NUSANTARA MELAYU RAYA DI MANA?
SN AHMAD KAMAL ABDULLAH - KEMALA
1
PADA tahun 1986, saya sempat singgah di Universiti Hankuk, Seoul berceramah dan membaca puisi. Pesan saya kepada studen Universiti tersebut bahwa peradaban kita sedang digugat oleh kuasa-kuasa besar. Mereka tidak peduli apakah keserakahan mereka itu bakal meruntuhkan peradaban dan merebakkan keh...
alobaan
terhadap kuasa. Realitinya mereka tidak belajar dari musibah perang
dunia pertama dan kedua. Apakah kekuasaan itu segla-galanya? Tidak!
Tuhan membaca hati setiap kita. Tuhan membaca hati para pemimpin yang
menguasai PBB yang sekian lama menjadi Pertubuhan Budak-budak Bisu.
Saya menyebutkan dalam syarahan saya itu:
“Sebagai penyair saya merasakan detik-detik menjelang abd ke-21 ini adalah momen yang paling bermakna dan crucial dalam pertumbuhan kepenyairan saya. Dapat kita saksikan betapa bangsa-bangsa dan Negara kecil besar di dunia kian terbabit dalam kekacauan kecil dan besar. Negara kecil yang baru berkembang, membentuk diri dan peribadinya, kini seolah-olah kehilangan matlamat kerana eksploitasi dan jebak yang dipasang Negara kuasa-kuasa besar. Dunia idaman yang kita mimpikan, yang ingin kita bentuk agar anak-anak dan generasi muda yang kita lahirkan dapat menikmati zaman pembentukan dirinya bagi masa depan Negara dan bangsa dan dunia seluruhnya seolah-olah akan macet dan buntu di pertengahan jalan. Udara yang bersih, alam yang penuh dengan keindahan yang asli kini berganti dengan suasana cemar debu dan asap nuklir dan gas pertarungan. Dapat kita bayangkan tidur aman anak-anak kecil, wanita dan orangtua disintakkan oleh guguran bomb beribu megaton dari jet-jet pejuang Amerika di atas Tripoli dan Benghazi. Dapat kita bayangkan hari-hari penuh berdarah yang berlaku terus-menerus di Lebanon, Iraq, Afghanistan, Iran dan di mana-mana.”
Apa pilihan penyair dunia dan Numera?
“Pilihan mereka tetaplah menimbulkan rasa persatuan atau solidarity yang sejagat sifatnya. Sebagai penyair mereka bukanlah peruntuh peradaban. Mereka adalah peniup kasih sayang , penyubur kerukunan hidup, pembimbing kecil besar ke arah kehidupan yang lebih mulia. Kotak-kotak yang dibina oleh perbedaan aliran politik, isme, rupabangsa secara idealistic bukanlah pilihannya. Puisinya untuk dunia, untuk seluruh umat manusia. Kerinduannya, adalah kerinduan yang agung, bukan kerinduan yang sempit. Dia adalah penyair yang mempunyai visi untuk kemanusiaan, bukan gelandangan, kecacamarbaan, kehilangan arah , hanyut secara absurd kerana percakaran pemimpin yang mabuk kuasa, haloba materialisme, dan merasa terancam kerana maruahnya tercabar. Sebagai penyair dunia, dia adalah pemimpin kerohanian, menunjuk arah yang wajar diikuti!” (Penyair Melayu Sebagai Penyair Dunia, Hankuk Universiti 1986).
Penyair Dunia dan Numera pada batasnya yang buntu
Jika anda merenungi kembali pergerakan program Pengucapan Puisi Dunia Kuala Lumpur sejak 1986 sehingga ke tahun 2006, temanya adalah “Penyair, Puisi dan Kemanusiaan”. Kita memberi isyarat yang nyata bahwa idealisme penyair Numera tetaplah cinta perdamaian, cintakan kesepakatan dan cintakan kemanusiaan. Tetapi apakah yang sudah kita alami sepanjang tiga dasawarsa yang lalu? Bermacam-macam helah dan natijah dilakonkan di pentas PBB oleh negara kuasa-kuasa besar. Negara kecil ditindas semau-maunya diperlakukan sebagai budak dan binatang, tidak dilayan sebagai insan. Mereka menjadi sasaran peluru kendali dan bom ujiannya. Hancur lebur kemanusiaan. Hancur lebur harapan untuk cita-cita kebersamaan dan keadilan. Prejudis agama kian menjadi-jadi pada puncaknya dialamatkan bahwa setiap bernama Islam itu adalah terrorisme. Perlakuan yang membudak dan kejam itu, membuat umat Islam bangkit mengadakan demonstrasi dan perlawanan. Kuasa besar seolah sudah mempunyai justifikasi untuk menyerang Afghanista, Libya, Iraq, Suria dan Yaman. Mereka harubirukan Bosnia Herzegovina, mewakilkan kepada Serbia menyembelih orang-rang Islam. Resistence luarbiasa harus berlaku, dan sejarah menjadi saksi mata. Puisi-puisi perlawann berkiobar di Palestin, di Indonesia, di Malaysia. Andainya pemerintah dunia ketiga terperangkap dengan politik Kuasa Besar itu, nescaya nanti mereka memusuhi rakyatnya sendiri. Ini menjadikan sasterawan Numera sudah menggenggam jawaban yang tepat. “Di sini aku berdiri untuk keadilan dan demi maruah islami!” Suara rakyat jangan smpai dimusuhi. Jika dimusuhi siap sedialah menjadi Husni Mubarak, gelombang Tsunami membungkusnya. Rakyat akan menang kesudahannya. Isyarat sejarah selalu menyebelahi yang tertindas.
Penyair Dunia dan Numera selalu ada rasa, ada cinta dan firasat yang hidup. Pada tahun 1961 waktu Lumumba mati dibunuh atas sekongkolan Amerika dan Kesavuvu, Kassim Ahmad penyair Melayu berteriak:
Kalau suaraku sedih dan kasar
Jangan kau seolah heran
Kalau aku Tuhan
Hari ini seluruh dunia aku musnahkan.
Hari ini Lumumba mati
Dan kau satu Amerika membisu
Kalau aku Tuhan
Hari ini satu Amerika aku musnahkan.
(Lumumba Mati 1961)
Baha Zain mengambil tempatnya, bersuara di mana sebenarnya posisi penyair di tengah-tengah persoalan yang cacamarba itu:
Kami amanahkan tanah ini
Bawa bersama aide-memoire
Ke dewan revolusi
Satu redefinisi
Erti demokrasi
Sengketa ‘kan datang
Berbicaralah dengan perang
Tanpa bimbang.
(aide-memoire 1969)
Semenjak 1970 penyair Melayu Malaysia membela perjuangan Palestine yang diinjak semau-maunya. Kemala menulis:
Di dunia ada seorang saja Leila Khaled
Selepasnya lahir lagi gadis-gadis berani
Kenal diri, cinta dan kesetiaan
Jendela terbuka
Rahmat Tuhan terpancar di mata
Bersatu seluruhnya dalam nama Iman.
(Leila Khaled 1970)
Waktu Sabra dan Shatila (1982) di bom remuk, penyair Melayu Malaysia bangkit dengan antologi Manifestasi (1982) terjemahan dalam bahasa Arab Tanfis (1994). Kami membaca dan membela sambil memungut derma. Antologi ini sudah diterjemah ke bahasa Arab dan mendapat liputan yang luas di Timur Tengah. Dalam”Sajak Subuh” saya menulis:
Api menggejolak di laut. Sosok-sosok
Tentara subuh siap di pantai. “Allah u Akbar!”
Bergema amanah Ilahi di genggaman
Mereka Satu,
Di bawah pimpinan
At- Tareq.
(Sajak Subuh 1982)
Apabila Gaza dibom kejam, Kemala menulis lagi:
Siapa sanggup memberi tangannya untuk Palestine
Bagi menjadi galah menggapai bulan keamanan?
Siapa sanggup menjadi butir peluru untuk mencari sasaran
Ke dada presiden yang paling kejam dalam sejarah
Bagi diarak ke padang pembunuhan?
(Siapa Sanggup 2009)
II
Kita menyaksikan peristiwa besar September Eleven. Ini diaggap sebagai tindak-tanduk al-Qaeda pimpinan Osama ben Ladin. Selain WTC, New York musnah sebahagian Pentagon juga diserang. Dunia Islam kepanasan seolah-olah kini Presiden Bush sudah ada paspor antarabangsa untuk menyerang Dunia Islam. Dengan dendam urusan bapanya Bush Senior yang belum beres, Iraq diganyang dan Saddam Hussein digulingkan dan menerima hukuman gantung sampai mati. Rejim Tel Aviv tambah bersemangat membunuh pelarian Palestine di Gaza dan di tebing barat. Dan kini dalam tangan Barrak Obama Islamic stream dijatuhkan satu demi satu, Iraq, Mesir, Libya, Suria. Husni Mubarak digulingkan. Yeman dan Iran juga menghadapi kemungkinan serakah perang dahsyat yang direncanakan. Obama tidak banyak pilihan dia harus menjadi actor di pentas negara-negara Arab dan tetap menyebelahi Tel Aviv sekiranya mahu menyambung tugasnya sebagai presiden Amerika Syarikat pada penggal kedua. Iran perlu dibantai habis-habisan. Ahmadnejad presiden Iran terus menghadapi provokasi, hentikan pembikinan uranium kalau tidak mahu diserang. Tetapi sebagai pemimpin yang punya wibawa, dia tak mudah memakan umpan Amerika yang terang-terangan menyokong Tel Aviv. Rakyatnya sedia berperang. Mereka bukan bangsa pengecut. Menanam kebencian yang fiktif kian menjalar sampai ke Asia Tenggara. Negara Myanmar yang chauvinistic menganggap orang-orang Rohingia itu parasit dan menjadi factor yang wajar dibersihkan seperti pembersihan ethnik yang berlaku di Bosnia-Herzegovina. Myanmar menghalau dan membakar ribuan Rohingia. Ini memeranjatkan dunia. Tampaknya hanya dua tiga terowong lagi akan sampai ke Nusantara Melayu Raya.
Di mana kalian dan apa posisimu sahabatku para penyair Numera? Nafas puisimu apakah sudah mengenal resistance sebuah perlawanan sihat atau masih menggumam dan membisu? Sudah 30 tahun Kuala Lumpur Malaysia meneriakkan motto “Puisi, Penyair dan Kemanusiaan” tetapi jawaban dari dunia barat “kebencian melulu” membawa fitnah dajjal yang provokatif. Ini mengingatkan satu forum hangat antara sasterawan Asia-Afrika dengan sasterawan Euro-Amerika waktu saya di dalam International Writing Program di Iowa University pada musim gugur 1993. “Mana literature anda? Kami tidak tahu. Literature anda tak masuk kajian kami. “The Other literature tak masuk buku, kerdil sampai kapan mahu menang Nobel Prize?” Walaupun mereka mafhum bahwa Pramoedya Ananta Toer sudah membawa gema hampir dua dasawarsa dicalonkan sebagai bakal pemenang Nobel Prize. Tetapi mereka tetap prejudis dan bermain politik terhadap bahasa Melayu-Indonesia kerana bahasa dan sastera Numera ini salah satu bahasa yang besar di dunia. Pram yang tidak dimenangkan sudah memenangkan Magsaysay Awards dan /American Writer’s Guild. Di mana nanti posisi Shahnon Ahmad bagi menjuakkan pencapaian sastera Nusantara Melayu Raya? Belum pasti lagi andai sikap prejudis barat masih berlangsung.
Jika kita mendekati suara para penyair Numera dalam Baca Puisi Dunia 2012 ini, kita yakin kesopanan masih menyaluti puisi LK Ara, dengan iman dan setiakawannya:
Sebutir pasir
Sang guruku
Suluh bagiku
Kecil namun bercahaya
Bagi hati hamba
Yang ingin mencapai cahaya
(Guruku sebutir cahaya)
Zefri Ariff memahami geraklaku di sekitarnya dan di dunia luar:
Kalau dulu kau melihat hutan di sebelah sungai
Tapi kini sungai itu melebar menjadi laut
Dan jerat warisan kupasang di hutan baru
Tetapi manusianya leka bicara tentang zaman kuratu
Dalam tuturan dan kalimat asing
(Warisan)
Rosmiaty Shaari yang sering tafakur, menulis:
Airmata darahpun menjadi angkara
Takdapat lagi membantu
Hanya satu,
Bila pintu itu terbuka
Kau masuklah kepada Dia
Itupun jika kau rela…
(Ke dalam Metamorfosis)
Zubaidah Djohar dengan dinamik berkata:
Olehjejak perang yang takpernah terlerai
Olehsisatangis yang belum diusap
Olehdarah yang masih membekas
Dan, oleh tajamnyaluka yang masihmenganga
(GelengRapa’iGeleng)
Optimisme digarap oleh Sutan Iwan Soekri Munaf:
Dan kini langkahmu bergegas
Setelah harapan menjadi kenyataan
Pintu dapurpun menegurmu dengan sukacita
“selamat datang manusia perkasa
Yang takpernah surut menggapai cita-cita!”
(Tentang Isteri dan Gulai)
Aminur Rahman bicara tentang sikapnya:
Aku anak edan kepunyaan zaman
Spontaniti dan keterbukaan tidak
Menandai tercapainya idaman
Khayalan idaman menghampiri
Tangannya yang tiada taranya
Dan mendedahkan harmoni pembunuhan diri
Kekaguman tetap daripada upaya seni
Putaran yang ganas memenuhi
Jiwa sampai semua liang
Sisa-sisa akal waras kerasukan
Pancutan air yang diidamkan semakin hilang.
(Pembunuhan Diri, terj. Dr. Victor Pogadaev dari puisi “Suicide”)
Penyair “Maling Kondang” Syarifuddin Ariffin bermadah garang:
Bertahan kepada keyakinan, leluhur menapak jejak
Negeri Campa kian meredup. Mengundang bencana Rakhine
Ratusan, ribuan, di luar angka-angka roh melayang memendam dendam
Lalu kau Rohingya, diayun gelombang Selat Melaka, urban tak bernama
(Dadaku Mendesak, Rohingya)
Suara Syarifuddin disambut oleh A Halim Ali:
Perahu dan laut
Adalah duri bercerancangan di hati
Membawa diri yang luka bertahun
Ke tengah gelombang
Menyusun jejak dan encari hidup
Di sebalik tajam karang dan air dalam
(Perahu dan Laut)
Rafaat Haji Hamzah, memfokus terhadap takdir yang menimpa bangsanya:
Ini sajak luka
Yang darahnya masih mengalir
Yang parutnya masih menganga.
Ini sajak luka
Yang sejarahnya diubah
Yang lekanya diteriak
Ini sajak luka
Yang budayanya digaul
Yang adatnya dicabul
(Sajak Luka)
Rafaat seterusnya berkata:
Segalanya bukan lagi igauan
Bukan juga impian
Tapi suatu ngeri yang menjadi kenyataan.
Percayalah!
Di atas segala kebenaran ini
Atas nama Tuhan dan agamamu
Dengan hanya berdiam juga.
Kita semua turut berdosa!
(Talqin)
111
Pergerakan dan muslihat serakah kuasa-kuasa besar dapat dihayati oleh para penyair Numera. Detik ini adalah detik resistance, melahirkan siap-siaga di Numera, kita bertahan dengan suara kita yang waspada. Demi Allah, dan Rasul benteng ini kita pertahankan degan kekuatan fizik dan mental, jasmani dan rohani agar kita tidak menjadi Palestin yang kedua. Agar kita tidak menjadi orang Rohingya yang dibakar hidup-hidup. Numera adalah warisan dan mutiara kesayangan bersama. Di sini khaznah para leluhur kita yang memancarkan daulat dan wibawa bahasa dan sastera ibunda.
“Kalau sampai waktuku, kutak ingin seorang pun kan merayu, tidak juga kau, tak perlu sedu sedan itu (Chairil Anwar); Nafas ini nafas berapi, puisi ini puisi Keris Sempana Ganja Iras, besi dititik besi ditinting, serpai besi khursni, sebulan dagang menggalas, jejak ditikam mati jua, setitik darah ke daratan setahun padi tak jadi, setitik darah ke lautan setahun ikan tak main!”
Penyair Numera sebagai penyair dunia, tetap bermain dengan mata penanya di Taman kesusasteraan bangsa sebagai pewaris yang sah dari kebesaran khazanah kesusasteraan para leluhur kita - sebagai kesusasteraan eksotis yang menjadi idaman masyarakat dan peneliti sastera dunia. Kini kita kembali menatang dan memuliakannya.
Salam perkasa Numera, Nusantara Melayu Raya. Hanya Jauhari yang mengenal maknikam. Hidup Numera!
Kuala Lumpur, Malaysia
26 dan 27 September 2012
dato_kemala@yahoo.com
“Sebagai penyair saya merasakan detik-detik menjelang abd ke-21 ini adalah momen yang paling bermakna dan crucial dalam pertumbuhan kepenyairan saya. Dapat kita saksikan betapa bangsa-bangsa dan Negara kecil besar di dunia kian terbabit dalam kekacauan kecil dan besar. Negara kecil yang baru berkembang, membentuk diri dan peribadinya, kini seolah-olah kehilangan matlamat kerana eksploitasi dan jebak yang dipasang Negara kuasa-kuasa besar. Dunia idaman yang kita mimpikan, yang ingin kita bentuk agar anak-anak dan generasi muda yang kita lahirkan dapat menikmati zaman pembentukan dirinya bagi masa depan Negara dan bangsa dan dunia seluruhnya seolah-olah akan macet dan buntu di pertengahan jalan. Udara yang bersih, alam yang penuh dengan keindahan yang asli kini berganti dengan suasana cemar debu dan asap nuklir dan gas pertarungan. Dapat kita bayangkan tidur aman anak-anak kecil, wanita dan orangtua disintakkan oleh guguran bomb beribu megaton dari jet-jet pejuang Amerika di atas Tripoli dan Benghazi. Dapat kita bayangkan hari-hari penuh berdarah yang berlaku terus-menerus di Lebanon, Iraq, Afghanistan, Iran dan di mana-mana.”
Apa pilihan penyair dunia dan Numera?
“Pilihan mereka tetaplah menimbulkan rasa persatuan atau solidarity yang sejagat sifatnya. Sebagai penyair mereka bukanlah peruntuh peradaban. Mereka adalah peniup kasih sayang , penyubur kerukunan hidup, pembimbing kecil besar ke arah kehidupan yang lebih mulia. Kotak-kotak yang dibina oleh perbedaan aliran politik, isme, rupabangsa secara idealistic bukanlah pilihannya. Puisinya untuk dunia, untuk seluruh umat manusia. Kerinduannya, adalah kerinduan yang agung, bukan kerinduan yang sempit. Dia adalah penyair yang mempunyai visi untuk kemanusiaan, bukan gelandangan, kecacamarbaan, kehilangan arah , hanyut secara absurd kerana percakaran pemimpin yang mabuk kuasa, haloba materialisme, dan merasa terancam kerana maruahnya tercabar. Sebagai penyair dunia, dia adalah pemimpin kerohanian, menunjuk arah yang wajar diikuti!” (Penyair Melayu Sebagai Penyair Dunia, Hankuk Universiti 1986).
Penyair Dunia dan Numera pada batasnya yang buntu
Jika anda merenungi kembali pergerakan program Pengucapan Puisi Dunia Kuala Lumpur sejak 1986 sehingga ke tahun 2006, temanya adalah “Penyair, Puisi dan Kemanusiaan”. Kita memberi isyarat yang nyata bahwa idealisme penyair Numera tetaplah cinta perdamaian, cintakan kesepakatan dan cintakan kemanusiaan. Tetapi apakah yang sudah kita alami sepanjang tiga dasawarsa yang lalu? Bermacam-macam helah dan natijah dilakonkan di pentas PBB oleh negara kuasa-kuasa besar. Negara kecil ditindas semau-maunya diperlakukan sebagai budak dan binatang, tidak dilayan sebagai insan. Mereka menjadi sasaran peluru kendali dan bom ujiannya. Hancur lebur kemanusiaan. Hancur lebur harapan untuk cita-cita kebersamaan dan keadilan. Prejudis agama kian menjadi-jadi pada puncaknya dialamatkan bahwa setiap bernama Islam itu adalah terrorisme. Perlakuan yang membudak dan kejam itu, membuat umat Islam bangkit mengadakan demonstrasi dan perlawanan. Kuasa besar seolah sudah mempunyai justifikasi untuk menyerang Afghanista, Libya, Iraq, Suria dan Yaman. Mereka harubirukan Bosnia Herzegovina, mewakilkan kepada Serbia menyembelih orang-rang Islam. Resistence luarbiasa harus berlaku, dan sejarah menjadi saksi mata. Puisi-puisi perlawann berkiobar di Palestin, di Indonesia, di Malaysia. Andainya pemerintah dunia ketiga terperangkap dengan politik Kuasa Besar itu, nescaya nanti mereka memusuhi rakyatnya sendiri. Ini menjadikan sasterawan Numera sudah menggenggam jawaban yang tepat. “Di sini aku berdiri untuk keadilan dan demi maruah islami!” Suara rakyat jangan smpai dimusuhi. Jika dimusuhi siap sedialah menjadi Husni Mubarak, gelombang Tsunami membungkusnya. Rakyat akan menang kesudahannya. Isyarat sejarah selalu menyebelahi yang tertindas.
Penyair Dunia dan Numera selalu ada rasa, ada cinta dan firasat yang hidup. Pada tahun 1961 waktu Lumumba mati dibunuh atas sekongkolan Amerika dan Kesavuvu, Kassim Ahmad penyair Melayu berteriak:
Kalau suaraku sedih dan kasar
Jangan kau seolah heran
Kalau aku Tuhan
Hari ini seluruh dunia aku musnahkan.
Hari ini Lumumba mati
Dan kau satu Amerika membisu
Kalau aku Tuhan
Hari ini satu Amerika aku musnahkan.
(Lumumba Mati 1961)
Baha Zain mengambil tempatnya, bersuara di mana sebenarnya posisi penyair di tengah-tengah persoalan yang cacamarba itu:
Kami amanahkan tanah ini
Bawa bersama aide-memoire
Ke dewan revolusi
Satu redefinisi
Erti demokrasi
Sengketa ‘kan datang
Berbicaralah dengan perang
Tanpa bimbang.
(aide-memoire 1969)
Semenjak 1970 penyair Melayu Malaysia membela perjuangan Palestine yang diinjak semau-maunya. Kemala menulis:
Di dunia ada seorang saja Leila Khaled
Selepasnya lahir lagi gadis-gadis berani
Kenal diri, cinta dan kesetiaan
Jendela terbuka
Rahmat Tuhan terpancar di mata
Bersatu seluruhnya dalam nama Iman.
(Leila Khaled 1970)
Waktu Sabra dan Shatila (1982) di bom remuk, penyair Melayu Malaysia bangkit dengan antologi Manifestasi (1982) terjemahan dalam bahasa Arab Tanfis (1994). Kami membaca dan membela sambil memungut derma. Antologi ini sudah diterjemah ke bahasa Arab dan mendapat liputan yang luas di Timur Tengah. Dalam”Sajak Subuh” saya menulis:
Api menggejolak di laut. Sosok-sosok
Tentara subuh siap di pantai. “Allah u Akbar!”
Bergema amanah Ilahi di genggaman
Mereka Satu,
Di bawah pimpinan
At- Tareq.
(Sajak Subuh 1982)
Apabila Gaza dibom kejam, Kemala menulis lagi:
Siapa sanggup memberi tangannya untuk Palestine
Bagi menjadi galah menggapai bulan keamanan?
Siapa sanggup menjadi butir peluru untuk mencari sasaran
Ke dada presiden yang paling kejam dalam sejarah
Bagi diarak ke padang pembunuhan?
(Siapa Sanggup 2009)
II
Kita menyaksikan peristiwa besar September Eleven. Ini diaggap sebagai tindak-tanduk al-Qaeda pimpinan Osama ben Ladin. Selain WTC, New York musnah sebahagian Pentagon juga diserang. Dunia Islam kepanasan seolah-olah kini Presiden Bush sudah ada paspor antarabangsa untuk menyerang Dunia Islam. Dengan dendam urusan bapanya Bush Senior yang belum beres, Iraq diganyang dan Saddam Hussein digulingkan dan menerima hukuman gantung sampai mati. Rejim Tel Aviv tambah bersemangat membunuh pelarian Palestine di Gaza dan di tebing barat. Dan kini dalam tangan Barrak Obama Islamic stream dijatuhkan satu demi satu, Iraq, Mesir, Libya, Suria. Husni Mubarak digulingkan. Yeman dan Iran juga menghadapi kemungkinan serakah perang dahsyat yang direncanakan. Obama tidak banyak pilihan dia harus menjadi actor di pentas negara-negara Arab dan tetap menyebelahi Tel Aviv sekiranya mahu menyambung tugasnya sebagai presiden Amerika Syarikat pada penggal kedua. Iran perlu dibantai habis-habisan. Ahmadnejad presiden Iran terus menghadapi provokasi, hentikan pembikinan uranium kalau tidak mahu diserang. Tetapi sebagai pemimpin yang punya wibawa, dia tak mudah memakan umpan Amerika yang terang-terangan menyokong Tel Aviv. Rakyatnya sedia berperang. Mereka bukan bangsa pengecut. Menanam kebencian yang fiktif kian menjalar sampai ke Asia Tenggara. Negara Myanmar yang chauvinistic menganggap orang-orang Rohingia itu parasit dan menjadi factor yang wajar dibersihkan seperti pembersihan ethnik yang berlaku di Bosnia-Herzegovina. Myanmar menghalau dan membakar ribuan Rohingia. Ini memeranjatkan dunia. Tampaknya hanya dua tiga terowong lagi akan sampai ke Nusantara Melayu Raya.
Di mana kalian dan apa posisimu sahabatku para penyair Numera? Nafas puisimu apakah sudah mengenal resistance sebuah perlawanan sihat atau masih menggumam dan membisu? Sudah 30 tahun Kuala Lumpur Malaysia meneriakkan motto “Puisi, Penyair dan Kemanusiaan” tetapi jawaban dari dunia barat “kebencian melulu” membawa fitnah dajjal yang provokatif. Ini mengingatkan satu forum hangat antara sasterawan Asia-Afrika dengan sasterawan Euro-Amerika waktu saya di dalam International Writing Program di Iowa University pada musim gugur 1993. “Mana literature anda? Kami tidak tahu. Literature anda tak masuk kajian kami. “The Other literature tak masuk buku, kerdil sampai kapan mahu menang Nobel Prize?” Walaupun mereka mafhum bahwa Pramoedya Ananta Toer sudah membawa gema hampir dua dasawarsa dicalonkan sebagai bakal pemenang Nobel Prize. Tetapi mereka tetap prejudis dan bermain politik terhadap bahasa Melayu-Indonesia kerana bahasa dan sastera Numera ini salah satu bahasa yang besar di dunia. Pram yang tidak dimenangkan sudah memenangkan Magsaysay Awards dan /American Writer’s Guild. Di mana nanti posisi Shahnon Ahmad bagi menjuakkan pencapaian sastera Nusantara Melayu Raya? Belum pasti lagi andai sikap prejudis barat masih berlangsung.
Jika kita mendekati suara para penyair Numera dalam Baca Puisi Dunia 2012 ini, kita yakin kesopanan masih menyaluti puisi LK Ara, dengan iman dan setiakawannya:
Sebutir pasir
Sang guruku
Suluh bagiku
Kecil namun bercahaya
Bagi hati hamba
Yang ingin mencapai cahaya
(Guruku sebutir cahaya)
Zefri Ariff memahami geraklaku di sekitarnya dan di dunia luar:
Kalau dulu kau melihat hutan di sebelah sungai
Tapi kini sungai itu melebar menjadi laut
Dan jerat warisan kupasang di hutan baru
Tetapi manusianya leka bicara tentang zaman kuratu
Dalam tuturan dan kalimat asing
(Warisan)
Rosmiaty Shaari yang sering tafakur, menulis:
Airmata darahpun menjadi angkara
Takdapat lagi membantu
Hanya satu,
Bila pintu itu terbuka
Kau masuklah kepada Dia
Itupun jika kau rela…
(Ke dalam Metamorfosis)
Zubaidah Djohar dengan dinamik berkata:
Olehjejak perang yang takpernah terlerai
Olehsisatangis yang belum diusap
Olehdarah yang masih membekas
Dan, oleh tajamnyaluka yang masihmenganga
(GelengRapa’iGeleng)
Optimisme digarap oleh Sutan Iwan Soekri Munaf:
Dan kini langkahmu bergegas
Setelah harapan menjadi kenyataan
Pintu dapurpun menegurmu dengan sukacita
“selamat datang manusia perkasa
Yang takpernah surut menggapai cita-cita!”
(Tentang Isteri dan Gulai)
Aminur Rahman bicara tentang sikapnya:
Aku anak edan kepunyaan zaman
Spontaniti dan keterbukaan tidak
Menandai tercapainya idaman
Khayalan idaman menghampiri
Tangannya yang tiada taranya
Dan mendedahkan harmoni pembunuhan diri
Kekaguman tetap daripada upaya seni
Putaran yang ganas memenuhi
Jiwa sampai semua liang
Sisa-sisa akal waras kerasukan
Pancutan air yang diidamkan semakin hilang.
(Pembunuhan Diri, terj. Dr. Victor Pogadaev dari puisi “Suicide”)
Penyair “Maling Kondang” Syarifuddin Ariffin bermadah garang:
Bertahan kepada keyakinan, leluhur menapak jejak
Negeri Campa kian meredup. Mengundang bencana Rakhine
Ratusan, ribuan, di luar angka-angka roh melayang memendam dendam
Lalu kau Rohingya, diayun gelombang Selat Melaka, urban tak bernama
(Dadaku Mendesak, Rohingya)
Suara Syarifuddin disambut oleh A Halim Ali:
Perahu dan laut
Adalah duri bercerancangan di hati
Membawa diri yang luka bertahun
Ke tengah gelombang
Menyusun jejak dan encari hidup
Di sebalik tajam karang dan air dalam
(Perahu dan Laut)
Rafaat Haji Hamzah, memfokus terhadap takdir yang menimpa bangsanya:
Ini sajak luka
Yang darahnya masih mengalir
Yang parutnya masih menganga.
Ini sajak luka
Yang sejarahnya diubah
Yang lekanya diteriak
Ini sajak luka
Yang budayanya digaul
Yang adatnya dicabul
(Sajak Luka)
Rafaat seterusnya berkata:
Segalanya bukan lagi igauan
Bukan juga impian
Tapi suatu ngeri yang menjadi kenyataan.
Percayalah!
Di atas segala kebenaran ini
Atas nama Tuhan dan agamamu
Dengan hanya berdiam juga.
Kita semua turut berdosa!
(Talqin)
111
Pergerakan dan muslihat serakah kuasa-kuasa besar dapat dihayati oleh para penyair Numera. Detik ini adalah detik resistance, melahirkan siap-siaga di Numera, kita bertahan dengan suara kita yang waspada. Demi Allah, dan Rasul benteng ini kita pertahankan degan kekuatan fizik dan mental, jasmani dan rohani agar kita tidak menjadi Palestin yang kedua. Agar kita tidak menjadi orang Rohingya yang dibakar hidup-hidup. Numera adalah warisan dan mutiara kesayangan bersama. Di sini khaznah para leluhur kita yang memancarkan daulat dan wibawa bahasa dan sastera ibunda.
“Kalau sampai waktuku, kutak ingin seorang pun kan merayu, tidak juga kau, tak perlu sedu sedan itu (Chairil Anwar); Nafas ini nafas berapi, puisi ini puisi Keris Sempana Ganja Iras, besi dititik besi ditinting, serpai besi khursni, sebulan dagang menggalas, jejak ditikam mati jua, setitik darah ke daratan setahun padi tak jadi, setitik darah ke lautan setahun ikan tak main!”
Penyair Numera sebagai penyair dunia, tetap bermain dengan mata penanya di Taman kesusasteraan bangsa sebagai pewaris yang sah dari kebesaran khazanah kesusasteraan para leluhur kita - sebagai kesusasteraan eksotis yang menjadi idaman masyarakat dan peneliti sastera dunia. Kini kita kembali menatang dan memuliakannya.
Salam perkasa Numera, Nusantara Melayu Raya. Hanya Jauhari yang mengenal maknikam. Hidup Numera!
Kuala Lumpur, Malaysia
26 dan 27 September 2012
dato_kemala@yahoo.com
No comments:
Post a Comment