Wednesday 14 January 2015

ROSMIATY SHAARI YANG KEMBALI KEPADA FITRAHNYA - Syarifuddin Arifin, Padang, Sumatera, Indonesia



(disampaikan pada:  Bincang Karya Pulara 5  Pulau Pangkor, Perak, Malaysia

11 Desember 2014)


Dalam denyut  nadi setiap manusia, ada puisi. Pada lambaian dedaun dan desau angin musim kemarau, membisiklah puisi. Di tengah kota yang hiruk-pikuk, gersang dan mengenaskan, puisi mengalir seenaknya di sana. Puisi adalah kehidupan kita. Makanya, bila ada seseorang yang menyebut kalau hidupnya kering, sering merasa jenuh, terasing dan tercampak dari komunitasnya, itu tak lain karena ia tak mampu meraih nuansa puitis dari dalam hidupnya sendiri. Biasanya, mereka yang mampu menyalurkan nuansa puitis dengan idiom-idiom yang ia miliki, nampak romantis, suka membenturkan pendapat orang lain ke hal-hal yang ada dalam pikirannya, sehingga ia (sering) menemukan ide-ide baru dengan daya ucap yang baru pula.

 Banyak jenis puisi, yang oleh para ahli diklasifikasi dalam berbagai jenis dan bentuk. Tapi, saya tidak akan membahas pembagian, mematok penjenisan dan bentuk penulisannya.  Saya hanya menangkap daya ucap penyair perempuan yang kini tinggal di Melaka, yang baru-baru ini menerima anugerah HSPM (Hadiah Sastra Perdana Malaysia, 2013) yakni Rosmiaty Shaari. Dua tahun silam, saya diberi Rosmiaty Shaari kumpulan puisinya “Dari Hitam Putih Menjadi Zarah”, lalu beberapa puisi lainnya sempat saya baca dalam antologi  Meditasi Dampak 70 dan Menyirat Cinta Haqiqinya SN. Dato’ Kemala dan Anugerah Puisi Dunia 2014 oleh Numera.

Ketika Malim Ghozali PK, pengarah PULARA 5 ( Puisi dan Lagu-lagu Rakyat antarbangsa) dalam undangannya meminta saya membicarakan buku Rosmiaty Shaari yang baru terbit, yakni  Kembali kepada Fitrah, 2014 terbitan ITBM, saya menyanggupinya. Pada hal saya belum membaca sajak-sajak yang diantar oleh DR. Free Hearty tersebut. Namun sambil menunggu kiriman untunglah saya mendapatkannya dari Djazlam Zainal, dalam sebuah kesempatan di Bandung, Indonesia. Saya pun mulai membalik-balik halaman per halaman selama dalam perjalanan Bandung-Jakarta-Padang. Membaca sajak, tentu tak semudah membaca sebuah berita selintas di suratkabar, karena sajak atau puisi punya kekuatan pada diksi yang membangun frasa-frasa di setiap lariknya. Apalagi membaca sajak Rosmiaty Shaari yang berisi tentang hal-hal kemanusiaan, ketuhanan dan benih-benih pemikiran yang filosofis.

Rosmiaty Shaari, yang sudah menulis berbagai genre sastra sejak usia 17-an tahun ini, kemudian bersenyap-senyap sejak menikah, ternyata tak mampu menghindar dari keinginannya untuk tetap menulis. Ia tak peduli, puisi jenis apa yang ia tulis, yang penting menulis dan menulis dan menyerahkannya kepada pemerhati, kritisi sastra apa dan bagaimana karya-karyanya di apresiasi. Sebagaimana catatannya di bawah ini:

    ………………..                                                                   

Ke dua: Ada yang meronta, entah bagaimana muncul pun saya tidak tahu. Ia lahir dari jiwa atau sukma membawa kepada fikiran, ditolak pula oleh rangsangan tubuh untuk melengkapkan kepada penyempurnaan hasil sesebuah sajak. Saya merasa suatu keajaiban setiap kali berpuisi, seperti seorang ibu yang melahirkan seorang bayi, bukan merasa seronok tapi nikmat kesakitan itu yang membawa kepada kepuasan batini. Karena setiap kali saya berpuisi, saya akan merasai jerih dan payahnya, menggendong dengan beban fikiran yang sarat, sebelum mampu saya melahirkannya.

Ke tiga: Ya, saya juga  tidak terlepas daripada ingin mencari, menggali, meneliti, mengungkap memberi dan berkongsi. Kalaulah melalui berpuisi, saya mampu mendekati khalayak pembaca saya, mengungkap tentang kebesaran dan keagungan al Haq, apakah yang lebih indah selain berupaya membuka minda mereka untuk turut memikirkan apa yang saya pikirkan. Kalau saya meraba-raba dalam kegelapan pula, saya mengharapkan ada khalayak yang dapat membantu saya menerangkan kegelapan itu. Pesan arwah ayahanda saya, menelusuri jalan yang lurus itu mudah, tetapi sangatlah tidak mudah. Mengapa?

  Keempat: Pintu dunia kepenyairan ini sudah terbuka luas dan saya telah memasukinya!

  (Dari Hitam Putih Menjadi Zarah, Pengantar Penulis, hal. xi)

*

Dan memang penyair kelahiran 25 Mei 1961 di Teluk Intan Perak, Malaysia ini memperlihatkan kepiawaiannya dalam mengolah kata dalam beberapa sajak-sajaknya. Untuk menyatakan kekaguman, ketakberdayaan, keterenyuhannya ia menemukan diksi yang jarang dipakai oleh penyair lainnya, yakni ‘ya, ayu hai’ yang sudah menjadi icon tersendiri. Meski pun dalam sajak-sajaknya kita sering menemui diksi dari  Asmaul Husna seperti;  Karim, Rahim, Rahman, Rabb, Bilal, Haq dan seterusnya yang merupakan resiko tak terelakkan dari sajak-sajak ketuhanan.

Selain ya ayu hai  yang saya temukan sebanyak 11 kali dari 8 judul sajak yang terangkum dalam Kembali kepada Fitrah, juga saya temukan dalam sajak “Tentramlah Kalbu yang Lembut Berbalut Salju” (Dari Hitam Putih Menjadi Zarah, hal. 34). yang terasa kuat dan cukup dahsyat untuk menyampaikan rasa tak terhingga. Selain itu, penyair juga menemukan diksi lain seperti;  bebenang (lihat sajak;  Selamat Datang Cahaya, Lailatulqadar, Gelombang Mimpi, Catatan Nurani), meski penyair tak bisa mengelak dari pengulangan diksi yang begitu ia akrapi seperti halnya; merah (saga), darah, zikir, fikir, menggelepar, lokan, perdu dan nurani. Setelah membaca buku puisi terbitan ITBM Berhad ini, saya menemukan sedikitnya 22 kata ‘nurani’ dari 71 judul sajak yang terangkum di dalamnya.

Penyerahan dirinya yang utuh pada ‘takdir’, kebersamaan dengan kekasihnya, tuhan, dan alam yang memang disediakan untuk kemaslahatan hidup manusia, yang terkadang disalahgunakan sehingga  kehilangan daya pukau yang alami. Saya melihat daya ucap Rosmiaty yang cukup khas, yang jarang ditemui pada penyair wanita lainnya. Sajak-sajaknya mendayu dan mendayu lalu menyerahkan diri pada ketakberdayaannya pada Yang Maha Berdaya.

Bila DR. Noorhayati binti Rachman melakukan penelitian tentang daya ucap sastrawan yang ditulis oleh wanita dan laki-laki ternyata punya perbedaan yang cukup menyolok, maka hal tersebut terlihat pada Rosmiaty yang tak  melakukan pemberontakan dengan frasa yang kuat dan lantang, melainkan ia uraikan dengan ‘diam’ dan sangat menjaga bunyi yang lembut dan puitis. Bacalah bait akhir dari sajak Suara yang ditulisnya di Rawamangun Jakarta ini

suaramu hilang di antara ribuan buku-buku

nafasku kecundang di antara wajah-wajah ungu

 (sajak Suara, hal. 41. KkF)                                                                                                                                           

Sajak Suara yang terdiri dari empat bait ini, ditulis Rosmiaty Shaari justru ketika ia jauh dari tanah kelhirannya, bahkan di luar semenanjung Malaysia, yakni di Ramawangun Jakarta. Sebagai yang kita ketahui, di Rawamangun ada kampus sebuah perguruan tinggi UNJ (Universitas Ngeri Jakarta, dulu IKIP) dan Pusat Pengembangan Bahasa. Ia mencari jejak suara di rak-rak buku, namun yang ditemui dan menjadi kenyataan justru mendengar jerit pilu yang menyentuh nuraninya, ada perut yang mertonta,  larik yang cukup sederhana dan ditulis secara langsung ini mampu menusuk relung hati kita sebagai sesama manusia melihat penderitaan orang lain. Penyair ini kemudian mempertanyakan perjalanannya yang masuk dari satu buku ke buku lain, tak dapat ditemuinya.

inilah perjalanan salik

yang perlu kubaca dari setiap buku

yang perlu kueja dari setiap bahasa ilmu

nian

tak dapat kutemui.

Kata ‘nian’ yang sengaja diletakkan dalam satu larik, terasa punya kekuatan yang membatin. Diksi yang pas untuk menyatakan ketidakberdayaannya, yang ia cari dalam berbagai buku. Sungguh, benar-benar, atau sangat tak dapat kutemui.

Membaca sajak-sajak Rosmaiaty Shaari, yang sebagian besarnya bernafas ketuhanan (dari beberapa sajak-sajaknya dalam “Kembali kepada Firah”, “Dari Hitam Putih Menjadi Zarah” dan beberapa antologi bersama lainnya), yang berangkat dari hal-hal yang humanis, rasa kemaanusiaan yang dalam yang diucapkan dengan frasa-frasa yang khas. Simaklah sajak-sajak; Catatan Waktu Pagi, Suara yang Tak Terlepaskan, Tafakur si Bulan Putih, Catatan Nurani, Sesudah Sisa, dan beberapa sajak lainnya.

*

Pengalaman religiusitas transendental merupakan bagian penting dalam kehidupan sufistik. Dalam sifatnya yang personal dan eksoterik, pengalaman tersebut memberi nuansa yang beragam dan unik dalam diri setiap manusia (yang mengalaminya), meski pun secara umum mengacu pada konstruksi yang sama, yakni kedekatan dengan tuhan. Kedekatan, atau mendekatkan diri pada  Allah Swt yang Maha Agung dan Maha Mulia, pemilik segala pujian oleh kaum sufi tidak hanya dilakukan dengan pencarian yang harus bersunyi-sunyi, memendam rindu dan cinta yang berlebihan, dengan mengasingkan diri dari sesama manusia. Akan tetapi dengan melakukan pembedahan, penelitian atau pemeriksaan dari zat tuhan itu sendiri, sehingga muncullah pendapat atau pemikiran baru dari hasil olah nalar manusia yang sangat terbatas tersebut. Pada pikiran inilah, ketika ia ditulis, sastra muncul membuka ruang yang proporsional untuk mengungkapkan pengalaman tersebut.

Demikianlah, suatu ketika, Rosmiaty Shaari tersentak dari tidurnya dan mematikan mimpi indahnya sebagai ia tulis dalam sajak “Gelombang Mimpi”;  Sebelum terbit/ yang muncul adalah bebenang emas berserak purnama/ singgah di muara mimpi -/ tadi malam/ aku kembali menjadi teja/ menguntum di tengah belantara/ merah kelopak nyalaku/terbau sirih sumpahan lara/ yang berdetak di sukma. Bait pertama sajak ini terasa cukup romantis, bagaikan remaja yang sedang sumringah  Yang membuat ia semakin meringkuk dalam kerinduan yang membatin, singgah di muara mimpi bagaikan bebenang emas berserak purnama (benang-benang melingkar dan mencucuk bagaikan kilau emas)

Tapi apa hikmah dari Gelombang Mimpi tersebut? Apakah mimpi setelah subuh itu ketika cahaya fajar menyembul bagaikan memanah langit dari balik bukit atau gedung-gedung yang merupakan teks telanjang, denotatif? Penyair semakin menyadari keterbatasannya sebagai manusia yang tidak akan pernah sampai pada sebuah perjalanan yang hakiki, meski pun setelah menunaikan salat Subuh berdoa meminta rahmatNya dengan khusuk sehingga fajar datang membentangkan bebenang berhiaskan kemilau emas, karena hidup di bumi ini hanya sementara;

                  Ya ayuhai….

                  berikan aku semangat Rabbi’ah

                  kunci pertama pembuka hikmah

  (Sajak Gelombang Mimpi, hal. 17. KkF)



Puisi, yang ditulis dalam bahasa terbatas untuk mengungkapkan keseluruhan ruang yng telah

dilihat, dipahami dan dialami untuk mereflesikan pikiran, mau tidak mau harus memakai symbol,

metonimi, dan metafora. Rosmiaty Shaari menyadari kalau ia tak lebih dari zarah di sebutir debu;



aku zarah berterbangan – sebutir debu

melayang tak menentu

belumlah aku kekasihNya – meski aku mengasihiNya

Pada awal kebangkitan sastra Nusantara, penyair Amir Hamzah dalam beberapa puisinya yang merindukan tuhan dengan diksi yang pas dan menukik tajam, sempat menjadi perbincangan beberapa pemerhati di masanya, karena rindunya ingin menemui tuhan yang tak tercapai, hingga akhirnya ia menyerah. Satu kekasihku/ aku manusia/ rindu rasa/ rindu rupa // di mana engkau/ rupa tiada/ suara sayup/ hanya kata merangkai hati // Engkau cemburu/ Engkau ganas/ mangsa aku dalam cakarmu/ bertukar tangkap dengan lepas (PadaMu Jua)

Hal demikianlah yang menjadikan Rosmiaty Shaari sebagai ‘hanya zarah’ tak mampu mengungguli rasa cinta, rindu dan dendamnya kepada tuhan, sebagai sajaknya Izinkan Aku Memaut Kasih-Mu di bawah ini:

Seberat batu yang menghempap Bilal

yang menekan itu Engkau – melihat kesabaran

sepedih cambuk yang merambat tubuh Rabbiah

yang menyula nurani itu Engkau – melihat kesetiaan

tanpaMu takkan basah bibir bertitir

takkan bergema tasbih berzikir

lalu puja dan puji

pasrah dan redha

semua dirahmati

dalam cahaya yang sedia menemani



Ya Bilal

ya Rabbiah

naïf adalah kehinaan

takut adalah kesengsaraan

tak kuat tubuhku bergulung – gelombangku sonsang

bebanku tak sehebat pasrahmu

setiaku tak selezat cintamu

aku zarah berterbangan – sebutir debu

melayang tak menentu

belumlah aku kekasihNya – meski aku mengasihiNya

           

Ya Rahman

ya Rahim

tak bernilai air mata oleh ragam olahku

tak berbau nikmat oleh zikir munajatku

meski berkali kualir

ratib dan ratab- cinta yang tak sempurna

tidaklah layak aku tangisi

meski sujudku berkali

dan Engkau memerhati

aku masih mencari diri

yang hilang dalam ilusi

           

Ampuni aku, Ya Rabb….

(Melaka, 2011 (hal.24, KkF)  

*

Wilayah puisi, bila dilepas-bebaskan maka ia akan menguasai alam yang luas ini. Maksudnya, sebuah teks dalam puisi akan ditafsirkan dari berbagai sisi, sektor kehidupan, dengan memperhatikan latar Ipoleksosbud (Idiologi, politik, ekonomi, sosial dan budaya) penyairnya.  Pada hakikatnya sastra bersifat idiologis, dan dalam idiologi itu tersimpan estetika. Sebagaimana Maman S. Mahayana dalam bukunya ”Pengarang Tidak Mati: Peranan dan Kiprah Pengarang Indonesia” yang menyebutkan karya sastra lahir dari sebuah permenungan ide-ide, dan ide atau gagasan itu dikemas dalam bungkusan sastra. Lebih jauh, Maman menyebutkan;

     ”Di sinilah kompromi dan negosiasi antara idiologi dan estetika seyogianya dapat berjalin kelindan dalam bangunan yang bernama karya sastra, sebab tanpa kompromi dan negosiasi karya sastra akan terjerembab menjadi karya propaganda atau pamflet belaka yang terlalu kencang menyuarakan idiologinya atau karya hiburan jika semangat estetikanya sekadar sebagaai alat hiburan” (2012.Hal. 152)

Rosmiaty Shaari yang selalu menggendong beban pikiran yang sarat sebagaimana diakuinya di atas, ternyata mampu ”mengucapkannya” dengan sempurna. Dalam kumpulan puisi ini, ditemui beberapa sajak yang sarat dengan perenungan, sebagaimana sajak-sajak; ’Di Negeri Cacing’ dan ’Pisau dan Darah’. Sajak Pisau dan Darah  yang ditulis dengan frasa-frasa sederhana mampu menggiring imajinasi pembaca ke asal muasal, sebab dan akibat, dan pesan yang disampaikan terasa mengalir; kau dan aku adalah satu/ tanpa kilauan matamu/ tiadalah merah darahku.

Baik sajak Pisau dan Darah, mau pun sajak Di Negeri Cacing yang merupakan perenungan penyairnya dalam memperhatikan alam di sekitarnya, lalu tiadalah artinya sebungkah daging yang melapisi tulang sebagai kerangka manusia. Cacing yang merupakan makrifat alam, hidup dalam tanah, mati menjadi tanah, seperti juga si ’aku’ lirik yang datang dari tanah dan pulang kembali kepada tanah. Berapalah harga sekepal tanah yang menjadikan tubuh kita tak lebih dari seekor cacing? Sedangkan dalam Pisau dan Darah, ’aku’ lirik yang berasal dari sumsum nestapa adalah darah yang menyala, yang senyap di pembuluh rahasia. Simaklah sajak Pisau dan Darah di bawah ini;

Kau sebilah pisau bermata dua

menyilau dalam cahaya

mengelar ikut selera



Aku darah merah menyala

berasal dari sumsum nestafa

senyap aku di pembuluh rahsia



Kau pisau bermata dua

menghiris dua luka

mengharap darah

mengalir tanpa merasa



Dan aku tetap darah

yang mengalir dari luka yang parah

dari duka yang sangat merah



Kau dan aku adalah satu

tanpa kilauan matamu

tiadalah merah darahku...

 Melaka, 2011 (hal.26.KkF)



*

Setelah membaca buku puisi Kembali kepada Fitrah ini, saya berkesimpulan bahwa penyair tidak terlalu berbelit dengan pilihan kata. Diksi dan frasa yang membangun larik-lariknya terlihat sederhana namun tetap menimbulkan kesan yang mendalam. Dari 71 judul sajak yang terkandung di dalam buku ini, sebagian besar bertema ketuhanan, sehingga kesan religius cukup mengemuka dengan mengetengahkan riwayat para sufi, munculnya beberapa nama lain dari Allah Swt (asmaul husna).  Juga tema-tema sosial kemanusiaan, selain sajak perenungan yang berbau filsafat.

Secara keseluruhan, lebih banyak menceritakan perjalanan hidup manusia tentang cinta,  lalu bertransformasi menjadi pencarian tuhan dan ketenangan diri. Rasanya tidaklah berlebihan bila saya menyebut buku puisi ini berisikan sajak-sajak Sufisme Humanistik.

Padang, 5 Desember 2014


Bacaan:


1.       Rosmaity Shaari: Kumpulan Puisi Kembali kepada Fitrah. ITBM Berhad, Kuala Lumpur, 2014.

2.       Rosmiaty Shaari, Kumpulan Puisi Dari Hitam Putih Menjadi Zarah. I Man Creative, Melaka. 2011

3.       Maman S. Mahayana: Pengarang Tidak Mati: Peranan dan Kiprah Pengarang Indonesia. Nuansa, Bandung 2012







SYARIFUDDIN ARIFIN:  Penerima Anugerah Puisi Dunia 2014 dari Numera Malaysia ini lahir di Jakarta. Pendidikan S1 jurusan Sastra dan Bahasa Indonesia dan Akademi Ilmu Komunikasi (AIK) Padang. Menulis genre sastra; novel, cerpen, puisi, cerita anak, dan naskah sandiwara yang dimuat di berbagai media cetak (suratkabar dan majalah) terbitan Padang dan Jakarta, termasuk majalah sastra Horison. Salah seorang penggiat Bengkel Sastra Ibukota (BSI) Jakarta, 1980-an. Beberapa puisi dan cerpennya dimuat dalam puluhan antologi terbitan; Aceh, Padang, Jambi, Jakarta, Jogjakarta, Bandung, Banjarmasin, Semarang, Jogya, Banten (Indonesia), Pulau Pinang dan Kuala Lumpur (Malaysia), Fuchun MAEC at Woodland (Singapura). Kumpulan cerpennya Gamang (1989) dan buku puisi tunggalnya Ngarai (1980), Catatan Angin di Ujung Ilalang (1998), dan Maling Kondang (2012). Melakukan roadshow ke beberapa kota  di Indonesia.

Pemain/sutradara teater ini juga  main dalam beberapa sinetron/film di Indonesia dan Malaysia.


Alamat:
SYARIFUDDIN ARIFIN

Jalan. Dakota No. 61 (ujung)

RT 1 RW III

Kelurahan Dadok Tunggul Hitam

Padang. 25176



Contac Person: 08126786755


Tuesday 6 January 2015

DI MANAKAH HENDAK DICARI KETENANGAN HAKIKI?

DI MANAKAH HENDAK DICARI KETENANGAN HAKIKI?
Prof Madya Dato' Dr Mohd Asri Zainul Abidin

Seseorang bertanya bagaimanakah beliau dapat mencari kebahagiaan yang hakiki dalam menghadapi hidup yang mencabar. Apakah itu sakinah dalam kehidupan?
Sebenarnya, saya sendiri gerun dengan untuk menjawabnya kerana ketenangan dan ketenteraman jiwa yang sebenar tidak boleh sesiapa pun berikan melainkan hanya Allah. Hanya insan-insan yang benar-benar mendampingi diri kepada Allah akan menikmatinya. Saya juga seperti yang bertanya, berusaha mencari dan ingin memperolehinya.

Saya merenung kata-kata al-Imam Ibn Qayyim al-Jauziyyah (meninggal 751H) dalam kitab kerohaniannya yang terkenal ‘Madarij al-Salikin’. Suatu kata-kata yang terbit dari ilmu dan pengalaman kerohanian yang dalam. Kata beliau: “Dalam jantung hati ada keserabutan yang tidak dapat dibersihkan melainkan dengan mengadap Allah, padanya ada kesunyian yang tidak dapat dihilangkan melainkan perdampingan dengan Allah, padanya ada dukacita yang tidak dapat ditanggalkan kecuali dengan kegembiraan mengenali Allah dan ketulusan berhubungan denganNya, padanya ada kegusaran yang tidak ditenangkan melainkan bersama Allah dan kembali kepadaNya, padanya ada api kedukaan yang tidak dapat dipadamkan melainkan redha dengan perintah, larangan dan ketentuan Allah, menghayati kesabaran sehingga bertemuNya, padanya ada kefakiran yang tidak dapat ditampung melainkan dengan cinta dan penyerahan diri kepada Allah, sentiasa mengingatiNya, keikhlasan yang benar kepadaNya”.

Penawar

Itulah penawar bagi jantung hati insan. Itu ubat bagi nurani insan. Dunia dan segala isinya tidak akan dapat membawa kebahagiaan ke dalam sanubari insani, kecuali insan itu mengenali Allah, mendampingiNya, memohon daripadaNya, merintih dan menangis di hadapan kebesaranNya. Insan telah mencuba pelbagai perkara dalam kehidupan, tetapi mereka tetap gagal menemui sakinah, kebahagian dan ketenangan yang hakiki selagi mereka tidak kembali menyerah jiwa raga, ruh dan jasad tunduk dalam sedu dan syahdu mengingati dan bertawakkal kepada Allah.

Manusia mungkin boleh menawarkan harta, wanita dan kuasa, namun belum tentu bersamanya bahagia. Justeru, seorang yang tinggal dalam rumah yang indah dan mewah, belum tentu lebih bahagia dan tenteram jiwa dari seorang yang tinggal di rumah yang usang dan buruk. Seorang wanita yang bersuami orang kaya belum tentu lebih bahagia dari seorang wanita yang bersuami lelaki biasa. Seorang yang beristeri cantik, belum tentu lebih bahagia dari yang beristeri tidak seberapa. Bahkan seorang yang dihidangkan makanan lazat, belum tentu dapat menikmatinya melebihi seorang yang hanya dihidang makanan biasa. Maka, jangan hairan jika negara-negara maju dan kaya seperti Perancis, Germany, Jepun, Austria peratusan rakyat mereka yang membunuh diri tinggi. Kebahagiaan bukan soal harta, tetapi soal jiwa insani yang kahausan kasih dan cinta ilahi.

Al-Quran dan al-Sunnah membimbing insan dalam mencari kebahagian yang hakiki ini. Allah menyebut:
(maksudnya) “Wahai manusia! Sesungguhnya telah datang kepada satu nasihat pengajaran dari Tuhan kamu, dan yang menjadi penawar bagi apa (penyakit-penyakit) yang ada dalam dada kamu, dan juga menjadi petunjuk serta membawa rahmat bagi orang-orang yang beriman”. (Surah Yunus, 57).

Nabi s.a.w pula menyebut:
مَنْ كَانَتْ الْآخِرَةُ هَمَّهُ جَعَلَ اللَّهُ غِنَاهُ فِي قَلْبِهِ وَجَمَعَ لَهُ شَمْلَهُ وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ وَمَنْ كَانَتْ الدُّنْيَا هَمَّهُ جَعَلَ اللَّهُ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَفَرَّقَ عَلَيْهِ شَمْلَهُ وَلَمْ يَأْتِهِ مِنْ الدُّنْيَا إِلَّا مَا قُدِّرَ لَهُ
“Sesiapa yang akhirat itu tujuan utamanya, maka Allah jadikan kekayaannya dalam jiwanya. Allah mudahkan segala urusannya dan dunia akan datang kepadanya dengan hina (iaitu dalam keadaan dirinya mulia). Sesiapa yang menjadikan dunia itu tujuan utamanya, maka Allah akan letakkan kefakirannya antara kedua matanya. Allah cerai beraikan urusannya, dan dunia pula tidak datang kepadanya melainkan dengan apa yang ditetapkan untuknya (iaitu dalam keadaan dirinya hina)”. (Riwayat al-Tirmizi, dinilai hasan oleh al-Albani).


Sakinah

Mengetahui agama belum tentu menjadikan seseorang mendekatkan diri kepada Allah. Betapa banyak insan yang memakai pelbagai gelaran agama, namun mereka gagal mendampingkan diri kepada Allah. Maka, untuk mencari kebahagian dan sakinah, insan bukan sekadar berilmu, tetapi hendaklah mengikhlaskan diri kepada Allah, menyerah dan bergantung kepadaNya. Apabila jiwa bersih dari sebarang unsur syirik, ditanggalkan dari nurani kebesaran dan pergantungan kepada makhluk, ditempatkan hakikat tawakal kepada Allah, sentiasa berdoa; merintih, mengharap, merayu, esakan dan tangisan di hadapan Allah, hanya bergantung kepadaNya, maka insan akan menemui hakikat kenikmatan hidup.

Apabila zahir dalam kehidupannya apa yang dia sering kita ungkapkan dalam Surah al-Fatihah: “Hanya Engkau kami sembah dan hanya Engkau kami mohon pertolongan”, maka zahirlah keyakinan hidup dan kenikmatan yang tiada bertebing bagi sebuah diari riwayat yang singkat ini. Moga kenikmatan yang lebih besar di akhirat menanti. Apabila zahir hakikat ini dalam hidup, lahirlah kehidupan yang berprinsip, dibukakan laluan perjalanan dan sentiasa dibimbing dalam menuju garis penamat riwayat dunia ini. Lahirlah insan soleh yang kakinya memijak bumi, jiwanya bergantung pada Allah. Lahirlah insan soleh yang siangnya bagaikan perwira yang tangkas, namun dalam kesunyian malam dia adalah hamba yang kusyuk dan penuh sendu dan tangis merintih dan merayu kepada Allah Yang Esa.

Apabila sakinah itu Allah berikan dalam kehidupan seseorang, segala rintangan amat kecil kerana dia sedang bersandar kepada yang Maha Agung dan Maha Besar. Kata al-Imam Ibn al-Qayyim: “Sakinah itu ketenteraman dan ketenangan hati nurani. Asalnya dalam hati nurani dan zahir kesannya pada anggota” ( Ibn Qayyim al-Jauziyyah, Tibb al-Qulub 237. Damsyik: Dar al-Qalam).
Demikian sakinah itu hadir dalam jiwa Nabi Ibrahim a.s. ketika dia dilontarkan ke dalam api, hadir dalam jiwa Nabi Musa a.s. ketika dia dikepung oleh Firaun. Demikian kepada sekelian para nabi, terutama nabi kita Muhammad s.a.w. Firman Allah:
(maksudnya): “Kalau kamu tidak menolongnya (Nabi Muhammad) maka sesungguhnya Allah telahpun menolongnya, iaitu ketika kaum kafir (di Makkah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seorang dari dua (Abu Bakar) semasa mereka berlindung dalam sebuah gua, ketika dia berkata kepada sahabatnya: "Janganlah engkau berdukacita, sesungguhnya Allah bersama kita". Maka Allah menurunkan sakinah ke atasnya (Nabi s.a.w) dan menguatkannya dengan bantuan tentera yang kamu tidak melihatnya. Dan Allah menjadikan seruan (syirik) orang-orang kafir terkebawah (hina), dan kalimah Allah (Islam) itulah yang tertinggikerana Allah Maha Kuasa, lagi Maha Bijaksana” (Surah al-Taubah, 40).


Demikian sakinah diturunkan ke dalam hati nurani mereka yang beriman dalam kalangan sahabah Nabi s.a.w yang berjuang pada jalan Allah dan menghadapi cabaran. Firman Allah: (maksudnya) “Dialah Yang menurunkan sakinah ke dalam hati nurani orang-orang yang beriman (semasa mereka marah terhadap angkara musuh) supaya bertambah iman beserta iman mereka yang sedia ada; dan Allah mempunyai tentera langit dan bumi (untuk menolong mereka); dan Allah adalah Maha Mengetahui, lagi Maha Bijaksana”. (Surah al-Fath, 4).

Apabila sakinah itu turun ke dalam jiwa mukmin, tindakan dan bicara mereka melambangkan tindakan dan bicara insan yang berprinsip dan matang. Berbeza dengan musuh atau pihak yang tiada sakinah dalam bicara dan tindakan mereka. Allah menyebut hal ini:
(maksudnya) “Ketika orang-orang yang kafir itu menimbulkan perasaan sombong angkuh yang ada dalam jantung hati mereka -perasaan sombong angkuh secara jahiliyah-, lalu Allah menurunkan sakinah kepada RasulNya dan kepada orang-orang yang beriman, serta meminta mereka tetap berpegang kepada "kalimah Taqwa", sedang mereka (di sisi Allah) adalah orang-orang yang sangat berhak dengan kalimah itu serta menjadi ahlinya. dan (ingatlah), Allah itu Maha mengetahui akan tiap-tiap sesuatu” (Surah al-Fath, 26). Itulah sakinah yang telah Allah turunkan kepada para nabi a.s. dan kepada golongan mukminan yang berjuang mendapatkan redha Allah.


Maka, dalam menelusuri hidup yang mencabar, di zaman yang penuh fitnah ini, tiada yang dapat mententeramkan jiwa kecuali bila Allah menurunkan kebahagiaan dari sisiNya kepada kita. Kata Ibn al-Qayyim dalam Tibb al-Qulub sebab yang membawa seorang kepada sakinah ialah perasaan perdampingan (muraqabah) dengan Allah seakan dia melihat Allah. Apabila perasaan itu bertambah, maka bertambahlah rasa cinta, tunduk, kusyuk, takut dan harap kepadaNya.

Kita mungkin tidak dapat menyelak cabaran dan ujian dalam hidup. Manusia yang zalim dan jahat mungkin cuba merampas pelbagai hak kita dalam kehidupan, namun mereka tidak akan dapat merampas kebahagian dalam jiwa kita kerana sakinah adalah kurniaan Allah yang diturunkan dalam jiwa mukmin. Kita mungkin tidak dapat bersaingan dengan orang lain di sudut kekayaan dunia dan kenikmatannya, tetapi kita sentiasa berpeluang mendapat sakinah jika memohon dan mencarinya di sisi Allah.

Monday 5 January 2015

KEHADIRAN INSAN DALAM KEMBALI KEPADA FITRAH

Oleh Dato' Dr Rahman Shaari


Apabila seseorang mula menatap puisi, dia pasti bersedia untuk berada dalam kawasan asing bahasa. Kawasan asing bahasa jauh berbeza daripada kawasan bahasa asing. Kawasan asing bahasa  ialah kawasan yang tidak menjadi kebiasaan kepada pengguna bahasa secara umumnya, hanya disukai oleh peminat wacana berkaitan. Bukan kecil jumlah orang Melayu, kerana puisi berada di kawasan asing.

Tidak perlulah saya berbicara panjang tentang kawasan asing ini. Sesiapa pun akan dapat faham jika saya katakan dalam percakapan biasa, Usman Awang yang kita kenali berbahasa mudah dalam puisi, tidak akan berkata 'Kami mengunjungi pusara bonda...' sebaliknya akan berkata 'Saya menziarahi kubur emak saya...' Oleh itu, jika baris ' Kami mengunjungi pusara bonda' itu sudah pun asing, apatah lagi baris ' Cinta berbaring di atas cermin' dalam sajak Setelah Diam Pun Melambung karya Rosmiaty Shaari (Kembali Kepada Fitrah, halaman 54).

Kita semua sedar bahawa bahasa puisi berlainan daripada bahasa prosa. Namun, bagi saya, Harry Aveling ialah sarjana yang mula-mula mengemukakan idea bahawa bahasa sastera, terutama bahasa puisi, ialah bahasa alienasi. Kita tidak akan mendapatkan mana yang tetap dan tepat daripada bahasa alienasi, kerana kita pun menjadi asing secara tersendiri ketika menatap dan menghayati puisi. Lebih jauh penyair menyelam dalam bahasa yang dikuasainya, semakin jauh makna lari daripada perkamusan di sekitar pembaca. Saya yakin, inilah sebabnya Hans Robert Jauss diikuti Wolfgang Iser mengemukakan dan melanjutkan teori resepsi.

Bagi menjelaskan perkara ini, kita ambil sajak 'Gerimis Merecup' halaman 3. Penyair menyebutkan:


Tatkala gerimis mulai merecup

kujunjung kata-Mu dalam debar jantung

lalu kulepaskan ke angkasa luas


Kita menanggapi bahawa keindahan iman tiba pada saat yang digambarkan itu, iaitu ketika bermulanya hujan renyai-renyai. Keindahan itu hakikatnya ialah keindahan kata yang membaluti makna yang dipetik dari alam. Ini ialah usaha penyair untuk dirinya kerana dialah pencinta alam yang sentiasa memaparkan keindahan bersekali dengan saranan keimanan dan nilai keislaman.

Makna yang lain pasti diserahkan oleh penyair kepada kita (pembaca) untuk terus menanggapinya. Jika dia tidak mahu menyerahkan makna kepada kita (pembaca) tentulah dia berbahasa mudah. Mengapakah penyair memerlukan saat gerimis mulai merecup baharulah dia menjunjung kata-Mu? Bukankah kata-Mu sesuai dan dituntut dijunjung bila-bila masa? Penyair mungkin mempunyai jawapan, bahawa keimanan ada pada setiap masa, tetapi ungkapan itu hanyalah pelukisan untuk membangkitkan kesan yang dikehendakinya.

Jika kita asyik dengan anjakan makna, segala-gala yang kita peroleh akan kita cabar. Teori Anjakan Makna ialah teori yang sentiasa mencari kemungkinan baru dalam setiap penemuan. Apabila Rosmiaty menyatakan 'Bagai si kecil mengutip lelah', kita akan bertanya siapakah si kecil? Penyair kemudiannya mengatakan:


kukutip kuntum-kuntum sirah

dari benarng berserak perak

kuhimpun menjadi surah

sehelai demi sehelai

kutadah di atas sajadah


Sirah dan surah ialah istilah agama, iaitu istilah yang menyatakan riwayat nabi Rasulullah dan juga bab-bab al Quran. Cara Rosmiaty menggunakan kata-kata itu cukup kreatif, dan bimbang pula orang lain hendak menggunakannya, kerana penyair dan pembaca akan berhadapan dengan kesanggupan atau ketidak-sanggupan menganjakkan makna.

Bagi penyair yang sentiasa mendekatkan diri, atau berhasrat mendekatkan diri dengan Pencipta, kata-kata yang dipilih selalunya memaparkan keberanian. Saya sebut 'keberanian' di sini dengan maksud kreativiti yang mengatasi takut yang difikirkan oleh penyair lain dalam hal agama. Sebagai contoh untuk maksud 'keberanian', saya kemukakan sajak Amir Hamzah yang dihasilkan dalam dekad 1930an:


Doa


Dengan apakah kubandingkan pertemuan kita, kekasihku?

Dengan senja samar sepoi, pada masa purnama meningkat naik, setelah menghalaukan panas payah terik

Angin malam menghembus lemah, menyejuk badan, melambung rasa

menayang pikir, membawa angan ke bawah kursimu.

Hatiku terang menerima katamu, bagai bintang memasang lilinnya.

Kalbuku terbuka menunggu kasihmu, bagai sedap malam menyirak kelopak.

Aduh, kekasihku, isi hatiku dengan katamu, penuhi dadaku dengan cahayamu, biar bersinar mataku sendu, biar berbinar gelakku rayu!

(dari Nyanyi Sunyi, PR,1935)


Demikianlah Doa oleh Amir Hamzah. kita tidak akan menganggap itu doa, jika Amir Hamzah tidak menulisnya pada judul. Setahu kita, bunyi doa adalah berlainan daripada bunyi puisi itu, namun apabila kita faham bahawa puisi ialah bahasa di daerah asing, satu alienasi, maka kita menerimanya.

Jika Amir Hamzah bergaya demikian dalam penghasilan sajak keagamaan, bagaimanakah pula gaya Rosmiaty Shaari? Pada puisi Rosmiaty, sesekali ada kesejajaran dengan Amir Hamzah, tetapi tidaklah sama. Rosmiaty, melalui sajak ' Izinkan Aku Memaut Kasih-Mu' mengemukakan pernyataan yang saya kira belum dibuat penyair lain. Saya turunkan rangkap pertama untuk kita renungi:


Seberat batu yang menghempap Bilal

yang menekan itu Engkau - melihat kesabaran

sepedih cambuk yang merambat tubuh Rabiah

yang menyula nurani itu Engkau - melihat kestiaan

tanpaMu takkan basah bibir bertitir

takkan bergema tasbih berzikir

lalu puja dan puji

pasrah dan redha

semua dirahmati

dalam cahaya yang sedia menemani


Sajak yang sedang kita bicarakan ini ialah sajak tentang hasrat mahu memperkukuh keimanan. Judulnya telah menyatakan demikian. Watak Bilal dan Rabiah ialah watak-watak ukuran, iaitu penyair mengukur pencapaian diri sejauh manakah dirinya sampai berbanding dengan tokoh-tokoh itu. Kesimpulan yang ada dalam sajak ini:


tidak layaklah aku tangisi

meski sujudku berkali

dan Engkau memerhati

aku masih mencari diri

yang hilang dalam ilusi


Makna yang saya dapati, selaku pembaca, Bilal dan Rabiah beroleh nasib baim, kerana mereka diuji sedemikian parah. Seksaan yang menimpa Bilal dan Rabiah hanyalah ujian kesabaran dan kesetiaan. Jadi, sesiapa yang tidak diuji oleh peristiwa sedemikian masih dianggap kekurangan, dan penyair secara tersirat sedang menunggu ujian sedemikian. Dengan tanggapan yang demikian, kemunculan watak durjana dalam masyarakat - yang zalim dan kejam- penghempap batu dan pencambuk - ialah alasan untuk watak murni beroleh kenikmatan iman.

Pandangan yang terjelma dalam puisi Rosmiaty yang telah dibicarakan di atas, membawa kita ke arah pemahaman sedemikian.

Sajak 'Pisau Dan Darah' agak lain. Sajak ini melukiskan manusia dalam lingkungan eksistensialisme luka. Tiada tanda bahawa sajak ini religius. Manusia berkecengderungan untuk kerap luka, kalau pun tidak sentiasa luka, kerana di sekitar manusia tersedia bahaya. Ini ialah kenyataan dalam kehidupan, namun kita selalunya tidak mengambil berat tentangnya. Perhatikan rangkap pertama sajak ini:


Kau sebilah pisau bermata dua

menyilau dalam cahaya

mengelar ikut selera


Apabila pisau berkecenderungan mengelar ikut selra, maka akan sentiasalah ada mangsanya. Gambaran ini umum, dan sesiapa pun dapat memahaminya apabila dikaitkan dengan konteks kehidupan duka yang dilalui. Saya sebut keadaan ini eksistensialisme luka, kerana kewujudannya tidak dapat dielakkan. Dalam kehidupan kita, kebahgiaan bergantian dengan kelukaan, yang dalam sajak Rosmiaty kebahgiaan ialah 'bunga' seperti yang dipaparkan dalam sajak 'Sepohon Takjub'.

Sajak 'Pisau Dan Darah' menyatakan manusia tidak dapat lari daripada kelukaan. Darah mengikut penyair, ialah persediaan untuk menghadapi kesedihan. Jika hari ini kita gembira, adakah esok menjamin pengekalan bahagia? Kita nikmati kata-kata Rosmiaty:


Aku darah merah menyala

berasal dari sum-sum nestapa

senyap aku di pembuluh rahsia


Hubungan antara pisau dan darah ialah hubungan antara nasib manusia dengan diri manusia sendiri. Bagi orang yang bersedia, kelukaan ialah nasib yang boleh diterima tanpa kesal atau keluhan. Dua rangkap ini menyatakan hal tersebut:


Kau pisau bermata dua

menghiris dua luka mengharap darah

mengalir tanpa merasa


Dan aku tetap darah

yang mengalir dari luka yang parah

dari duka yang sangat merah


Kesimpulannya adalah pernyataan simbolik, bahawa pisau dan darah saling berhubungan, dan hubungan akrab sehingga dikatakan 'satu'.


Kau dan aku adalah satu

tanpa kilauan matamu

tiadalah merah darahku...


Pernyataan simbolik seperti di atas membaawa makna yang jauh, dan sangat mengharapkan perkaitan dengan pengalaman pembaca. Selain pembacaan dengan berdasarkan teori resepsi sastera, terdapat konsep kaedah mengalami menghayati dalam bacaan karya sastera. Kita akan faham segala yang dinyatakan penyair setelah kita bawa pengalaman kita sendiri ke penafsiran.

Penyair ini sentiasa berfikir tentang kewujudan melalui perbandingan. Saya ingin mengemukakan sajak ' Di Negeri Cacing' untuk menunjukkan bahawa penyair tidak melepaskan makhluk yang kecil dalam usaha merumuskan pemikirannya. Perhatikan penyair dengan cepat, sepintas lalu, menghubungkan 'kau' (cacing) dengan 'aku' (manusia).


ini makrifat alam

kau hidup dalam tanah

kau mati menjadi tanah

aku datang dari tanah

aku pulang kepada tanah


Beza antara manusia dan cacing, dari segi kejadian dan pemergiannya tidak jauh, kerana kedua-duanya dari tanah ke tanah. Sajak ini diakhirkan dengan pernyataan dalam kurungan, iaitu pernyataan yang mempertanyakan harga sekepal tanah yang menjadikan makhluk manusia dan cacing.


Kesimpulan


Agak banyak segi lain yang boleh dibicarakan apabila kita menatap Kembali Kepada Fitrah, karya Rosmiaty Shaari. Saya hanya mengambil segi kehadiran manusia di dunia, kerana saya dapati penyair memberikan tumpuan terhadap perkara itu. Dalam kebanyakan puisi, kehadiran yang dimaksudkan ialah kehadiran dirinya, diri penyair atau diri protagonis. Pendekatannya ialah pendekatan keagamaan, dengan penekanan terhadap cinta kepada Ilahi. Dengan pendekatan itu, sajak Rosmiaty dapat kita tanggapi sebagai sajak zikir. Di samping itu, penyair banyak juga menyatakan fikiran. Oleh kita, dapatlah kita namakan sajak jenis ini sajak zikir dan fikir.


Bacaan:

C. Hooykaas, 1965, Perintis Sastera. Kuala Lumpur: Oxford University Press

Eagleton, Terry, 1983, Literary Theory: An Introduction. Minneapolis; University of Minnesota Press.

Rosmiaty Shaari, 2014, Kembali Kepada Fitrah, Kuala Lumpur Institut Terjemahan & Buku Negara Malaysia.