(disampaikan pada: Bincang Karya Pulara 5 Pulau Pangkor, Perak, Malaysia
11 Desember 2014)
Banyak
jenis puisi, yang oleh para ahli diklasifikasi dalam berbagai jenis dan bentuk.
Tapi, saya tidak akan membahas pembagian, mematok penjenisan dan bentuk
penulisannya. Saya hanya menangkap daya
ucap penyair perempuan yang kini tinggal di Melaka, yang baru-baru ini menerima
anugerah HSPM (Hadiah Sastra Perdana Malaysia, 2013) yakni Rosmiaty Shaari. Dua
tahun silam, saya diberi Rosmiaty Shaari kumpulan puisinya “Dari Hitam Putih
Menjadi Zarah”, lalu beberapa puisi lainnya sempat saya baca dalam antologi Meditasi Dampak 70 dan Menyirat Cinta
Haqiqinya SN. Dato’ Kemala dan Anugerah Puisi Dunia 2014 oleh Numera.
Ketika
Malim Ghozali PK, pengarah PULARA 5 ( Puisi dan Lagu-lagu Rakyat antarbangsa)
dalam undangannya meminta saya membicarakan buku Rosmiaty Shaari yang baru
terbit, yakni Kembali kepada Fitrah,
2014 terbitan ITBM, saya menyanggupinya. Pada hal saya belum membaca
sajak-sajak yang diantar oleh DR. Free Hearty tersebut. Namun sambil menunggu
kiriman untunglah saya mendapatkannya dari Djazlam Zainal, dalam sebuah
kesempatan di Bandung, Indonesia. Saya pun mulai membalik-balik halaman per halaman
selama dalam perjalanan Bandung-Jakarta-Padang. Membaca sajak, tentu tak
semudah membaca sebuah berita selintas di suratkabar, karena sajak atau puisi
punya kekuatan pada diksi yang membangun frasa-frasa di setiap lariknya.
Apalagi membaca sajak Rosmiaty Shaari yang berisi tentang hal-hal kemanusiaan,
ketuhanan dan benih-benih pemikiran yang filosofis.
Rosmiaty
Shaari, yang sudah menulis berbagai genre sastra sejak usia 17-an tahun ini,
kemudian bersenyap-senyap sejak menikah, ternyata tak mampu menghindar dari
keinginannya untuk tetap menulis. Ia tak peduli, puisi jenis apa yang ia tulis,
yang penting menulis dan menulis dan menyerahkannya kepada pemerhati, kritisi
sastra apa dan bagaimana karya-karyanya di apresiasi. Sebagaimana catatannya di
bawah ini:
………………..
Ke dua: Ada yang
meronta, entah bagaimana muncul pun saya tidak tahu. Ia lahir dari jiwa atau
sukma membawa kepada fikiran, ditolak pula oleh rangsangan tubuh untuk melengkapkan
kepada penyempurnaan hasil sesebuah sajak. Saya merasa suatu keajaiban setiap
kali berpuisi, seperti seorang ibu yang melahirkan seorang bayi, bukan merasa
seronok tapi nikmat kesakitan itu yang membawa kepada kepuasan batini. Karena
setiap kali saya berpuisi, saya akan merasai jerih dan payahnya, menggendong
dengan beban fikiran yang sarat, sebelum mampu saya melahirkannya.
Ke tiga: Ya,
saya juga tidak terlepas daripada ingin
mencari, menggali, meneliti, mengungkap memberi dan berkongsi. Kalaulah melalui
berpuisi, saya mampu mendekati khalayak pembaca saya, mengungkap tentang
kebesaran dan keagungan al Haq, apakah yang lebih indah selain berupaya membuka
minda mereka untuk turut memikirkan apa yang saya pikirkan. Kalau saya
meraba-raba dalam kegelapan pula, saya mengharapkan ada khalayak yang dapat
membantu saya menerangkan kegelapan itu. Pesan arwah ayahanda saya, menelusuri
jalan yang lurus itu mudah, tetapi sangatlah tidak mudah. Mengapa?
Keempat: Pintu dunia kepenyairan ini sudah terbuka luas
dan saya telah memasukinya!
(Dari Hitam Putih Menjadi Zarah, Pengantar
Penulis, hal. xi)
*
Dan
memang penyair kelahiran 25 Mei 1961 di Teluk Intan Perak, Malaysia ini
memperlihatkan kepiawaiannya dalam mengolah kata dalam beberapa sajak-sajaknya.
Untuk menyatakan kekaguman, ketakberdayaan, keterenyuhannya ia menemukan diksi
yang jarang dipakai oleh penyair lainnya, yakni ‘ya, ayu hai’
yang sudah menjadi icon tersendiri. Meski pun dalam sajak-sajaknya kita sering
menemui diksi dari Asmaul Husna
seperti; Karim, Rahim, Rahman, Rabb,
Bilal, Haq dan seterusnya yang merupakan resiko tak terelakkan dari sajak-sajak
ketuhanan.
Selain
ya ayu hai yang saya temukan sebanyak 11 kali dari 8
judul sajak yang terangkum dalam Kembali kepada Fitrah, juga saya temukan dalam
sajak “Tentramlah Kalbu yang Lembut Berbalut Salju” (Dari Hitam Putih Menjadi
Zarah, hal. 34). yang terasa kuat dan cukup dahsyat untuk menyampaikan rasa tak
terhingga. Selain itu, penyair juga menemukan diksi lain seperti; bebenang (lihat sajak; Selamat Datang Cahaya, Lailatulqadar,
Gelombang Mimpi, Catatan Nurani), meski penyair tak bisa mengelak dari
pengulangan diksi yang begitu ia akrapi seperti halnya; merah (saga), darah,
zikir, fikir, menggelepar, lokan, perdu dan nurani. Setelah membaca buku puisi
terbitan ITBM Berhad ini, saya menemukan sedikitnya 22 kata ‘nurani’ dari 71
judul sajak yang terangkum di dalamnya.
Penyerahan
dirinya yang utuh pada ‘takdir’, kebersamaan dengan kekasihnya, tuhan, dan alam
yang memang disediakan untuk kemaslahatan hidup manusia, yang terkadang
disalahgunakan sehingga kehilangan daya
pukau yang alami. Saya melihat daya ucap Rosmiaty yang cukup khas, yang jarang
ditemui pada penyair wanita lainnya. Sajak-sajaknya mendayu dan mendayu lalu
menyerahkan diri pada ketakberdayaannya pada Yang Maha Berdaya.
Bila
DR. Noorhayati binti Rachman melakukan penelitian tentang daya ucap sastrawan
yang ditulis oleh wanita dan laki-laki ternyata punya perbedaan yang cukup
menyolok, maka hal tersebut terlihat pada Rosmiaty yang tak melakukan pemberontakan dengan frasa yang
kuat dan lantang, melainkan ia uraikan dengan ‘diam’ dan sangat menjaga bunyi
yang lembut dan puitis. Bacalah bait akhir dari sajak Suara yang ditulisnya di Rawamangun Jakarta ini
suaramu hilang
di antara ribuan buku-buku
nafasku
kecundang di antara wajah-wajah ungu
(sajak Suara, hal. 41. KkF)
Sajak
Suara yang terdiri dari empat bait ini, ditulis Rosmiaty Shaari justru ketika
ia jauh dari tanah kelhirannya, bahkan di luar semenanjung Malaysia, yakni di
Ramawangun Jakarta. Sebagai yang
kita ketahui, di Rawamangun ada kampus sebuah perguruan tinggi UNJ (Universitas
Ngeri Jakarta, dulu IKIP) dan Pusat Pengembangan Bahasa. Ia mencari jejak suara
di rak-rak buku, namun yang ditemui dan menjadi kenyataan justru mendengar
jerit pilu yang menyentuh nuraninya, ada
perut yang mertonta, larik yang
cukup sederhana dan ditulis secara langsung ini mampu menusuk relung hati kita
sebagai sesama manusia melihat penderitaan orang lain. Penyair ini kemudian
mempertanyakan perjalanannya yang masuk dari satu buku ke buku lain, tak dapat
ditemuinya.
inilah perjalanan salik
yang perlu kubaca dari setiap buku
yang perlu kueja dari setiap bahasa ilmu
nian
tak dapat kutemui.
Kata
‘nian’ yang sengaja diletakkan dalam satu larik, terasa punya kekuatan yang
membatin. Diksi yang pas untuk menyatakan ketidakberdayaannya, yang ia cari
dalam berbagai buku. Sungguh, benar-benar, atau sangat tak dapat kutemui.
Membaca
sajak-sajak Rosmaiaty Shaari, yang sebagian besarnya bernafas ketuhanan (dari
beberapa sajak-sajaknya dalam “Kembali kepada Firah”, “Dari Hitam Putih Menjadi
Zarah” dan beberapa antologi bersama lainnya), yang berangkat dari hal-hal yang
humanis, rasa kemaanusiaan yang dalam
yang diucapkan dengan frasa-frasa yang khas. Simaklah sajak-sajak; Catatan Waktu Pagi, Suara yang Tak
Terlepaskan, Tafakur si Bulan Putih, Catatan Nurani, Sesudah Sisa, dan
beberapa sajak lainnya.
*
Pengalaman
religiusitas transendental merupakan bagian penting dalam kehidupan sufistik.
Dalam sifatnya yang personal dan eksoterik, pengalaman tersebut memberi nuansa
yang beragam dan unik dalam diri setiap manusia (yang mengalaminya), meski pun
secara umum mengacu pada konstruksi yang sama, yakni kedekatan dengan tuhan.
Kedekatan, atau mendekatkan diri pada Allah Swt yang Maha Agung dan Maha Mulia, pemilik
segala pujian oleh kaum sufi tidak hanya dilakukan dengan pencarian yang harus
bersunyi-sunyi, memendam rindu dan cinta yang berlebihan, dengan mengasingkan
diri dari sesama manusia. Akan tetapi dengan melakukan pembedahan, penelitian
atau pemeriksaan dari zat tuhan itu sendiri, sehingga muncullah pendapat atau
pemikiran baru dari hasil olah nalar manusia yang sangat terbatas tersebut.
Pada pikiran inilah, ketika ia ditulis, sastra muncul membuka ruang yang
proporsional untuk mengungkapkan pengalaman tersebut.
Demikianlah,
suatu ketika, Rosmiaty Shaari tersentak dari tidurnya dan mematikan mimpi
indahnya sebagai ia tulis dalam sajak “Gelombang Mimpi”; Sebelum terbit/ yang muncul
adalah bebenang emas berserak purnama/ singgah di muara mimpi -/ tadi malam/
aku kembali menjadi teja/ menguntum di tengah belantara/ merah kelopak
nyalaku/terbau sirih sumpahan lara/ yang berdetak di sukma. Bait pertama
sajak ini terasa cukup romantis, bagaikan remaja yang sedang sumringah Yang membuat ia semakin meringkuk dalam kerinduan
yang membatin, singgah di muara mimpi bagaikan bebenang emas berserak purnama
(benang-benang melingkar dan mencucuk bagaikan kilau emas)
Tapi
apa hikmah dari Gelombang Mimpi tersebut? Apakah mimpi setelah subuh itu ketika
cahaya fajar menyembul bagaikan memanah langit dari balik bukit atau
gedung-gedung yang merupakan teks telanjang, denotatif? Penyair semakin
menyadari keterbatasannya sebagai manusia yang tidak akan pernah sampai pada
sebuah perjalanan yang hakiki, meski pun setelah menunaikan salat Subuh berdoa
meminta rahmatNya dengan khusuk sehingga fajar datang membentangkan bebenang
berhiaskan kemilau emas, karena hidup di bumi ini hanya sementara;
Ya ayuhai….
berikan aku semangat Rabbi’ah
kunci pertama pembuka hikmah
(Sajak
Gelombang Mimpi, hal. 17. KkF)
Puisi, yang ditulis dalam bahasa
terbatas untuk mengungkapkan keseluruhan ruang yng telah
dilihat, dipahami dan dialami untuk mereflesikan
pikiran, mau tidak mau harus memakai symbol,
metonimi, dan metafora. Rosmiaty Shaari menyadari
kalau ia tak lebih dari zarah di sebutir debu;
aku zarah berterbangan – sebutir debu
melayang tak menentu
belumlah aku kekasihNya – meski aku mengasihiNya
Pada
awal kebangkitan sastra Nusantara, penyair Amir Hamzah dalam beberapa puisinya
yang merindukan tuhan dengan diksi yang pas dan menukik tajam, sempat menjadi
perbincangan beberapa pemerhati di masanya, karena rindunya ingin menemui tuhan
yang tak tercapai, hingga akhirnya ia menyerah. Satu kekasihku/ aku manusia/ rindu rasa/ rindu rupa // di mana engkau/
rupa tiada/ suara sayup/ hanya kata merangkai hati // Engkau cemburu/ Engkau
ganas/ mangsa aku dalam cakarmu/ bertukar tangkap dengan lepas (PadaMu Jua)
Hal
demikianlah yang menjadikan Rosmiaty Shaari sebagai ‘hanya zarah’ tak mampu
mengungguli rasa cinta, rindu dan dendamnya kepada tuhan, sebagai sajaknya Izinkan Aku Memaut Kasih-Mu di bawah
ini:
Seberat batu
yang menghempap Bilal
yang menekan itu
Engkau – melihat kesabaran
sepedih cambuk
yang merambat tubuh Rabbiah
yang menyula
nurani itu Engkau – melihat kesetiaan
tanpaMu takkan
basah bibir bertitir
takkan bergema
tasbih berzikir
lalu puja dan
puji
pasrah dan redha
semua dirahmati
dalam cahaya
yang sedia menemani
Ya Bilal
ya Rabbiah
naïf adalah
kehinaan
takut adalah
kesengsaraan
tak kuat tubuhku
bergulung – gelombangku sonsang
bebanku tak
sehebat pasrahmu
setiaku tak
selezat cintamu
aku zarah
berterbangan – sebutir debu
melayang tak
menentu
belumlah aku
kekasihNya – meski aku mengasihiNya
Ya Rahman
ya Rahim
tak bernilai air
mata oleh ragam olahku
tak berbau
nikmat oleh zikir munajatku
meski berkali
kualir
ratib dan ratab-
cinta yang tak sempurna
tidaklah layak
aku tangisi
meski sujudku
berkali
dan Engkau
memerhati
aku masih mencari
diri
yang hilang
dalam ilusi
Ampuni
aku, Ya Rabb….
(Melaka, 2011 (hal.24, KkF)
*
Wilayah
puisi, bila dilepas-bebaskan maka ia akan menguasai alam yang luas ini. Maksudnya,
sebuah teks dalam puisi akan ditafsirkan dari berbagai sisi, sektor kehidupan,
dengan memperhatikan latar Ipoleksosbud (Idiologi, politik, ekonomi, sosial dan
budaya) penyairnya. Pada hakikatnya sastra bersifat
idiologis, dan dalam idiologi itu tersimpan estetika. Sebagaimana Maman S.
Mahayana dalam bukunya ”Pengarang Tidak Mati: Peranan dan Kiprah Pengarang
Indonesia” yang menyebutkan karya sastra lahir dari sebuah permenungan ide-ide,
dan ide atau gagasan itu dikemas dalam bungkusan sastra. Lebih jauh, Maman menyebutkan;
”Di sinilah
kompromi dan negosiasi antara idiologi dan estetika seyogianya dapat berjalin
kelindan dalam bangunan yang bernama karya sastra, sebab tanpa kompromi dan
negosiasi karya sastra akan terjerembab menjadi karya propaganda atau pamflet
belaka yang terlalu kencang menyuarakan idiologinya atau karya hiburan jika
semangat estetikanya sekadar sebagaai alat hiburan” (2012.Hal. 152)
Rosmiaty Shaari
yang selalu menggendong beban pikiran yang sarat sebagaimana diakuinya di atas,
ternyata mampu ”mengucapkannya” dengan sempurna. Dalam kumpulan puisi ini,
ditemui beberapa sajak yang sarat dengan perenungan, sebagaimana sajak-sajak;
’Di Negeri Cacing’ dan ’Pisau dan Darah’. Sajak Pisau dan Darah yang ditulis dengan frasa-frasa sederhana
mampu menggiring imajinasi pembaca ke asal muasal, sebab dan akibat, dan pesan
yang disampaikan terasa mengalir; kau dan
aku adalah satu/ tanpa kilauan matamu/ tiadalah merah darahku.
Baik sajak Pisau
dan Darah, mau pun sajak Di Negeri Cacing yang merupakan perenungan penyairnya
dalam memperhatikan alam di sekitarnya, lalu tiadalah artinya sebungkah daging
yang melapisi tulang sebagai kerangka manusia. Cacing yang merupakan makrifat
alam, hidup dalam tanah, mati menjadi tanah, seperti juga si ’aku’ lirik yang
datang dari tanah dan pulang kembali kepada tanah. Berapalah harga sekepal
tanah yang menjadikan tubuh kita tak lebih dari seekor cacing? Sedangkan dalam
Pisau dan Darah, ’aku’ lirik yang berasal dari sumsum nestapa adalah darah yang
menyala, yang senyap di pembuluh rahasia. Simaklah sajak Pisau dan Darah di
bawah ini;
Kau sebilah pisau bermata dua
menyilau dalam cahaya
mengelar ikut selera
Aku darah merah menyala
berasal dari sumsum nestafa
senyap aku di pembuluh rahsia
Kau pisau bermata dua
menghiris dua luka
mengharap darah
mengalir tanpa merasa
Dan aku tetap darah
yang mengalir dari luka yang parah
dari duka yang sangat merah
Kau dan aku adalah satu
tanpa kilauan matamu
tiadalah merah darahku...
Melaka, 2011 (hal.26.KkF)
*
Setelah membaca
buku puisi Kembali kepada Fitrah ini, saya berkesimpulan bahwa penyair tidak
terlalu berbelit dengan pilihan kata. Diksi dan frasa yang membangun
larik-lariknya terlihat sederhana namun tetap menimbulkan kesan yang mendalam.
Dari 71 judul sajak yang terkandung di dalam buku ini, sebagian besar bertema
ketuhanan, sehingga kesan religius cukup mengemuka dengan mengetengahkan
riwayat para sufi, munculnya beberapa nama lain dari Allah Swt (asmaul
husna). Juga tema-tema sosial
kemanusiaan, selain sajak perenungan yang berbau filsafat.
Secara keseluruhan,
lebih banyak menceritakan perjalanan hidup manusia tentang cinta, lalu bertransformasi menjadi pencarian tuhan
dan ketenangan diri. Rasanya tidaklah berlebihan bila saya menyebut buku puisi
ini berisikan sajak-sajak Sufisme Humanistik.
Padang, 5 Desember 2014
Bacaan:
1.
Rosmaity Shaari: Kumpulan Puisi Kembali kepada Fitrah. ITBM Berhad, Kuala
Lumpur, 2014.
2.
Rosmiaty Shaari, Kumpulan Puisi Dari Hitam Putih Menjadi Zarah. I Man
Creative, Melaka. 2011
3.
Maman S. Mahayana: Pengarang Tidak Mati: Peranan dan Kiprah Pengarang
Indonesia. Nuansa, Bandung 2012
SYARIFUDDIN
ARIFIN: Penerima
Anugerah Puisi Dunia 2014 dari Numera Malaysia ini lahir di Jakarta. Pendidikan
S1 jurusan Sastra dan Bahasa Indonesia dan Akademi Ilmu Komunikasi (AIK)
Padang. Menulis genre sastra; novel, cerpen, puisi, cerita anak, dan naskah
sandiwara yang dimuat di berbagai media cetak (suratkabar dan majalah) terbitan
Padang dan Jakarta, termasuk majalah sastra Horison. Salah seorang penggiat Bengkel
Sastra Ibukota (BSI) Jakarta, 1980-an. Beberapa puisi dan cerpennya dimuat
dalam puluhan antologi terbitan; Aceh, Padang, Jambi, Jakarta, Jogjakarta,
Bandung, Banjarmasin, Semarang, Jogya, Banten (Indonesia), Pulau Pinang dan
Kuala Lumpur (Malaysia), Fuchun MAEC at Woodland (Singapura). Kumpulan
cerpennya Gamang (1989) dan buku puisi tunggalnya Ngarai (1980), Catatan
Angin di Ujung Ilalang (1998), dan Maling Kondang (2012). Melakukan
roadshow ke beberapa kota di Indonesia.
Pemain/sutradara teater
ini juga main dalam beberapa
sinetron/film di Indonesia dan Malaysia.
Email: syrf_arifin@yahoo.com
Alamat:
SYARIFUDDIN ARIFIN
SYARIFUDDIN ARIFIN
Jalan.
Dakota No. 61 (ujung)
RT
1 RW III
Kelurahan
Dadok Tunggul Hitam
Padang.
25176
Contac
Person: 08126786755
No comments:
Post a Comment