tidak lain adalah isyarat bagi kita, manusia. Sebuah analogi tentang perjalanan hidup manusia: kembalilah kamu/ke asalmu/sekepal tanah// Dalam konteks yang lebih luas, Rosmiaty mengingatkan, bahwa berbagai peristiwa remeh-temeh yang berada di sekeliling kita, yang setiap hari kita jumpai, di sebaliknya ada tanda-tanda isyarat keberadaan Tuhan. Peristiwa seperti itu, secara simbolik dikatakan Rumi sebagai berikut: “Kau berjalan ke sana ke mari/menunggang kudamu/dan bertanya kepada setiap orang/“Mana kudaku?”//
            Permainan Rosmiaty adalah dunia persekitaran. Ia lalu menariknya menjadi bahan renungan. Dari sana, ia mengambalikannya lagi sebagai usaha memberi penyadaran bagi kita. Lihat saja puisinya yang lain yang berjudul “Percakapan Waktu Pagi,” “Di Retak Batu,” “Khabar  kepada Kawan,” “Lapar,” atau “Fakir” –sekadar menyebut beberapa—adalah kisah sederhana, peristiwa keseharian, dan tak penting. Tetapi di balik itu, ada kisah besar tentang hubungan manusia dan Tuhan, tentang kesadaran manusia dalam menyikapi hidup ini, dan segalanya terpulang pada sensitivitas qalbu, sebagai kata hati, suara kebenaran yang di sana terpancar pendar cahaya Ilahi. Periksa saja puisinya yang berjudul “Lapar” berikut ini.

LAPAR
lapar itu benang sutera 
yang berkepompong di dalam dada sekian lama
lalu, menjadi sekuntum ovarium 
yang menitiskan madu
ke dalam dendrobium
sepasang lebah pun berlegar
hinggap ke dalam laparmu 
menyedut manis madumu
ketika laparmu meronta
menikmati lazatnya cahaya.... 

            Lapar yang dikataknnya sebagai benang sutera yang berkepompong … dan seterusnya pada akhirnya sampai juga pada hakikat lezatnya cahaya. Sebuah analogi yang cantik, meski sederhana. Namun, tokh puisi itu tidak meninggalkan kedalaman maknanya, bahwa segalanya tidak terlepas dari cahaya Ilahi.
            Begitu juga puisinya yang berjudul “Fakir” berikut ini.        

FAKIR
berilah aku sedikit cinta
dari secarik roti yang kaumakan
dan seteguk rindu
dari secangkir madu yang kautelan
di telapak tangan
ada doa kusisipkan.


            Dalam sejumlah besar puisinya, Rosmiaty Shaari menawarkan spirit religiusnya mengalir begitu saja, tanpa beban, tanpa perlu berteriak menyampaikan ayat-ayat Quran atau khotbah. Apa saja benda-benda alam atau peristiwa keseharian biasa, dapat menjadi peringatan luar biasa ketika Rosmiaty menariknya sebagai perenungan batin yang lalu disadari, bahwa segalanya tidak terlepas dari cahaya Ilahi bagi umat manusia. Kesadaran itulah yang kemudian dipancarkan kembali menjadi tanda-tanda atau isyarat alam, bahwa di sana tersembunyi cahaya Ilahi.
            Puisi-puisi D Kemalawati, meski dengan pesan yang sama, yaitu konteks hubungan manusia—Tuhan, ia menyampaikannya dengan cara yang lain. Sebagaimana puisinya “Batu-Batu Kerikil dari Muzdalifaf,” yang sudah disinggung tadi, dalam puisi yang berjudul “Aku Melingkar Terbakar” penyair lebih menekankan pada suasana peristiwa. Maka, gambaran ribuan manusia yang mengelilingi Kabah, gelombang gema takbir atau doa-doa memuja kebesaran-Nya atau entah apa lagi, mewartakan kemahabesaran-Nya yang tak berhingga. Kita –pembaca—seolah-olah dibetot pada suasana kedahsyatan peristiwa itu. Kembali, kita dapat membayangkan, betapa lautan manusia di sana mengalami trance, mabuk, hanyut, luluh, lebur dalam gelombang manusia dalam kenikmatan religius yang tak terperikan. Manusia dari berbagai bangsa dan budaya dipersatukan oleh keimanan yang sama.

AKU MELINGKAR TERBAKAR

Aku di sini
di tempat para penabuh
meriuh-rendahkan tabuhannya
rindu nyanyian padang lengang
aku dan Tuhan
Para penabuh melingkar-lingkar tubuh
berbalut hitam, batu hitam, mata hitam
air mengalir, putih, jernih
dalam haus zam-zam
sedepa maqam
aku dan Tuhan
aku dan Tuhan
Naik turun bukit
tetabuhan himpit
kanal-kanal beriak
diri tak bertali tak kendali
aku dan Tuhan
Mereka melingkar-lingkar
mendayung perahu jangkar
para penabuh yang terbakar
aku ikuti mereka
menabuh dan terbakar
aku dan Tuhan

Makkah-Banda Aceh, 2012-2013

            Cermatilah, betapa kuatnya larik-larik ini: Mereka melingkar-lingkar/mendayung perahu jangkar/para penabuh yang terbakar/aku ikuti mereka/menabuh dan terbakar/aku dan Tuhan// Begitulah, religiusitas Kemalawati cenderung tidak sebagai peristiwa individual, melainkan sebagai bagian dari kehidupan masyarakat atau orang-orang yang berada di sekitarnya. Jadi, aku lirik lesap menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari suasana peristiwa.
Periksa lagi, misalnya, puisinya yang berjudul “Di Itaewon” yang mengangkat pengalamannya memasuki rumah Tuhan di sebuah bukit yang dikepung tempat-tempat hiburan malam. Perjalanan menuju ke masjid itu memang melewati jalan mendaki, seperti dikatakannya: Ini pendakian yang tak seberapa/namun tangga berdinding batu seolah berkata/engahmu seolah pertanda belum terbiasa/menuju ketinggian jiwa/para pencari ridha
            Selengkapnya simaklah puisinya yang berjudul “Di Itaewon” berikut ini:

DI ITAEWON

Ini pendakian yang tak seberapa
namun tangga berdinding batu seolah berkata
engahmu adalah pertanda belum terbiasa
menuju ketinggian jiwa
para pencari ridha
Kubasuh muka
kuredakan debar di dada
kudaki lagi tangga dalam kamar samar cahaya
hingga ruang lengang di lantai dua
sayup-sayup kudengar seruan itu
mengalun dari puncak menara
sujudku dipenuhi airmata
Di Itaewon, kukirim doa kepada
perempuan muda sipit berkulit terang
yang terbata-bata memadankan kata
kutahu dia tak mencari pahala
ketika menawarkan jasa menuju rumah-Nya

Mesjid Itaewon, Seoul, 4 Juni 2012

            Meski dalam puisi itu, Kemalawati mengangkat pengalaman individual, ia menariknya sebagai bagian dari kehidupan sosial. Maka, di sana dikatakan: perempuan muda sipit berkulit terang … yang menawarkan jasa menunju rumah-Nya//
***
            Membaca puisi-puisi Rosmiaty Shaari dan D Kemalawati—khusus mengenai puisi-puisi religiusnya—kita seperti disuguhi berbagai cara pandang dalam menyapa Tuhan. Meskipun begitu, dalam puisi kedua penyair itu, kita tetap menemukan spirit yang sama, keimanan yang sama, dan jiwa yang sama. Jadi, benarlah seperti yang dikatakan Rumi: “Orang-orang Mukmin itu banyak, namun Iman itu hanya satu; tubuh mereka itu beraneka ragam, namun jiwa mereka hanya satu.”[3]

Msm-mklh/aceh/pp8n/14/6-2016




* Makalah “Temu Penyair Delapan Negara” diselenggarakan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh, Kuta Alam, Banda Aceh, di Banda Aceh, 15—17 Juli 2016.

* Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
[1] Haidar Bagir, Belajar Hidup dari Rumi, Jakarta: Mizania/noura, 2015, hlm. 85.
[2] Reynold A. Nicholson, Jalaluddin Rumi: Ajaran dan Pengalaman Sufi, terj. Sutardji Calzoum Bachri, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993, hlm. 36.
[3] Reynold A. Nicholson, Jalaluddin Rumi: Ajaran dan Pengalaman Sufi, terj. Sutardji Calzoum Bachri, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993, hlm. 26.

-----------------------------------
[1] Reynold A. Nicholson, Jalaluddin Rumi: Ajaran dan Pengalaman Sufi, terj. Sutardji Calzoum Bachri, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993, hlm. 26.