Wednesday 14 January 2015

ROSMIATY SHAARI YANG KEMBALI KEPADA FITRAHNYA - Syarifuddin Arifin, Padang, Sumatera, Indonesia



(disampaikan pada:  Bincang Karya Pulara 5  Pulau Pangkor, Perak, Malaysia

11 Desember 2014)


Dalam denyut  nadi setiap manusia, ada puisi. Pada lambaian dedaun dan desau angin musim kemarau, membisiklah puisi. Di tengah kota yang hiruk-pikuk, gersang dan mengenaskan, puisi mengalir seenaknya di sana. Puisi adalah kehidupan kita. Makanya, bila ada seseorang yang menyebut kalau hidupnya kering, sering merasa jenuh, terasing dan tercampak dari komunitasnya, itu tak lain karena ia tak mampu meraih nuansa puitis dari dalam hidupnya sendiri. Biasanya, mereka yang mampu menyalurkan nuansa puitis dengan idiom-idiom yang ia miliki, nampak romantis, suka membenturkan pendapat orang lain ke hal-hal yang ada dalam pikirannya, sehingga ia (sering) menemukan ide-ide baru dengan daya ucap yang baru pula.

 Banyak jenis puisi, yang oleh para ahli diklasifikasi dalam berbagai jenis dan bentuk. Tapi, saya tidak akan membahas pembagian, mematok penjenisan dan bentuk penulisannya.  Saya hanya menangkap daya ucap penyair perempuan yang kini tinggal di Melaka, yang baru-baru ini menerima anugerah HSPM (Hadiah Sastra Perdana Malaysia, 2013) yakni Rosmiaty Shaari. Dua tahun silam, saya diberi Rosmiaty Shaari kumpulan puisinya “Dari Hitam Putih Menjadi Zarah”, lalu beberapa puisi lainnya sempat saya baca dalam antologi  Meditasi Dampak 70 dan Menyirat Cinta Haqiqinya SN. Dato’ Kemala dan Anugerah Puisi Dunia 2014 oleh Numera.

Ketika Malim Ghozali PK, pengarah PULARA 5 ( Puisi dan Lagu-lagu Rakyat antarbangsa) dalam undangannya meminta saya membicarakan buku Rosmiaty Shaari yang baru terbit, yakni  Kembali kepada Fitrah, 2014 terbitan ITBM, saya menyanggupinya. Pada hal saya belum membaca sajak-sajak yang diantar oleh DR. Free Hearty tersebut. Namun sambil menunggu kiriman untunglah saya mendapatkannya dari Djazlam Zainal, dalam sebuah kesempatan di Bandung, Indonesia. Saya pun mulai membalik-balik halaman per halaman selama dalam perjalanan Bandung-Jakarta-Padang. Membaca sajak, tentu tak semudah membaca sebuah berita selintas di suratkabar, karena sajak atau puisi punya kekuatan pada diksi yang membangun frasa-frasa di setiap lariknya. Apalagi membaca sajak Rosmiaty Shaari yang berisi tentang hal-hal kemanusiaan, ketuhanan dan benih-benih pemikiran yang filosofis.

Rosmiaty Shaari, yang sudah menulis berbagai genre sastra sejak usia 17-an tahun ini, kemudian bersenyap-senyap sejak menikah, ternyata tak mampu menghindar dari keinginannya untuk tetap menulis. Ia tak peduli, puisi jenis apa yang ia tulis, yang penting menulis dan menulis dan menyerahkannya kepada pemerhati, kritisi sastra apa dan bagaimana karya-karyanya di apresiasi. Sebagaimana catatannya di bawah ini:

    ………………..                                                                   

Ke dua: Ada yang meronta, entah bagaimana muncul pun saya tidak tahu. Ia lahir dari jiwa atau sukma membawa kepada fikiran, ditolak pula oleh rangsangan tubuh untuk melengkapkan kepada penyempurnaan hasil sesebuah sajak. Saya merasa suatu keajaiban setiap kali berpuisi, seperti seorang ibu yang melahirkan seorang bayi, bukan merasa seronok tapi nikmat kesakitan itu yang membawa kepada kepuasan batini. Karena setiap kali saya berpuisi, saya akan merasai jerih dan payahnya, menggendong dengan beban fikiran yang sarat, sebelum mampu saya melahirkannya.

Ke tiga: Ya, saya juga  tidak terlepas daripada ingin mencari, menggali, meneliti, mengungkap memberi dan berkongsi. Kalaulah melalui berpuisi, saya mampu mendekati khalayak pembaca saya, mengungkap tentang kebesaran dan keagungan al Haq, apakah yang lebih indah selain berupaya membuka minda mereka untuk turut memikirkan apa yang saya pikirkan. Kalau saya meraba-raba dalam kegelapan pula, saya mengharapkan ada khalayak yang dapat membantu saya menerangkan kegelapan itu. Pesan arwah ayahanda saya, menelusuri jalan yang lurus itu mudah, tetapi sangatlah tidak mudah. Mengapa?

  Keempat: Pintu dunia kepenyairan ini sudah terbuka luas dan saya telah memasukinya!

  (Dari Hitam Putih Menjadi Zarah, Pengantar Penulis, hal. xi)

*

Dan memang penyair kelahiran 25 Mei 1961 di Teluk Intan Perak, Malaysia ini memperlihatkan kepiawaiannya dalam mengolah kata dalam beberapa sajak-sajaknya. Untuk menyatakan kekaguman, ketakberdayaan, keterenyuhannya ia menemukan diksi yang jarang dipakai oleh penyair lainnya, yakni ‘ya, ayu hai’ yang sudah menjadi icon tersendiri. Meski pun dalam sajak-sajaknya kita sering menemui diksi dari  Asmaul Husna seperti;  Karim, Rahim, Rahman, Rabb, Bilal, Haq dan seterusnya yang merupakan resiko tak terelakkan dari sajak-sajak ketuhanan.

Selain ya ayu hai  yang saya temukan sebanyak 11 kali dari 8 judul sajak yang terangkum dalam Kembali kepada Fitrah, juga saya temukan dalam sajak “Tentramlah Kalbu yang Lembut Berbalut Salju” (Dari Hitam Putih Menjadi Zarah, hal. 34). yang terasa kuat dan cukup dahsyat untuk menyampaikan rasa tak terhingga. Selain itu, penyair juga menemukan diksi lain seperti;  bebenang (lihat sajak;  Selamat Datang Cahaya, Lailatulqadar, Gelombang Mimpi, Catatan Nurani), meski penyair tak bisa mengelak dari pengulangan diksi yang begitu ia akrapi seperti halnya; merah (saga), darah, zikir, fikir, menggelepar, lokan, perdu dan nurani. Setelah membaca buku puisi terbitan ITBM Berhad ini, saya menemukan sedikitnya 22 kata ‘nurani’ dari 71 judul sajak yang terangkum di dalamnya.

Penyerahan dirinya yang utuh pada ‘takdir’, kebersamaan dengan kekasihnya, tuhan, dan alam yang memang disediakan untuk kemaslahatan hidup manusia, yang terkadang disalahgunakan sehingga  kehilangan daya pukau yang alami. Saya melihat daya ucap Rosmiaty yang cukup khas, yang jarang ditemui pada penyair wanita lainnya. Sajak-sajaknya mendayu dan mendayu lalu menyerahkan diri pada ketakberdayaannya pada Yang Maha Berdaya.

Bila DR. Noorhayati binti Rachman melakukan penelitian tentang daya ucap sastrawan yang ditulis oleh wanita dan laki-laki ternyata punya perbedaan yang cukup menyolok, maka hal tersebut terlihat pada Rosmiaty yang tak  melakukan pemberontakan dengan frasa yang kuat dan lantang, melainkan ia uraikan dengan ‘diam’ dan sangat menjaga bunyi yang lembut dan puitis. Bacalah bait akhir dari sajak Suara yang ditulisnya di Rawamangun Jakarta ini

suaramu hilang di antara ribuan buku-buku

nafasku kecundang di antara wajah-wajah ungu

 (sajak Suara, hal. 41. KkF)                                                                                                                                           

Sajak Suara yang terdiri dari empat bait ini, ditulis Rosmiaty Shaari justru ketika ia jauh dari tanah kelhirannya, bahkan di luar semenanjung Malaysia, yakni di Ramawangun Jakarta. Sebagai yang kita ketahui, di Rawamangun ada kampus sebuah perguruan tinggi UNJ (Universitas Ngeri Jakarta, dulu IKIP) dan Pusat Pengembangan Bahasa. Ia mencari jejak suara di rak-rak buku, namun yang ditemui dan menjadi kenyataan justru mendengar jerit pilu yang menyentuh nuraninya, ada perut yang mertonta,  larik yang cukup sederhana dan ditulis secara langsung ini mampu menusuk relung hati kita sebagai sesama manusia melihat penderitaan orang lain. Penyair ini kemudian mempertanyakan perjalanannya yang masuk dari satu buku ke buku lain, tak dapat ditemuinya.

inilah perjalanan salik

yang perlu kubaca dari setiap buku

yang perlu kueja dari setiap bahasa ilmu

nian

tak dapat kutemui.

Kata ‘nian’ yang sengaja diletakkan dalam satu larik, terasa punya kekuatan yang membatin. Diksi yang pas untuk menyatakan ketidakberdayaannya, yang ia cari dalam berbagai buku. Sungguh, benar-benar, atau sangat tak dapat kutemui.

Membaca sajak-sajak Rosmaiaty Shaari, yang sebagian besarnya bernafas ketuhanan (dari beberapa sajak-sajaknya dalam “Kembali kepada Firah”, “Dari Hitam Putih Menjadi Zarah” dan beberapa antologi bersama lainnya), yang berangkat dari hal-hal yang humanis, rasa kemaanusiaan yang dalam yang diucapkan dengan frasa-frasa yang khas. Simaklah sajak-sajak; Catatan Waktu Pagi, Suara yang Tak Terlepaskan, Tafakur si Bulan Putih, Catatan Nurani, Sesudah Sisa, dan beberapa sajak lainnya.

*

Pengalaman religiusitas transendental merupakan bagian penting dalam kehidupan sufistik. Dalam sifatnya yang personal dan eksoterik, pengalaman tersebut memberi nuansa yang beragam dan unik dalam diri setiap manusia (yang mengalaminya), meski pun secara umum mengacu pada konstruksi yang sama, yakni kedekatan dengan tuhan. Kedekatan, atau mendekatkan diri pada  Allah Swt yang Maha Agung dan Maha Mulia, pemilik segala pujian oleh kaum sufi tidak hanya dilakukan dengan pencarian yang harus bersunyi-sunyi, memendam rindu dan cinta yang berlebihan, dengan mengasingkan diri dari sesama manusia. Akan tetapi dengan melakukan pembedahan, penelitian atau pemeriksaan dari zat tuhan itu sendiri, sehingga muncullah pendapat atau pemikiran baru dari hasil olah nalar manusia yang sangat terbatas tersebut. Pada pikiran inilah, ketika ia ditulis, sastra muncul membuka ruang yang proporsional untuk mengungkapkan pengalaman tersebut.

Demikianlah, suatu ketika, Rosmiaty Shaari tersentak dari tidurnya dan mematikan mimpi indahnya sebagai ia tulis dalam sajak “Gelombang Mimpi”;  Sebelum terbit/ yang muncul adalah bebenang emas berserak purnama/ singgah di muara mimpi -/ tadi malam/ aku kembali menjadi teja/ menguntum di tengah belantara/ merah kelopak nyalaku/terbau sirih sumpahan lara/ yang berdetak di sukma. Bait pertama sajak ini terasa cukup romantis, bagaikan remaja yang sedang sumringah  Yang membuat ia semakin meringkuk dalam kerinduan yang membatin, singgah di muara mimpi bagaikan bebenang emas berserak purnama (benang-benang melingkar dan mencucuk bagaikan kilau emas)

Tapi apa hikmah dari Gelombang Mimpi tersebut? Apakah mimpi setelah subuh itu ketika cahaya fajar menyembul bagaikan memanah langit dari balik bukit atau gedung-gedung yang merupakan teks telanjang, denotatif? Penyair semakin menyadari keterbatasannya sebagai manusia yang tidak akan pernah sampai pada sebuah perjalanan yang hakiki, meski pun setelah menunaikan salat Subuh berdoa meminta rahmatNya dengan khusuk sehingga fajar datang membentangkan bebenang berhiaskan kemilau emas, karena hidup di bumi ini hanya sementara;

                  Ya ayuhai….

                  berikan aku semangat Rabbi’ah

                  kunci pertama pembuka hikmah

  (Sajak Gelombang Mimpi, hal. 17. KkF)



Puisi, yang ditulis dalam bahasa terbatas untuk mengungkapkan keseluruhan ruang yng telah

dilihat, dipahami dan dialami untuk mereflesikan pikiran, mau tidak mau harus memakai symbol,

metonimi, dan metafora. Rosmiaty Shaari menyadari kalau ia tak lebih dari zarah di sebutir debu;



aku zarah berterbangan – sebutir debu

melayang tak menentu

belumlah aku kekasihNya – meski aku mengasihiNya

Pada awal kebangkitan sastra Nusantara, penyair Amir Hamzah dalam beberapa puisinya yang merindukan tuhan dengan diksi yang pas dan menukik tajam, sempat menjadi perbincangan beberapa pemerhati di masanya, karena rindunya ingin menemui tuhan yang tak tercapai, hingga akhirnya ia menyerah. Satu kekasihku/ aku manusia/ rindu rasa/ rindu rupa // di mana engkau/ rupa tiada/ suara sayup/ hanya kata merangkai hati // Engkau cemburu/ Engkau ganas/ mangsa aku dalam cakarmu/ bertukar tangkap dengan lepas (PadaMu Jua)

Hal demikianlah yang menjadikan Rosmiaty Shaari sebagai ‘hanya zarah’ tak mampu mengungguli rasa cinta, rindu dan dendamnya kepada tuhan, sebagai sajaknya Izinkan Aku Memaut Kasih-Mu di bawah ini:

Seberat batu yang menghempap Bilal

yang menekan itu Engkau – melihat kesabaran

sepedih cambuk yang merambat tubuh Rabbiah

yang menyula nurani itu Engkau – melihat kesetiaan

tanpaMu takkan basah bibir bertitir

takkan bergema tasbih berzikir

lalu puja dan puji

pasrah dan redha

semua dirahmati

dalam cahaya yang sedia menemani



Ya Bilal

ya Rabbiah

naïf adalah kehinaan

takut adalah kesengsaraan

tak kuat tubuhku bergulung – gelombangku sonsang

bebanku tak sehebat pasrahmu

setiaku tak selezat cintamu

aku zarah berterbangan – sebutir debu

melayang tak menentu

belumlah aku kekasihNya – meski aku mengasihiNya

           

Ya Rahman

ya Rahim

tak bernilai air mata oleh ragam olahku

tak berbau nikmat oleh zikir munajatku

meski berkali kualir

ratib dan ratab- cinta yang tak sempurna

tidaklah layak aku tangisi

meski sujudku berkali

dan Engkau memerhati

aku masih mencari diri

yang hilang dalam ilusi

           

Ampuni aku, Ya Rabb….

(Melaka, 2011 (hal.24, KkF)  

*

Wilayah puisi, bila dilepas-bebaskan maka ia akan menguasai alam yang luas ini. Maksudnya, sebuah teks dalam puisi akan ditafsirkan dari berbagai sisi, sektor kehidupan, dengan memperhatikan latar Ipoleksosbud (Idiologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya) penyairnya.  Pada hakikatnya sastra bersifat idiologis, dan dalam idiologi itu tersimpan estetika. Sebagaimana Maman S. Mahayana dalam bukunya ”Pengarang Tidak Mati: Peranan dan Kiprah Pengarang Indonesia” yang menyebutkan karya sastra lahir dari sebuah permenungan ide-ide, dan ide atau gagasan itu dikemas dalam bungkusan sastra. Lebih jauh, Maman menyebutkan;

     ”Di sinilah kompromi dan negosiasi antara idiologi dan estetika seyogianya dapat berjalin kelindan dalam bangunan yang bernama karya sastra, sebab tanpa kompromi dan negosiasi karya sastra akan terjerembab menjadi karya propaganda atau pamflet belaka yang terlalu kencang menyuarakan idiologinya atau karya hiburan jika semangat estetikanya sekadar sebagaai alat hiburan” (2012.Hal. 152)

Rosmiaty Shaari yang selalu menggendong beban pikiran yang sarat sebagaimana diakuinya di atas, ternyata mampu ”mengucapkannya” dengan sempurna. Dalam kumpulan puisi ini, ditemui beberapa sajak yang sarat dengan perenungan, sebagaimana sajak-sajak; ’Di Negeri Cacing’ dan ’Pisau dan Darah’. Sajak Pisau dan Darah  yang ditulis dengan frasa-frasa sederhana mampu menggiring imajinasi pembaca ke asal muasal, sebab dan akibat, dan pesan yang disampaikan terasa mengalir; kau dan aku adalah satu/ tanpa kilauan matamu/ tiadalah merah darahku.

Baik sajak Pisau dan Darah, mau pun sajak Di Negeri Cacing yang merupakan perenungan penyairnya dalam memperhatikan alam di sekitarnya, lalu tiadalah artinya sebungkah daging yang melapisi tulang sebagai kerangka manusia. Cacing yang merupakan makrifat alam, hidup dalam tanah, mati menjadi tanah, seperti juga si ’aku’ lirik yang datang dari tanah dan pulang kembali kepada tanah. Berapalah harga sekepal tanah yang menjadikan tubuh kita tak lebih dari seekor cacing? Sedangkan dalam Pisau dan Darah, ’aku’ lirik yang berasal dari sumsum nestapa adalah darah yang menyala, yang senyap di pembuluh rahasia. Simaklah sajak Pisau dan Darah di bawah ini;

Kau sebilah pisau bermata dua

menyilau dalam cahaya

mengelar ikut selera



Aku darah merah menyala

berasal dari sumsum nestafa

senyap aku di pembuluh rahsia



Kau pisau bermata dua

menghiris dua luka

mengharap darah

mengalir tanpa merasa



Dan aku tetap darah

yang mengalir dari luka yang parah

dari duka yang sangat merah



Kau dan aku adalah satu

tanpa kilauan matamu

tiadalah merah darahku...

 Melaka, 2011 (hal.26.KkF)



*

Setelah membaca buku puisi Kembali kepada Fitrah ini, saya berkesimpulan bahwa penyair tidak terlalu berbelit dengan pilihan kata. Diksi dan frasa yang membangun larik-lariknya terlihat sederhana namun tetap menimbulkan kesan yang mendalam. Dari 71 judul sajak yang terkandung di dalam buku ini, sebagian besar bertema ketuhanan, sehingga kesan religius cukup mengemuka dengan mengetengahkan riwayat para sufi, munculnya beberapa nama lain dari Allah Swt (asmaul husna).  Juga tema-tema sosial kemanusiaan, selain sajak perenungan yang berbau filsafat.

Secara keseluruhan, lebih banyak menceritakan perjalanan hidup manusia tentang cinta,  lalu bertransformasi menjadi pencarian tuhan dan ketenangan diri. Rasanya tidaklah berlebihan bila saya menyebut buku puisi ini berisikan sajak-sajak Sufisme Humanistik.

Padang, 5 Desember 2014


Bacaan:


1.       Rosmaity Shaari: Kumpulan Puisi Kembali kepada Fitrah. ITBM Berhad, Kuala Lumpur, 2014.

2.       Rosmiaty Shaari, Kumpulan Puisi Dari Hitam Putih Menjadi Zarah. I Man Creative, Melaka. 2011

3.       Maman S. Mahayana: Pengarang Tidak Mati: Peranan dan Kiprah Pengarang Indonesia. Nuansa, Bandung 2012







SYARIFUDDIN ARIFIN:  Penerima Anugerah Puisi Dunia 2014 dari Numera Malaysia ini lahir di Jakarta. Pendidikan S1 jurusan Sastra dan Bahasa Indonesia dan Akademi Ilmu Komunikasi (AIK) Padang. Menulis genre sastra; novel, cerpen, puisi, cerita anak, dan naskah sandiwara yang dimuat di berbagai media cetak (suratkabar dan majalah) terbitan Padang dan Jakarta, termasuk majalah sastra Horison. Salah seorang penggiat Bengkel Sastra Ibukota (BSI) Jakarta, 1980-an. Beberapa puisi dan cerpennya dimuat dalam puluhan antologi terbitan; Aceh, Padang, Jambi, Jakarta, Jogjakarta, Bandung, Banjarmasin, Semarang, Jogya, Banten (Indonesia), Pulau Pinang dan Kuala Lumpur (Malaysia), Fuchun MAEC at Woodland (Singapura). Kumpulan cerpennya Gamang (1989) dan buku puisi tunggalnya Ngarai (1980), Catatan Angin di Ujung Ilalang (1998), dan Maling Kondang (2012). Melakukan roadshow ke beberapa kota  di Indonesia.

Pemain/sutradara teater ini juga  main dalam beberapa sinetron/film di Indonesia dan Malaysia.


Alamat:
SYARIFUDDIN ARIFIN

Jalan. Dakota No. 61 (ujung)

RT 1 RW III

Kelurahan Dadok Tunggul Hitam

Padang. 25176



Contac Person: 08126786755


No comments:

Post a Comment