Saturday 9 February 2013

Kata Pengantar KEMBALI KEPADA FITRAH (Andai DiIzinkan OlehNya)


KATA PENGANTAR
Rosmiaty Shaari: Dalam fikir dan zikir.



Menulis puisi itu tidak mudah.  Membaca dan memahami puisi sama tidak mudahnya. Puisi berbeza dengan prosa yang memberikan gambaran lebih jelas dan lebih detil. Puisi bermain kata dengan lebih menggunakan saripatinya. Memakai diksi dalam puisi memerlukan kepiawaian pemilihan kata. Memilih diksi  padat makna dengan estetika dan etika tertata dan terjaga bukanlah pekerjaan mudah.  Penulisan puisi (juga karya sastera yang lain, tentunya) memerlukan kematangan berfikir dalam memaknai  Semesta.

Ros
Perlu ada perenungan, kematangan jiwa, kehalusan rasa,  serta penguasaan  gaya bahasa yang indah, tepat dan benar dari seorang penyair saat mengekspresikan pengalaman, pemahaman, pemaknaan dan imajinasinya tentang Semesta tersebut.  Kepiawaian semua itu akan membayang dalam karya-karya yang dihasilkannya. Itu yang saya temukan dalam kumpulan puisi KEMBALI KEPADA FITRAH karya Rosmiaty Shaari.

Membaca puisi-puisi Rosmiaty saya seperti bertemasya. Temasya spiritual yang penuh estetika dan etika serta menyentuh hingga ke lubuk jiwa. Saya terpesona dengan majas yang digunakannya. Pemujaan penyair terhadap Allah SWT terasa kental dalam karyanya. Penyair tampak berserah diri dengan penuh sungguh kepada sang Pencipta. Pemujaan kepada-Nya, juga terurai pula lewat kekaguman kepada hasil ciptaan-Nya. Pemujaan dan kekaguman itu diekspresikannya dengan cantik,  halus,  lembut lewat metafora-metafora indah bahkan kadang-kadang romantisme juga muncul.

 Ada pula kepiawaian penyair yang lain ketika dia menyandingkan potret alam dengan puisi-puisinya. Ini membantu pembaca menjalani imajinasi dan memancing asosiasi ketika membaca karya-karya puisi Rosmiaty. Menyandingkan dua hal ini, visual dan verbal, memerlukan kecerdasan, agar ada garis hubung antara gambar dan kata. Rosmiaty memiliki kemampuan itu.

Banyak puisi Rosmiaty melukiskan tentang wisata spiritual itu, kalau tidak bisa dikatakan semua puisinya. Rosmiaty berzikir dalam berfikir, dan berfikir dalam berzikir.  Karya-karyanya menggambarkan dua hal ini dengan penuh etika dan estetika. Sebagai manusia, hubungan penyair dengan Allah (habblul min Allah) dan hubungannya dengan manusia (habblul min annaas) terlihat begitu intens. Penyair, selain memuja dan menyerahkan diri kepada Allah SWT, juga menaruh respek dan penghargaan terhadap manusia.  Sikapnya yang sangat  tawadhu, lebih banyak diam dalam dunia nyata bahkan seperti berusaha merunduk malu. Kualitas dirinya tampak cemerlang lewat dunia kata dengan pemilihan diksi penuh kelembutan dan keindahan. Rosmiaty jauh lebih ‘lincah’ bersuara dalam dunia kata. Dia berselancar dengan gerak-geri indah, meliuk dan membawa kita berwisata spiritual.
Semak gaya bahasa yang digunakan Rosmiaty dalam “Gerimis Merecup” : 



bagai si kecil pengutip lelah/ kukutip kuntuk-kuntum sirah/ dari benang berserak perak/kuhimpun menjadi surah/ sehelai demi sehelai/ kutadah di atas sajadah/  / lelah nafasku larut dalam diam-Mu…?



Rima dalam simile dengan akhir “ah” seperti sikap yang penuh penyerahan, tetapi bukan menyerah. Meski lelah, tetapi lelah yang tidak menyerah seperti dalam bunyi rima “ai” dalam sehelai demi sehelai itu dihimpunnya tanpa lelah tanpa menyerah.  Lalu bunyi aliterasi “ak” dari benang berserak perak dan ditutup dengan kata “Mu” yang nampaknya diarahkan kepada yang Kuasa. Keindahan dan ketegasan serta ketegaran bersatu di sini.

           Rosmiaty menggabungkan etika dan estetika dengan halus, mulus,  tertata dan terjaga. Cintanya kepada suami, anak, dan sahabat tidak membuat cinta kepada Tuhan menjadi terbengkalai. Meskipun ada luka di jantung, bisa didamaikan dalam bulan Rejab, dalam rindu zikir kasih mereka; seperti dialog antara dinda dan kanda dalam Di Bawah Naungan Rejab:



dalam tidur/ jantungmu bersuara mengejutkan jantungku/ mari kita sama-sama bersahur, dinda/ kita lupakan tentang hiba untuk/ membelah seketika/ jantung kita/………./benar, kanda/ mari kita tautkan retak bulan/………/jika begitu dinda/ mari ikutku/ menuju daerah paling sunyi/ kanda imam dinda makmum/kita satukan menjadi degup satu nadi/…… /ya, kanda/ bawalah dinda ke daerah itu/ langit Rejab sudah memberi isyarat/ rindu zikir kasih kita.


         Derita dan luka pun bisa dinikmati dan diterima. Penderitaan dijadikan pelajaran berharga yang nikmat. Bukan kesakitan atau kepedihan tertusuk duri, tetapi pelajaran yang bisa didapatkan dari rasa sakit itu. Semak  dalam Rose Among The Roses: Ya, Fatah/ Ya Salim/ ini duri yang kau beri/ adalah keinsafan untuk mengukuh kekuatan/ bukan untuk melukakan…  Atau, dalam puisinya Nikmatnya Sengsara yang bagi Rosmiaty bahkan takut adalah kesengsaraan. Suatu ketegasan, keberanian bahkan sikap optimis dengan keyakinan tinggi terbayang dalam karyanya. Ini hanya dimiliki oleh mereka yang begitu percaya dengan kekuasaan Tuhan. Pertolongan Allah SWT selalu ada bagi mereka yang berdoa dan berusaha. Jadi, tidak perlu ada perasaan takut. Tuhan selalu ada dan tidak pernah tidur. Melalui puisinya Rosmiaty menunjukkan kemampuannya dalam taufik dan tauhid.

       Dialog dengan Tuhan dilakukan beliau dengan lembut dan penuh etika yang terjaga. Sapaan terhadap Tuhan selalu diawali dengan huruf kapital menyebut Engkau dan Nya dalam;  /dari bahasa pasir yang Engkau taburkan/ di pesisir air.. atau ungkapannya dalam Izinkan Aku Memaut KasihMu: /belumlah aku kekasih-Nya/ meski aku mengasihi-Nya/. Maknanya dalam, membuat saya ikut merenung dengan kalimat ini. Kesedaran dan penyerahan dengan penerimaan yang ikhlas dalam keimanan yang jelas. Semak pula dalam Ratib dan ratap:



Cinta yang tak sempurna/ tidaklah layak aku tangisi/ meski sujudku berkali/ Engkau memerhati/ aku masih mencari diri/ yang hilang dalam ilusi./




          Sementara puisi yang mengarah kepada manusia pun tidak muncul dengan nada amarah, meski menggunakan metafora yang berkesan menimbulkan perasaan itu.  Seperti pada puisi Pisau dan Darah: Aku darah merah menyala/ berasal dari sumsum nestapa/ senyap aku di pembuluh rahasia. Larik-larik seperti ini dengan kuat menggambarkan rasa kemarahan dan sakit serta kekecewaan terpendam. Namun, kalaupun ada kehendak memunculkan rasa kecewa atau marah, munculnya pun masih terjaga seperti: 



Kau pisau bermata dua/ menghiris dua luka/ mengharap darah/mengalir tanpa merasa/  / dan aku tetap darah/ yang mengalir dari luka yang parah/dari duka yang sangat merah



Karena perasaan luka dan duka yang sangat merah itu ditutupnya juga dengan penerimaan dalam pemujaan implisit seperti : kau dan aku adalah satu/ tanpa kilauan matamu/ tiadalah merah darahku/. Dalam pemahaman saya, bahkan kemarahan pun diungkapkan dengan romantisme yang manis. Karena tanpa kilauan matamu, tiadalah merah darahku. Jadi tanpa yang satu maka yang satunya lagi tidak akan berarti. Romantisme yang padat, indah dan mengagumkan, buat saya.

        Rosmiaty dalam karya-karyanya ini lebih melakukan introspeksi diri daripada meletakan kesalahan kepada orang di luar dirinya. Sikap begini sungguh tidak gampang kalau tidak muncul dari orang yang tawadhu, taufik dan tauhid. Seorang Rosmiaty nampaknya menjauh dari sikap kebanyakan umat yang egois, selfish bahkan narcis ketika telah merasa meraih popularitas dan berada di atas.  Karyanya memperlihatkan bahawa hubungan dengan Allah SWT itu akan tercapai bila hubungan dengan manusia berjalan baik dan mulus.

            Dari seratus puisi yang dikirim kepada saya, penyair selalu dengan cermat menuliskan nama kota dan tahun di tiap akhir puisi tersebut. Buat saya ini juga menarik, karena nampaknya ruang dan waktu bagi penyair bukanlah sesuatu yang sia-sia dan bisa disia-siakan. Di mana dan kapan saja, maka keberadaannya harus bermakna dan memberikan inspirasi. Rosmiaty, seperti yang sudah saya katakan sebelumnya bahawa beliau selalu berfikir sambil berzikir dan selalu berzikir sambil merenung tentang sang Pencipta dan ciptaan-Nya dalam semesta. Banyak karya beliau yang membuat saya ingin dan terpancing berbicara atau mengulas dan menuliskan dengan banyak juga. Tetapi ruang ini terlalu sempit untuk mengulas semuanya.

           Setakat ini saja dan semoga pembicaraan ini bermakna dan Rosmiaty Shaari semakin banyak berkarya dan semakin pula berjaya. Salam sastera. 



Dr Free Hearty.
Universiti Al-Azhar dan STBA-LIA.
Jakarta