KATA PENGANTAR
Rosmiaty Shaari: Dalam fikir dan zikir.
Menulis
puisi itu tidak mudah. Membaca dan
memahami puisi sama tidak mudahnya. Puisi berbeza dengan prosa yang memberikan gambaran
lebih jelas dan lebih detil. Puisi bermain kata dengan lebih menggunakan saripatinya.
Memakai diksi dalam puisi memerlukan kepiawaian pemilihan kata. Memilih diksi padat makna dengan estetika dan etika tertata
dan terjaga bukanlah pekerjaan mudah. Penulisan
puisi (juga karya sastera yang lain, tentunya) memerlukan kematangan berfikir dalam
memaknai Semesta.
Ros |
Membaca
puisi-puisi Rosmiaty saya seperti bertemasya. Temasya spiritual yang penuh
estetika dan etika serta menyentuh hingga ke lubuk jiwa. Saya terpesona dengan majas
yang digunakannya. Pemujaan penyair terhadap Allah SWT terasa kental dalam
karyanya. Penyair tampak berserah diri dengan penuh sungguh kepada sang Pencipta.
Pemujaan kepada-Nya, juga terurai pula lewat kekaguman kepada hasil ciptaan-Nya.
Pemujaan dan kekaguman itu diekspresikannya dengan cantik, halus, lembut
lewat metafora-metafora indah bahkan kadang-kadang romantisme juga muncul.
Ada pula kepiawaian penyair yang lain ketika
dia menyandingkan potret alam dengan puisi-puisinya. Ini membantu pembaca
menjalani imajinasi dan memancing asosiasi ketika membaca karya-karya puisi
Rosmiaty. Menyandingkan dua hal ini, visual dan verbal, memerlukan kecerdasan,
agar ada garis hubung antara gambar dan kata. Rosmiaty memiliki kemampuan itu.
Banyak
puisi Rosmiaty melukiskan tentang wisata spiritual itu, kalau tidak bisa dikatakan
semua puisinya. Rosmiaty berzikir dalam berfikir, dan berfikir dalam berzikir. Karya-karyanya menggambarkan dua hal ini
dengan penuh etika dan estetika. Sebagai manusia, hubungan penyair dengan Allah
(habblul min Allah) dan hubungannya dengan manusia (habblul min annaas) terlihat
begitu intens. Penyair, selain memuja dan menyerahkan diri kepada Allah SWT,
juga menaruh respek dan penghargaan terhadap manusia. Sikapnya yang sangat tawadhu, lebih banyak diam dalam dunia nyata bahkan
seperti berusaha merunduk malu. Kualitas dirinya tampak cemerlang lewat dunia
kata dengan pemilihan diksi penuh kelembutan dan keindahan. Rosmiaty jauh lebih
‘lincah’ bersuara dalam dunia kata. Dia berselancar dengan gerak-geri indah,
meliuk dan membawa kita berwisata spiritual.
Semak gaya bahasa yang digunakan Rosmiaty dalam “Gerimis Merecup” :
Semak gaya bahasa yang digunakan Rosmiaty dalam “Gerimis Merecup” :
bagai si kecil pengutip lelah/ kukutip
kuntuk-kuntum sirah/ dari benang berserak perak/kuhimpun menjadi surah/ sehelai
demi sehelai/ kutadah di atas sajadah/ /
lelah nafasku larut dalam diam-Mu…?
Rima dalam
simile dengan akhir “ah” seperti
sikap yang penuh penyerahan, tetapi bukan menyerah. Meski lelah, tetapi lelah
yang tidak menyerah seperti dalam bunyi rima “ai” dalam sehelai demi
sehelai itu dihimpunnya tanpa lelah tanpa menyerah. Lalu bunyi aliterasi “ak” dari benang berserak perak dan ditutup dengan kata “Mu” yang nampaknya diarahkan kepada yang
Kuasa. Keindahan dan ketegasan serta ketegaran bersatu di sini.
Rosmiaty
menggabungkan etika dan estetika dengan halus, mulus, tertata dan terjaga. Cintanya kepada suami,
anak, dan sahabat tidak membuat cinta kepada Tuhan menjadi terbengkalai. Meskipun
ada luka di jantung, bisa didamaikan dalam bulan Rejab, dalam rindu zikir kasih
mereka; seperti dialog antara dinda
dan kanda dalam Di Bawah Naungan Rejab:
dalam
tidur/ jantungmu bersuara mengejutkan jantungku/ mari kita sama-sama bersahur,
dinda/ kita lupakan tentang hiba untuk/ membelah seketika/ jantung kita/………./benar,
kanda/ mari kita tautkan retak bulan/………/jika begitu dinda/ mari ikutku/ menuju
daerah paling sunyi/ kanda imam dinda makmum/kita satukan menjadi degup satu
nadi/…… /ya, kanda/ bawalah dinda ke daerah itu/ langit Rejab sudah memberi
isyarat/ rindu zikir kasih kita.
Derita dan luka pun bisa dinikmati dan diterima. Penderitaan dijadikan pelajaran berharga yang nikmat. Bukan kesakitan atau kepedihan tertusuk duri, tetapi pelajaran yang bisa didapatkan dari rasa sakit itu. Semak dalam Rose Among The Roses: Ya, Fatah/ Ya Salim/ ini duri yang kau beri/ adalah keinsafan untuk mengukuh kekuatan/ bukan untuk melukakan… Atau, dalam puisinya Nikmatnya Sengsara yang bagi Rosmiaty bahkan takut adalah kesengsaraan. Suatu ketegasan, keberanian bahkan sikap optimis dengan keyakinan tinggi terbayang dalam karyanya. Ini hanya dimiliki oleh mereka yang begitu percaya dengan kekuasaan Tuhan. Pertolongan Allah SWT selalu ada bagi mereka yang berdoa dan berusaha. Jadi, tidak perlu ada perasaan takut. Tuhan selalu ada dan tidak pernah tidur. Melalui puisinya Rosmiaty menunjukkan kemampuannya dalam taufik dan tauhid.
Dialog dengan Tuhan dilakukan beliau
dengan lembut dan penuh etika yang terjaga. Sapaan terhadap Tuhan selalu
diawali dengan huruf kapital menyebut Engkau
dan Nya dalam; /dari
bahasa pasir yang Engkau taburkan/ di pesisir air.. atau ungkapannya dalam Izinkan Aku Memaut KasihMu: /belumlah aku kekasih-Nya/ meski aku
mengasihi-Nya/. Maknanya dalam, membuat saya ikut merenung dengan kalimat
ini. Kesedaran dan penyerahan dengan penerimaan yang ikhlas dalam keimanan yang
jelas. Semak pula dalam Ratib dan ratap:
Cinta yang tak sempurna/ tidaklah layak
aku tangisi/ meski sujudku berkali/ Engkau memerhati/ aku masih mencari diri/
yang hilang dalam ilusi./
Kau pisau bermata dua/ menghiris dua
luka/ mengharap darah/mengalir tanpa merasa/
/ dan aku tetap darah/ yang mengalir dari luka yang parah/dari duka yang
sangat merah
Karena
perasaan luka dan duka yang sangat merah
itu ditutupnya juga dengan penerimaan dalam pemujaan implisit seperti : kau dan aku adalah satu/ tanpa kilauan
matamu/ tiadalah merah darahku/. Dalam pemahaman saya, bahkan kemarahan pun
diungkapkan dengan romantisme yang manis. Karena tanpa kilauan matamu, tiadalah merah
darahku. Jadi tanpa yang satu maka yang satunya lagi tidak akan berarti.
Romantisme yang padat, indah dan mengagumkan, buat saya.
Rosmiaty dalam karya-karyanya ini
lebih melakukan introspeksi diri daripada meletakan kesalahan kepada orang di
luar dirinya. Sikap begini sungguh tidak gampang kalau tidak muncul dari orang
yang tawadhu, taufik dan tauhid. Seorang Rosmiaty nampaknya menjauh dari sikap
kebanyakan umat yang egois, selfish bahkan narcis ketika telah merasa meraih
popularitas dan berada di atas. Karyanya
memperlihatkan bahawa hubungan dengan Allah SWT itu akan tercapai bila hubungan
dengan manusia berjalan baik dan mulus.
Dari seratus puisi yang dikirim
kepada saya, penyair selalu dengan cermat menuliskan nama kota dan tahun di
tiap akhir puisi tersebut. Buat saya ini juga menarik, karena nampaknya ruang
dan waktu bagi penyair bukanlah sesuatu yang sia-sia dan bisa disia-siakan. Di mana
dan kapan saja, maka keberadaannya harus bermakna dan memberikan inspirasi.
Rosmiaty, seperti yang sudah saya katakan sebelumnya bahawa beliau selalu berfikir
sambil berzikir dan selalu berzikir sambil merenung tentang sang Pencipta dan ciptaan-Nya
dalam semesta. Banyak karya beliau yang membuat saya ingin dan terpancing
berbicara atau mengulas dan menuliskan dengan banyak juga. Tetapi ruang ini
terlalu sempit untuk mengulas semuanya.
Setakat
ini saja dan semoga pembicaraan ini bermakna dan Rosmiaty Shaari semakin banyak
berkarya dan semakin pula berjaya. Salam sastera.
Dr Free
Hearty.
Universiti Al-Azhar dan STBA-LIA.
Jakarta
Universiti Al-Azhar dan STBA-LIA.
No comments:
Post a Comment